Senin, 27 Februari 2012

Ummu Walad RA


           Hindun binti Amr bin Haram, atau lebih dikenal dengan nama Ummu Walad adalah istri dari Amr bin Jamuh, seorang sahabat dan pemuka dari bani Salimah yang kakinya pincang. Sahabiyah Rasulullah SAW ini ikut serta ke Perang Uhud bersama tiga orang yang disayanginya, suaminya, Amr bin Jamuh, anaknya Walad bin Amr dan saudaranya Abdullah. Suaminya itu sempat dilarang Nabi SAW ikut serta karena keadaan kakinya yang pincang. Beliau menyatakan ia diberikan rukhshah untuk tidak terjun dalam medan jihad.
Ketika kembali ke rumah, Ummu Walad berkata pada suaminya, "Aku tidak percaya mereka melarangmu mengikuti perjuangan ini. Wahai suamiku, tampaknya engkau takut menyertai pertempuran ini!!"
Mendengar penuturan Ummu Walad ini, Amr menghadap Nabi SAW dan memaksa untuk ikut, sehingga Nabi SAW akhirnya mengijinkan. Dan dalam perang Uhud tersebut, tiga orang kesayangannya itu gugur sebagai syuhada.
Usai peperangan, Ummu Walad membawa tiga jenazah tersebut di atas untanya, dan mengarahkannya menuju Madinah,  tetapi unta ini tidak mau bergerak. Segala cara diupayakan walau dipukul-pukul tetap saja tidak bergeming. Nabi SAW berkata, "Sesungguhnya unta ini diperintahkan berlaku demikian. Apakah Amr mengatakan sesuatu ketika meninggalkan rumah?"           
"Benar, ya Rasulullah," Kata Ummu Walad, "Sebelum meninggalkan rumah untuk menyertai pertempuran ini, ia menghadapkan wajah ke kiblat dan berdoa agar tidak dikembalikan kepada keluarganya." 
Mendengar penjelasan ini, akhirnya Rasullullah SAW memakamkan tiga syuhada ini di bukit Uhud. Usai pemakaman mereka, Nabi SAW berkata pada Ummu Walad, "Wahai Hindun, mereka kini tengah berkasih-kasihan di surga."
"Ya Rasullullah, doakan kepada Allah agar aku bersama mereka." Kata Ummu Walad.
Nabi SAW mendoakan seperti yang dimintanya, dan Ummu Walad pulang dengan sukacita, walaupun kehilangan tiga orang yang dicintainya.

Asma binti Yazid al Anshari RA


          Asma binti Yazid seorang sahabiyah Anshar dari Suku Aus, kabilah Bani Abdul Asyhal. Ia masih keponakan Muadz bin Jabal, putri dari saudara sepupunya, Yazid bin Sakan. Ketika berba’iat memeluk Islam, ia mengenakan dua gelang emas yang cukup besar. Nabi SAW bersabda kepadanya, “Wahai Asma, lemparkanlah kedua gelang itu! Tidakkah engkau takut jika Allah akan memakaikan dua gelang api neraka di tanganmu?” 
            Asma segera melepaskan keduanya, dan diserahkan kepada Nabi SAW untuk digunakan di jalan Allah.
Asma binti Yazid al Anshari RA pernah menghadap Nabi SAW untuk membawa keluhan kaum muslimah berkaitan dengan amaliah mereka. Mereka berpendapat bahwa kesibukan mereka mengurus anak dan suami serta tugas-tugas rumah tangga lainnya, nilai pahalanya begitu kecil dibanding dengan amalan kaum lelaki seperti shalat berjamaah, shalat Jum'at, mengantar jenazah dan lain-lain, terutama dibandingkan dengan jihad fi sabilillah, berjuang menegakkan dan membela agama Allah.
Nabi SAW mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Asma, kemudian beliau berpaling kepada para sahabat, dan berkata,      "Wahai sahabat-sahabatku, pernahkan engkau dengar suatu pertanyaan yang lebih baik daripada pertanyaan wanita ini?"
"Wahai Rasulullah," Kata para sahabat, "Kami tidak menyangka seorang wanita bisa bertanya seperti itu!"
Nabi SAW berpaling lagi pada Asma dan bersabda,  "Katakanlah kepada wanita-wanita muslimah yang mengutusmu, bahwa jika mereka berbuat baik kepada suaminya dan selalu menaatinya, melayaninya dengan baik dan selalu berusaha membuat mereka gembira, maka itu sangatlah berharga, dan mereka memperoleh pahala sama besarnya dengan pahala kaum lelaki."
Mendengar penjelasan Nabi SAW, Asma begitu gembira dan ia segera kembali menemui mereka untuk mengabarkan hal yang menggembirakan para wanita tersebut.
Asma dan beberapa wanita muslimah lainnya seringkali ikut terjun ke medan pertempuran, tentunya mereka berada di garis belakang untuk memberikan minuman dan juga mengobati mereka yang terluka, termasuk juga mengobarkan semangat para mujahidin. Tetapi dalam perang Yarmuk di masa Khalifah Umar bin Khaththab, Asma tidak cukup sabar berada di garis belakang. Ia melihat gelombang pasukan Romawi begitu besarnya, sehingga ia terbawa arus untuk ikut menyerang mereka. Ia tidak memperoleh apa-apa sebagai senjata, maka ia mengambil salah satu tiang penyangga tendanya dan mulai menyerang musuh. Dengan senjatanya itu ia berhasil membunuh sembilan orang tentara Romawi, walau tak urung ia juga memperoleh luka-luka yang parah di sekujur tubuhnya. Tetapi akhirnya ia sembuh dari luka-lukanya tersebut.

Sabtu, 25 Februari 2012

Abu Khaitsamah RA


            Ketika Rasulullah SAW sedang memobilisasi pasukan untuk perang Tabuk, Abu Khaitsamah sedang berada di luar kota Madinah. Beberapa hari setelah Beliau berangkat ke Tabuk barulah ia tiba kembali di Madinah. Cuaca saat itu sangatlah panas, kedua istrinya menyambut kedatangannya dengan gembira. Makanan dan air yang dingin telah disiapkan untuknya di dalam rumahnya yang berada di salah satu bagian kebunnya yang teduh.
Abu Khaitsamah berdiri di pintu rumahnya, ia memandang dua istrinya dan apa yang telah disiapkan untuknya. Matanya tampak menerawang jauh, tiba-tiba ia berkata, "Rasulullah SAW berada di terik matahari, tiupan angin kencang dan cuaca yang sangat panas, sementara Abu Khaitsamah berada di naungan yang sejuk, makanan yang terhidang dan dua istrinya yang cantik di tengah harta bendanya,… Ini sungguh tidak adil."
Sejenak ia tercenung, kemudian berkata kepada istrinya, "Demi Allah, aku tidak akan masuk ke rumah menemui kalian, sehingga aku menyusul Rasulullah SAW. Sediakan perbekalan untukku."
Setelah semua disiapkan dengan cepat oleh kedua istrinya itu, ia segera memacu untanya untuk menyusul Rasulullah SAW. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Umair bin Wahb al Jumahi yang juga ingin menyertai Rasulullah SAW, merekapun berjalan bersama. Ketika ia telah melihat rombongan pasukan yang sedang beristirahat di Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair, "Aku mempunyai kesalahan, karena itu tidak masalah jika engkau tertinggal dariku, sampai aku menemui Rasulullah SAW."
Umair memahami keinginannya itu, dan ia membiarkan Abu Khaitsamah memacu untanya lebih cepat untuk lebih dahulu menemui Rasulullah SAW. Para sahabat berkata kepada Nabi SAW, bahwa ada seseorang yang memacu untanya dengan cepat mendekati mereka. Beliau berkata, "Semoga ia adalah Abu Khaitsamah!!"
Ketika penunggang unta itu telah makin dekat, orang-orang membenarkan ucapan Rasulullah SAW tersebut. Setelah menambatkan untanya, Abu Khaitsamah mendekat dan memberi salam kepada Nabi SAW, beliau berkata kepadanya, "Celaka engkau, wahai Abu Khaitsamah!"         
Abu Khaitsamah meminta maaf dan menceritakan apa yang dialaminya, dan juga yang telah dilakukanya kepada keluarganya. Setelah penjelasannya tersebut beliau bersabda, “Itu adalah hal yang baik!"
Beliau juga mendoakan untuk kebaikan bagi Abu Khaitsamah.

Dhimam bin Tsa'labah RA


          Dhimam bin Tsa'labah berasal dari Bani Sa'ad bin Bakar. Ia seorang lelaki yang perkasa dengan rambut panjang terurai. Suatu ketika ia diutus kaumnya untuk menemui Nabi SAW di Madinah. Tujuannya untuk menanyakan beberapa hal tentang Risalah Islamiyah yang didakwahkan beliau itu.  
Ketika sampai di Masjid Nabawy, ia bertanya tentang siapakah anak Abdul Muthalib, seorang lelaki yang bernama Muhammad?  Nabi SAW menunjukkan dirinya. Dhimam berkata, "Wahai anak Abdul Muthalib, aku akan meminta dengan keras kepadamu beberapa persoalan ini, tetapi kuminta engkau tidak marah."      
Nabi SAW pun mengijinkannya bertanya apapun yang terlintas di benaknya, dan berjanji tidak akan marah. Ia berkata, "Aku memintamu bersumpah dengan nama Allah, Tuhanmu, Tuhan orang-orang yang sebelum kamu, dan Tuhan orang-orang yang akan diciptakan setelah kamu, apakah Allah telah mengutusmu sebagai Rasul?"
Walaupun pertanyaan itu tampak kurang pantas (kurang adab atau tatakrama) terhadap kedudukan Rasulullah SAW, tetapi beliau menjawabnya dengan sabar, "Benar, aku bersumpah."
Dhimam bertanya lagi, "Aku memintamu bersumpah dengan nama Allah, Tuhanmu, Tuhan orang-orang yang sebelum kamu, dan Tuhan orang-orang yang akan diciptakan setelah kamu, apakah Allah telah mengutus kamu itu, memerintahkan kami hanya menyembah-Nya saja, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya, dan supaya kami meninggalkan sesembahan nenek moyang kami?"
"Benar, aku bersumpah," Kata Nabi SAW dengan sabarnya.
Dhimam bertanya lagi, "Aku memintamu bersumpah dengan nama Allah, Tuhanmu, Tuhan orang-orang yang sebelum kamu, dan Tuhan orang-orang yang akan diciptakan setelah kamu, apakah Allah telah memerintahkan kamu untuk mengajak kami mengerjakan shalat lima waktu."
"Benar, aku bersumpah," Kata Nabi SAW masih dengan sangat sabarnya.
Dhimam masih mengulang-ulang lagi pertanyaan seperti itu, dengan menyebutkan berbagai macam perintah syariah seperti zakat, puasa, hajji, dan lain-lainnya, yang selama ini telah didengarnya. Ia juga menanyakan tentang beberapa larangan-larangan dalam Islam yang telah didengarnya, dengan cara dan redaksi yang sama. Dan Nabi SAW selalu menjawabnya dengan penuh kesabaran, "Benar, aku bersumpah."
Sampai akhirnya Dhimam berkata, "Sungguh aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau, Muhammad  adalah Utusan Allah. Aku akan melakukan perintah-perintah fardhu tersebut dan meninggalkan apa yang telah engkau larang, dan aku tidak akan menambahkannya dan mengurangkannya."
Setelah itu ia mengucapkan terima kasih dan pamit kepada Nabi SAW, dan berpaling pergi untuk kembali kepada kaumnya. Nabi SAW pun bersabda, "Jika persaksian orang itu benar, ia akan masuk surga."
Ketika Dhimam telah sampai di tempat kaumnya, dan mereka berkumpul di sekitarnya, maka ucapan pertamanya adalah, "Binasalah Latta dan Uzza!"
Mendengar ucapannya itu mereka langsung kaget, dan berkata kepada Dhimam, "Wahai Dhimam, jangan sekali-kali engkau mencacinya (Latta dan Uzza), nanti engkau akan terkena penyakit sopak, lumpuh dan gila."
"Celakalah kalian," Kata Dhimam membalas ucapan kaumnya itu, "Sesungguhnya kedua berhala itu tidak akan pernah bisa memberikan manfaat dan mudharat apapun pada kalian. Sungguh Allah telah mengutus seorang Rasul dan menurunkan kepadanya kitab yang membebaskan kalian dari kesesatan."
Kemudian Dhimam menceritakan kalau ia telah memeluk Islam, mengikuti ajaran Rasul tersebut. Ia juga menceritakan tentang berbagai perintah dan larangan dalam agama Islam. Begitu piawainya Dhimam mengajak dan mengajarkan Islam kepada kaumnya, sehingga sebelum petang pada hari itu berakhir, mereka semua telah memeluk Islam. 

Maisarah bin Masruq al Absi RA

            Maisarah bin Masruq al-Absi hanyalah orang biasa dalam Bani al-Absi yang sedang melakukan haji. Ketika berkemah di Jamratul Ula dekat Masjid Khaif, kabilah ini didatangi Rasullullah SAW yang berboncengan dengan Zaid bin Haritsah. Beliau menjelaskan Risalah yang dibawanya dan menyeru untuk masuk Islam, saat itu Maisarah berkata pada kaumnya yang hadir, "Aku bersumpah dengan nama Allah, kalau kita membenarkan lelaki ini dan mengajaknya ke tengah-tengah tempat tinggal kita, itu adalah pendapat yang baik. Dan aku bersumpah dengan nama Allah bahwa agamanya akan menang hingga ke segala penjuru." 
Tetapi kaumnya tidak menanggapi pendapatnya tersebut. Melihat sikap dan tanggapan Maisarah itu, Nabi SAW secara khusus mengajaknya untuk memeluk Islam, tetapi karena merasa sendirian dan khawatir dimusuhi kaumnya, ia belum bisa menerima ajakan Nabi SAW tersebut, walau ia tetap memuji dan mengakui kebenaran ajaran yang disampaikan beliau.
Sepulangnya kepada kaumnya dari perjalanan haji tersebut, Maisarah mengajak beberapa orang menemui seorang pendeta Yahudi di Fadak untuk mengetahui lebih banyak tentang Nabi yang dijanjikan. Pendeta Yahudi itu membuka sebuah kitab besar, ia mencari-cari tentang masalah itu. Setelah menemukan halaman yang dimaksudkannya, Sang Pendeta membacanya, "Seorang nabi yang ummi (buta huruf), berbangsa Arab, biasa menunggang unta, merasa cukup dengan makanan yang kasar (roti keras), tubuhnya tidak rendah juga tidak tinggi, rambutnya tidak lurus juga tidak terlalu keriting, pada kedua matanya ada warna putih kemerah-merahan. Jika ia menyeru kalian, terimalah seruannya, dan masuklah ke dalam agamanya."
         Pendeta Yahudi itu lalu berkata lebih lanjut, "Kami kaum Yahudi hasad kepadanya, itulah yang menyebabkan kami tidak mengikutinya, sesungguhnya karena dialah tempat kami akan ditimpa bencana besar. Bangsa Arab akan terpecah menjadi dua, yang mengikutinya atau memeranginya, maka jadilah kalian orang-orang yang mengikutinya." 
           Maisarah semakin mantap dengan pendapat yang dipilihnya, dan mereka sepakat untuk menemui Nabi SAW pada musim haji berikutnya. Tetapi ketika sampai di antara kaumnya, kesepakatan ini dimentahkan oleh para tetua kabilah Bani Absi, mereka menolak dan menentang keras kesepakatan yang diambil kelompok Maisarah yang menemui Pendeta Yahudi tersebut.
          Berlalu beberapa tahun. Maisarah bertemu Nabi SAW saat Haji Wada', dia berkata, "Ya Rasulullah, tak henti-hentinya aku berharap dapat mengikuti ajakanmu sejak pertemuan pertama dahulu, tetapi Allah menghendaki keterlambatanku masuk Islam. Sesungguhnya sebagian besar orang yang bersamaku dulu telah meninggal." 
         Rasululah SAW menjelaskan kalau mereka yang meninggal di luar Islam tempatnya di neraka, dan Maisarah mensyukuri keislamannya sebelum meninggal. Ia terus memperbaiki keislamannya dan mempunyai kedudukan yang baik di sisi Abu Bakar

Selasa, 21 Februari 2012

Cucu-cucu Rasulullah SAW


Ali dan Umamah binti Abul Ash RA
                                                                                               
            Dari pernikahan Zainab dan Abul Ash bin Rabi, Rasulullah SAW mempunyai dua orang cucu. Yang pertama adalah lelaki yang diberi nama Ali. Diriwayatkan bahwa ketika memasuki kota Makkah dalam Fathul Makkah, beliau menunggang unta bersama Ali. Yang dimaksudkan adalah Ali tersebut adalah cucu beliau ini. Ali meninggal menjelang usia dewasanya, beberapa waktu setelah kewafatan ibunya, Zainab.      
Anak keduanya adalah seorang perempuan yang diberi nama Umamah RA. Sewaktu masih kecil, Nabi SAW sering bermain-main dengan cucunya ini. Diriwayatkan bahwa ketika beliau sedang sujud dalam shalat, Umamah kecil sering menaiki punggung beliau, dan beliau membiarkannya berlama-lama sujud, baru menurunkannya ketika beliau akan bangkit dari sujud. Ia dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Fatimah az Zahrah, bibinya sendiri. Menurut riwayat, sebelum kematiannya, Fatimah berpesan kepada suaminya, agar sepeninggalnya ia menikahi keponakannya sendiri, Umamah. Tetapi dari pernikahannya ini, Umamah tidak mempunyai anak keturunan.
Setelah wafatnya Ali, Umamah menikah dengan Mughirah bin Naufal. Dari pernikahannya ini ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Yahya, tetapi tidak banyak penjelasan tentang putra Umamah ini, bahkan terjadi perbedaan dalam riwayatnya.
Umamah wafat pada tahun 50 hijriah.                                                                                               


Abdullah bin Utsman RA
                                                                                               
            Dari pernikahan Ruqayyah dan Utsman bin Affan, Nabi SAW mempunyai seorang cucu lelaki yang diberi nama Abdullah. Abdullah ini lahir ketika mereka sedang berhijrah di Habasyah, dan ia meninggal ketika masih kecil, yakni berusia 6 tahun di Madinah. Sedangkan pernikahan Ummu Kultsum dan Utsman tidak mempunyai anak, karena pernikahan mereka hanya berlangsung beberapa bulan saja.
                                                                                               

Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA
                                                                                               
            Hasan adalah putra pertama Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, ia lahir setelah dua tahun pernikahan mereka, yakni pada tahun 3 hijriah. Ia baru berusia 7 tahun lebih beberapa bulan ketika Rasulullah SAW wafat, tetapi ia telah meriwayatkan beberapa hadits dari Nabi SAW. Setidaknya terdapat 13 hadits yang diriwayatkan dari jalan cucu Raulullah SAW ini.    
Suatu ketika ia berjalan-jalan bersama Rasulullah SAW, melewati setumpuk buah kurma hasil sedekah. Hasan mengambil satu kurma dan memakannya, segera saja Nabi SAW berseru, "Akh, akh…!"
Kemudian beliau mengambil kurma tersebut dari mulut Hasan. Kemudian beliau bersabda, "Kita tidak boleh memakan harta sedekah."
Ia belajar shalat lima waktu dan beberapa shalat lainnya dari Nabi SAW, padahal saat itu ia masih anak-anak. Ia juga diajarkan Nabi SAW, doa untuk shalat witir, yaitu doa yang  saat ini terkadang dibaca sebagai doa qunut pada shalat subuh. Hasan juga sering melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki, tidak mengendarai untanya. Ketika kebiasaannya ini ditanyakan, ia menjawab, "Setelah mati nanti, saya merasa malu jika bertemu dengan Allah, sedangkan saya belum pernah mengunjungi rumahNya dengan berjalan kaki."
                       

Husein bin Ali bin Abi Thalib RA
                                                                                   
            Husein bin Ali lahir setahun setelah kakaknya, Hasan. Ia masih berusia 6 tahun beberapa bulan ketika Nabi SAW wafat. Tetapi seperti kakaknya, ia juga meriwayatkan beberapa Hadits, setidaknya ada 8 hadits yang diriwayatkan dari jalan Husein ini.
Diriwayatkan bahwa Husein telah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak 25 kali. Ia juga selalu istiqamah dalam menjalankan ibadah dan rajin bersedekah.   


Zainab binti Ali bin Abi Thalib RA
                                                                                               
            Zainab adalah putri ke tiga Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Ia menikah dengan saudara sepupunya sendiri, Abdullah bin Ja'far, dan mempunyai dua orang anak, Abdullah dan Aun, tetapi keduanya meninggal sebelum masa dewasanya, ketika kedua orang tuanya masih hidup.
Setelah Zainab meninggal, suaminya menikah dengan saudara kandungnya, Ummu Kultsum. Ummu Kultsum sendiri adalah janda dari saudara Abdullah, Muhammad bin Ja'far.             
                                                                                               

Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib RA
                                                                                               
            Ummu Kultsum adalah putri ke empat Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, ia menikah dengan Khalifah Umar bin Khaththab. Dari pernikahannya ini ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Zaid bin Umar. Setelah Umar meninggal, ia menikah dengan Aun bin Ja'far, dan mempunyai seorang anak perempuan, tetapi meninggal ketika masih kecil. Setelah Aun meninggal, ia menikah lagi dengan Muhammad bin Ja'far, saudara Aun. Setelah Muhammad meninggal, ia menikah lagi dengan Abdullah bin Ja'far, saudara Aun juga.
Saat menjadi istri Abdullah ini, Ummu Kultsum mengalami sakit, yang akhirnya membawa ajalnya. Pada hari wafatnya ini, putranya, Zaid bin Umar meninggal juga sehingga keduanya diberangkatkan ke makam bersama-sama.
Jadi, setelah pernikahannya dengan Umar bin Khaththab, Ummu Kultsum menikah dengan tiga orang putra Ja'far bin Abi Thalib, yang masih sepupunya sendiri, secara berturut-turut. Pertama dengan Aun bin Ja'far, kemudian Muhammad bin Ja'far dan Abdullah bin Ja'far. Sebelumnya, Abdullah bin Ja'far adalah suami saudara kandungnya sendiri, Zainab binti Ali, yang telah meninggal sebelumnya.
Ketika menjadi istri Umar bin Khaththab, suatu malam, suaminya yang menjabat sebagai khalifah itu tergesa-gesa membangunkannya dari tidur dan berkata, "Wahai istriku, sesungguhnya Allah SWT membuka jalan bagimu, jalan yang mulia di sisi Allah, agar engkau memperoleh peluang berbuat kebaikan malam ini."
"Apa maksudmu, wahai Amirul Mukminin," Tanya Ummu Kultsum terkejut, sekaligus penuh harap.
Memang telah menjadi kebiasaan Umar meronda malam untuk melihat keadaan umat Islam. Ia selalu khawatir kalau umat yang dipimpinnya ini mengalami kesusahan tanpa ia bisa membantunya. Dan malam itu ia menemukan suatu keadaan yang memerlukan campur tangan istrinya. Ia berkata, "Dengarlah wahai istriku, di padang sebelah sana terdapat sebuah kemah tua, yang di dalamnya ada seorang wanita yang akan melahirkan tanpa seorangpun yang merawat dan membantunya. Ia sangat kesakitan, tolonglah engkau membantunya dalam proses persalinannya!"
Sebenarnya mudah saja bagi Umar menyuruh dan memerintahkan Ummu Kultsum untuk membantu persalinan wanita itu. karena ia sebagai suami sekaligus khalifah. Tetapi bagaimanapun istrinya ini adalah seorang cucu dari orang yang sangat dikasihinya, Nabi SAW, apalagi Fatimah adalah putri kesayangan beliau. Ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang juga akan menyakiti hati Rasulullah SAW. Kemuliaan nasab itu pulalah yang tampak dalam jawaban istrinya, "Wahai suamiku, sudah menjadi kewajibanku untuk menyempurnakan hasrat dan kesucian hatimu, aku bersedia untuk membantu dan merawatnya."    
Mereka bergegas menuju padang dimana kemah itu berada sambil membawa peralatan dan bekal makanan yang diperlukan. Sementara Ummu Kultsum membantu persalinan, Umar menyalakan api dan memasak makanan bagi dua pengembara tersebut. Tak lama berselang, terdengar seruan istrinya, "Ya Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (selamat) kepada saudaramu itu, karena ia memperoleh seorang anak laki-laki."
Mendengar ucapan dari dalam kemah tersebut, si lelaki jadi terkejut. Tidak disangkanya kalau yang bersusah payah membantunya ini ternyata Umar, Amirul Mukminin yang sempat diacuhkannya. Umar meminta istrinya membawa masuk, makanan bagi sang ibu baru tersebut. Dan terhadap si lelaki yang tampak terkejut, ia berkata, "Tidak mengapa wahai Saudara, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu. Datanglah besok menemuiku, aku akan mencoba menolongmu!"
Setelah semuanya selesai, Umar dan Ummu Kultsum berpamitan.   

Putra-putri Rasulullah SAW


            Putra-putra Rasulullah SAW ada tiga orang, dari Khadijah dua orang, yaitu Qasim RA dan Abdullah RA, sedangkan seorang lagi dari istri beliau yang berstatus hamba, yaitu Mariyah al Qibthiyah, yaitu Ibrahim RA. Putri beliau sebanyak empat orang, semuanya dari Khadijah, yaitu Zainab RA, Ruqayyah RA, Ummi Kultsum RA dan Fatimah az Zahrah RA. Sedangkan dari istri-istri lainnya, beliau tidak memperoleh anak keturunan.  
Qasim adalah putra Nabi SAW yang pertama, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa ia adik Zainab. Ia meninggal ketika berusia sekitar 2 tahun. Sedangkan Abdullah lahir ketika beliau telah diangkat menjadi Rasul. Ia juga disebut sebagai Thayyib, dan juga Thahhir. Abdullah juga meninggal ketika masih kecil. Hal ini sempat membuat orang-orang kafir Quraisy gembira, mereka beranggapan dengan tidak adanya anak keturunan, akan terputuslah nama dan risalah Islam yang beliau sampaikan. Mereka tidak sadar bahwa kenabian tidaklah diturunkan dan risalah keislaman tidaklah berhenti dengan tidak adanya anak keturunan.
Tidak seperti enam putra-putri beliau dari Khadijah yang lahir di Makkah, Ibrahim lahir di Madinah, tepatnya pada bulan Dzulhijjah tahun 8 hijriah. Setelah tujuh hari kelahirannya, beliau melaksanakan aqiqah, menyembelih dua ekor kambing dan mencukur rambutnya dan menanamnya, kemudian bersedekah perak seberat rambut yang dipotong. Yang memotong rambut Ibrahim adalah sahabat Abu Hindi Bayadhi RA. Beliau kemudian bersabda, "Aku beri nama anak saya ini, seperti nama kakeknya, yaitu Ibrahim."
Ibrahim meninggal dunia pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 10 hijriah dalam usia 16 bulan. Sebagian riwayat menyatakan usianya 18 bulan ketika meninggal. Beliau sempat mengeluarkan air mata ketika memakamkan jenazah putra beliau ini.                                                                                              

Zainab  RA
                                                                                               
            Zainab lahir ketika Nabi SAW berusia 30 tahun, sepuluh tahun sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ia menikah dengan keponakan Nabi SAW sendiri yang bernama Abul Ash bin Rabi. Zainab memeluk Islam ketika ayahnya diangkat sebagai Rasul dan mengemban Risalah Islam, tetapi suaminya tetap dalam kekafiran. Zainab tidak dapat menyertai Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya berhijrah ke Madinah karena ia dalam penguasaan keluarga suaminya.
Ketika terjadi perang Badar, suami Zainab, Abul Ash berperang di pihak kaum kafir Quraisy. Dalam pertempuran ini ia tertawan. Setelah Nabi mengumumkan tawanan perang Badar dapat ditebus oleh keluarganya, Zainab mengirimkan uang dan perhiasan untuk menebus suaminya. Ketika perhiasan ini sampai ke tangan Nabi SAW, beliau mengenali bahwa perhiasan ini adalah pemberian Khadijah kepada Zainab, beliau jadi teringat dengan istri tercintanya ini dan keadaan putrinya, beliau jadi sedih.
Akhirnya Nabi SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya, dan diputuskan untuk membebaskan Abul Ash tanpa tebusan. Uang dan perhiasan tersebut dikembalikan kepada Zainab, tetapi disyaratkan kepada Abul Ash untuk membawa istrinya tersebut ke Madinah jika ia telah sampai kembali di Makkah. Abul Ash menyetujui perjanjian ini, maka Nabi SAW mengirimkan dua orang untuk menjemput putrinya tersebut di luar kota Makkah, di suatu perkampungan bernama Ya'juj. Mereka ini adalah Zaid bin Haritsah dan salah seorang sahabat Anshar. Mereka diminta untuk menemani Zainab sampai ke Madinah.
Sesuai janjinya, setelah sampai di Makkah ia mengantarkan Zainab menemui dua utusan Nabi SAW yang menunggu di luar kota Makkah. Adik Abul Ash, Kinanah bin Rabi mengantarkan seekor unta, yang kemudian dinaiki Zainab. Kinanah sendiri ikut rombongan ke Madinah. Ketika kepergian Zainab ini diketahui oleh kaum Quraisy, mereka sangat marah, mereka mengirimkan satu pasukan untuk menggagalkannya.
Ketika pasukan Quraisy itu telah dekat, salah seorang dari mereka, Habar bin Aswad, yang sebenarnya masih keponakan Zainab, melemparkan tombaknya dan mengenai Zainab, sehingga ia jatuh dari untanya. Zainab yang saat itu sedang hamil, mengalami keguguran. Melihat keadaan ini, Kinanah sesumbar akan melakukan perlawanan dengan panah-panah dan pedangnya. Pasukan Quraisy ini jadi keder juga, mereka tahu benar keahlian Kinanah dalam memanah dan kemampuannya memainkan pedang.
Akhirnya salah seorang anggota pasukan lainnya, Abu Sufyan membujuk Kinanah agar kembali dahulu ke Makkah, dan setelah suasana tenang, satu dua hari kemudian hendaknya ia membawa putri Nabi SAW secara sembunyi-sembunyi ke Madinah. Usul ini diterima baik oleh Kinanah.
Zainab akhirnya berhasil hijrah ke Madinah dengan diantar Kinanah, tetapi dalam keadaan sakit parah akibat terkena tombak, jatuh dari unta dan keguguran. Ia terus menderita dengan luka-lukanya ini selama beberapa tahun sampai akhirnya wafat pada tahun 8 Hijriah. Nabi SAW sendiri yang menurunkan dan menguburkan jenazahnya dalam keadaan yang sangat sedih.
Setelah selesai penguburan, tampak wajah Nabi SAW berseri-seri. Para sahabat menjadi keheranan dan menanyakan perubahan wajah beliau tersebut. Nabi SAW berkata, "Saya sangat khawatir atas kelemahan Zainab, dan saya berdoa agar Allah meluaskan kuburnya dan membebaskannya dari siksa kubur, dan Allah mengabulkan doaku."
Suami Zainab, Abul Ash bin Rabi datang ke Madinah pada tahun 6 atau 7 hijriah, kemudian memeluk Islam. Nabi SAW mengembalikan Zainab kepadanya, karena sebelumnya mereka belum bercerai.
Dari pernikahannya ini ia mempunyai dua orang anak, yaitu Ali bin Abul Ash dan Umamah binti Abul Ash.
                                               

Ruqayyah RA
                                                                                               
Ruqayyah adalah adik Zainab, tiga tahun lebih muda dari kakaknya tersebut. Ia lahir ketika Nabi SAW berusia 33 tahun. Selagi masih kecil, ia telah dinikahkan dengan Utbah bin Abu Lahab, sebagaimana adiknya Ummu Kultsum dinikahkan dengan adik Utbah, Utaibah bin Abu Lahab. Ketika turun Surah Al Lahab, Abu Lahab berkata kepada dua anaknya, "Haram bagiku bertemu dengan kalian sebelum kalian menceraikan putri Muhammad!!"
Karena ancaman ini, keduanya menceraikan putri-putri Rasulullah SAW, walau dengan berat hati. Walaupun demikian, sebenarnya mereka belum pernah berkumpul karena saat itupun mereka masih kecil. Utbah kemudian memeluk Islam pada saat Fathul Makkah, setelah sebelumnya menceraikan istrinya.
Setelah memasuki usia dewasa, Ruqayyah dinikahkan Nabi SAW dengan Utsman bin Affan. Mereka berdua sempat hijrah ke Habasyah, dan kemudian mereka berdua hijrah lagi ke Madinah, setelah ada perintah Nabi SAW untuk melaksanakannya. Ketika terjadi perang Badar, Ruqayyah sedang sakit keras, sehingga Utsman diminta Nabi SAW tinggal di Madinah menunggui istrinya. Saat kabar kemenangan kaum muslimin di perang Badar sampai di Madinah, Utsman sedang memakamkan jenazah istrinya.
Dari pernikahannya ini, Ruqayyah mempunyai seorang anak benama Abdullah bin Utsman, ia lahir ketika mereka masih berhijrah di Habasyah. Abdullah meninggal ketika masih berusia 6 tahun, riwayat lain menyebutkan, ia meninggal satu tahun sebelum kewafatan ibunya.                 


Ummu Kultsum RA
                                                                                               
            Ummu Kultsum adalah adik dari Zainab, lebih tua beberapa tahun daripada Fatimah az Zahrah. Ia dinikahkan dengan Utaibah bin Abu Lahab ketika masih kanak-kanak. Ketika turun Surah Al Lahab, Utaibah dipaksa menceraikan Ummu Kultsum oleh Abu Lahab, karena isi surah yang mencela sikap Abu Lahab ini.
Berbeda dengan saudaranya, Utbah yang menyesali perintah ayahnya, Utaibah justru mendukungnya. Bahkan setelah menceraikan, ia mendatangi majelis Nabi SAW tanpa adab dan sopan santun, kemudian mencaci dan menghina Nabi SAW. Karena sikapnya yang keterlaluan ini, Nabi SAW berdoa, "Ya Allah, hendaknya Engkau siksa dia dengan anjing dari anjing-anjingmu…!"
Abu Thalib yang mendengar peristiwa ini, ia berkata kepada Utaibah, "Kamu tidak akan mati sebelum doa Muhammad itu terlaksana atasmu."
Utaibah sendiri merasa khawatir atas doa Nabi SAW, walau tidak percaya dengan kenabian beliau. Suatu ketika ia melakukan perjalanan dagang ke Syam bersama kafilah ayahnya, Abu Lahab, ia berkata, "Aku sangat khawatir dan cemas dengan doa Muhammad itu, karena itu setiap orang di kafilah ini hendaklah berjaga-jaga!!"
Ketika kafilah dagang ini bermalam di suatu tempat, mereka membentuk lingkaran dengan barang dagangan yang dibawanya, Utaibah tidur di tengahnya, dan anggota lainnya tidur mengelilinginya. Tengah malam ketika mereka tidur nyenyak, datanglah seekor singa, dan setiap orang wajahnya diciumnya. Ketika tiba giliran Utaibah, singa itu menerkamnya dan memisahkan kepalanya dari tubuhnya, setelah itu sang singa berlalu.
Sebagian riwayat menyebutkan, Utaibah ini yang masuk Islam dan Utbah yang mati diterkam singa. Yang jelas salah satu dari putra Abu Lahab ini memang memeluk Islam, dan satunya tewas diterkam singa, sebagai pengabulan doa Nabi SAW.  
Setelah Ruqayyah meninggal dunia pada Rabi'ul Awwal tahun 3 hijriah, Nabi SAW menikahkan Ummu Kultsum ini dengan Utsman bin Affan. Tetapi belum sempat mempunyai anak, Ummu Kultsum meninggal pada bulan Sya'ban tahun 3 hijriah.            


Fatimah Az Zahra RA
                                                                                               
            Fatimah az Zahrah adalah putri Rasulullah SAW yang ke empat. Sebagian riwayat menyatakan ia lahir pada tahun ke satu dari kenabian, tetapi riwayat lain menyebutkan ia lahir lima tahun sebelum kenabian. Nama Fatimah diberikan berdasarkan wahyu atau ilham yang diterima Nabi SAW, artinya 'menahan' atau 'terbebas dari neraka'. Menurut Rasulullah SAW, Fatimah adalah ratunya para bidadari di surga, karenanya ia menjadi putri yang paling dicintai Nabi SAW.
Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada tahun 2 hijriah, pernikahan inipun atas perintah Allah melalui wahyu atau ilham yang diterima Nabi SAW. Tujuh setengah bulan setelah pernikahan barulah mereka tinggal bersama dalam satu rumah. Dari penikahannya ini, mereka memiliki beberapa putra dan putri. Putra pertama adalah Hasan, kemudian Husain setahun kemudian, dan disusul Muhasan yang meninggal ketika masih kecil. Putri pertamanya adalah Ruqayyah, yang meninggal ketika masih kecil, disusul Ummu Kultsum dan Zainab.
Fatimah merupakan kerabat Nabi SAW yang paling terdahulu menyusul setelah wafatnya beliau. Diriwayatkan, ketika Nabi SAW sedang sakit keras menjelang sakaratul maut, beliau berbisik kepada Fatimah, dan ia jadi menangis tersedu-sedu. Beberapa saat kemudian beliau membisiki Fatimah lagi, kali ini ia tertawa gembira. Ketika beberapa orang bertanya kepadanya tentang sikapnya yang aneh, dari menangis kemudian tertawa, Fatimah menjelaskan bahwa pada bisikan pertama, beliau memberitahukan kalau beliau akan segera meninggalkan dunia ini, kembali ke hadirat Ilahi SWT, karena itu ia menangis tersedu-sedu. Pada bisikan kedua, beliau memberitahukan bahwa anggota keluarga beliau yang pertama kali menyusul, kembali ke hadirat Ilahi SWT adalah Fatimah sendiri, karenanya ia tertawa gembira karena ia tidak akan terlalu lama berpisah dengan Rasulullah SAW.
Fatimah adalah putri kesayangan Nabi SAW, namun demikian beliau tidak pernah melimpahinya dengan kekayaan dan kesenangan dunia, justru beliau mendorongnya untuk selalu beramal dan berpayah-payah untuk memperoleh keuntungan di akhirat. Pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib tidak membuat kehidupannya lebih ringan, karena karakter Ali adalah didikan Rasulullah SAW, kaya akan ilmu sehingga sangat zuhud terhadap dunia.
Fatimah terbiasa mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangganya. Menggiling gandum, mengangkut air untuk kebutuhan sehari-hari, dan beberapa pekerjaan lainnya, sehingga tangannya kasar dan timbul bintik-bintik hitam yang tebal. Melihat penderitaan istrinya ini, suatu kali Ali berkata kepada Fatimah, "Pergilah engkau menghadap Rasulullah, mintalah seorang pembantu untuk meringankan pekerjaanmu!"
Memang waktu itu baru saja datang beberapa orang hamba sahaya diberikan kepada Rasulullah. Memenuhi perintah suaminya, Fatimah berangkat menemui Nabi SAW, tetapi ternyata banyak orang yang datang di majelis Nabi SAW, Fatimah malu untuk menyampaikan maksudnya, dan ia pulang kembali. Keesokan harinya, Nabi SAW yang datang ke rumah Fatimah, beliau berkata, "Wahai Fatimah, ada apa engkau datang untuk menemuiku kemarin?"
Fatimah hanya diam, malu untuk menyampaikan maksudnya. Ali yang kemudian menjawab, "Wahai Rasulullah, dia mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, menggiling gandum, mengangkat air, membersihkan rumah, dan pekerjaan lainnya, sehingga timbul bintik hitam di tangannya, luka-luka di dadanya dan pakaiannya menjadi kotor. Kemarin engkau mendapat beberapa hamba sahaya, maka kusuruh ia meminta salah seorang dari mereka untuk membantu pekerjaannya."
Nabi SAW tersenyum mendengar penjelasan Ali, kemudian bersabda, "Wahai Fatimah, bertakwalah kepada Allah, tetaplah menyempurnakan kewajibanmu kepada Allah, dan kerjakanlah pekerjaan rumah tanggamu. Kemudian, ketika engkau akan tidur, ucapkanlah Subkhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali. Ini lebih baik bagimu daripada seorang pembantu."
Putri kesayangan dan didikan Nabi SAW ini berkata dengan tulus, “Saya ridha dengan keputusan Allah dan RasulNya."          

Ummul Mukminin, Zainab binti Khuzaimah RA

           Zainab binti Khuzaimah berasal dari Bani Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah. Ia dinikahi Nabi SAW setelah pernikahannya dengan Hafshah, yakni pada bulan Ramadhan tahun 3 hijriah. Tetapi pernikahan beliau ini hanya berlangsung delapan bulan (riwayat lain menyebutkan dua atau tiga bulan), Zainab meninggal pada bulan Rabi'ul akhir tahun 4 Hijriah. Bersama Khadijah, ia merupakan istri Nabi yang meninggal ketika beliau masih hidup.
Zainab dinikahi Nabi SAW dalam keadaan janda. Sebagian riwayat menyebutkan, suami pertamanya adalah Abdullah bin Jahsyi RA yang mati syahid di perang Uhud, tetapi riwayat lain menyebutkan Thufail bin Harits RA atau saudaranya, Ubaidah bin Harits RA, yang keduanya gugur di medan perang Badar.
         Sejak sebelum Islam didakwahkan, Zainab binti Khuzaimah telah terkenal dengan sebutan Ummul Masakin (Ibu bagi orang-orang miskin), karena ia sangat suka mendermakan hartanya untuk orang-orang miskin, dan sikap kasih sayangnya kepada mereka.

Ummul Mukminin, Juwairiyah binti Harits RA

           Juwairiyah binti Harits adalah putri dari pemimpin bani Musthaliq dari Suku Khuza’ah, Harits bin Abu Dhirar. Harits menghimpun kekuatan untuk menyerang Madinah, beberapa kabilah Arab ikut bergabung. Kegiatannya ini diketahui oleh Nabi SAW, dan beliau mengirim Buraidah bin Hushaib al Aslamy untuk mengecek kebenaran berita ini. Setelah memperoleh informasi yang lengkap dan benar, beliau memimpin pasukan untuk meyerang mereka, sehingga terjadilah pertempuran Bani Musthaliq atau al Muraisi’, karena terjadi di mata air al Muraisi milik Bani Musthaliq di Qudaid. 
Juwairiyah binti Harits seorang yang cantik jelita dan wajahnya selalu berseri-seri. Jika berjalan, ia selalu menundukkan pandangannya (ghadul bashar). Sebelumnya ia telah menikah dengan Musafi bin Shafwan. Sekitar tiga hari sebelum terjadinya perang Bani Musthaliq ini, Juwairiyah bermimpi melihat bulan terbit dari arah Yatsrib (Madinah), kemudian jatuh ke pangkuannya. Ia menafsirkan, bahwa kelak ia akan menjadi istri dari pemimpin Madinah, yakni Nabi SAW.
Ketika ia menjadi tawanan pasukan muslim, ia sangat berharap mimpinya itu akan menjadi kenyataan. Tetapi saat pembagian ghanimah, ia jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ketika Juwairiyah menyampaikan keinginannya untuk dibebaskan, Tsabit bersedia memenuhinya dengan tebusan sembilan uqiyah emas. Maka ia menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya adalah putri pimpinan dari kaum saya Bani Musthaliq, yaitu Harits bin Abu Dhirar, dengan musibah yang menimpa saya ini, tentu engkau mengetahui keadaan saya. Sementara Tsabit menentukan tebusan kebebasan saya yang begitu tinggi, yang di luar kemampuan saya. Karena itu saya menghadap engkau untuk memperoleh jalan keluar dari masalah saya ini…!"
Mendengar keluhan Juwairiyah ini, beliau bersabda, "Aku akan memberikan jalan keluar yang lebih baik dari semua itu, aku akan memberikan harta kepadamu, jadi engkau bisa membayar tebusan kebebasanmu dari Tsabit, setelah itu aku akan menikahimu..!"
Juwairiyahpun sangat gembira mendengar ini, yang secara tidak langsung adalah lamaran Nabi SAW atas dirinya. Ini juga berarti mimpi yang dialaminya sebelum terjadinya pertempuran telah menjadi kenyataan, seperti yang didambakannya. Karena itu segera saja ia menyetujui dan menerima jalan keluar yang diberikan Rasulullah SAW.
Pernikahan Nabi SAW dengan Juwairiyah ini ternyata berdampak besar. Para sahabat yang mempunyai tawanan dari Bani Musthaliq, serta merta membebaskan mereka dari tawanan atau perbudakannya. Hal ini dilakukannya sebagai wujud penghargaan mereka atas Nabi SAW dan kepada Bani Musthaliq, yang putri pimpinannya menjadi salah satu Ummahatul Mukminin. Para sahabat itu berkata, “Mereka adalah besan Rasulullah SAW.”
Diriwayatkan ada 100 keluarga sahabat yang membebaskan sekitar 700 orang tawanan Bani Musthaliq tanpa sepeserpun meminta uang tebusan. Sungguh suatu keberkahan besar dari pernikahan Nabi SAW ini.
           Juwairiyah dinikahi Nabi SAW pada bulan Sya'ban tahun 6 hijriah, ketika ia berusia 20 tahun. Ia wafat di Madinah pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 50 hijriah, dalam usia 65 tahun. Tetapi riwayat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 56 hijriah pada usia 70 tahun.

Selasa, 14 Februari 2012

Abu Mihjan as Tsaqafi RA


           Abu Mihjan tertangkap basah sedang minum arak, dan ia dikenai hukuman dera rotan oleh Sa'd bin Abi Waqqash yang adalah amir (komandan) pasukan. Dan ketika itu berulang-ulang, Sa'd memutuskannya untuk mengikat dan memenjarakannya. Dan ia juga ditinggalkan ketika pasukan berangkat menuju perang Qadisiyah. 
Dalam kesendiriannya, Abu Mihjan seolah melihat pasukan muslim terdesak oleh pasukan musyrikin. Ia pun menulis surat kepada istri Sa'd, bahwa jika ia dibebaskan, diberi seekor kuda dan senjata, ia akan bertemput bersama kaum muslimin, dan ia berjanji untuk menjadi orang pertama yang kembali (untuk diikat dan dipenjara lagi), kecuali jika ia terbunuh. Dengan demikian tidak ada orang yang tahu kalau ia dibebaskan.
Surat tersebut ternyata ditanggapi dengan baik, istri Sa'd membawakan kuda Abu Mihjan sendiri yang belang-belang berikut senjatanya. Abu Mihjan segera memacu kudanya ke tempat pertempuran, dan ia langsung menyerbu pasukan kaum musyrikin. Saat itu posisi kaum muslimin memang sedang terdesak, dan dengan pertolongan Allah, kehadiran Abu Mihjan membuka pintu kemenangan. Tidak ada satu kelompok musuh yang diserang oleh Abu Mihjan, kecuali Allah membuatnya porak-poranda.
Pasukan muslimin yang melihat sepak terjangnya, dan mereka tidak mengetahui kalau dia adalah Abu Mihjan, berkata, "Lelaki itu bagaikan seorang malaikat…!!"
Sa'd bin Abi Waqqash sendiri sempat berkata, "Ketangkasan dan lompatan kuda belang, serta sepak terjangnya itu adalah milik Abu Mihjan, tetapi bukannya Abu Mihjan sedang terikat kedua kakinya…"
Ketika posisi telah berbalik menjadi kemenangan bagi kaum muslimin, Abu Mihjan segera berbalik pulang. Ia mengembalikan kuda dan senjata kepada istri Sa'd dan kembali ke penjara, bahkan mengikat sendiri kedua kakinya.
Usai pertempuran dan mereka telah kembali ke markasnya, istri Sa'd bertanya tentang jalannya pertempuran kepada suaminya. Sa'd berkata, "Kami terus bertempur dan hampir terjepit oleh serangan musuh yang bertubi-tubi, sampai Allah menghantar seorang lelaki yang menunggang kuda belang-belang (serta memporak-porandakan musuh). Kalau saja aku tidak meninggalkan Abu Mihjan dalam keadaan terikat, tentu aku menyangka itu dirinya karena ia memiliki beberapa sifat Abu Mihjan."
"Demi Allah, sesungguhnya itu memang Abu Mihjan…" Kata istri Sa'd.
Kemudian ia menceritakan apa yang telah terjadi sebelumnya. Sa'd pun menyahut, "Demi Allah, aku tidak menemui seorang lelaki (seperti itu) pada hari ini, yang membantu kaum muslimin dalam keadaan Allah tengah menguji mereka seperti pada hari Qadisiah tersebut…!"
Kemudian ia memerintahkan untuk membebaskan Abu Mihjan. Setelah dibawa kehadapannya, Sa'd berkata, "Kami tidak akan pernah merotan/menghukum kamu lagi karena minum arak selama-lamanya."
           Abu Mihjan berkata, "Aku telah minum arak, dan jika hukuman telah ditetapkan untukku, aku akan membersihkan diri darinya. Dan karena engkau membebaskan aku, maka aku tidak akan pernah meminumnya lagi selama-lamanya."

Ummu Abdullah RA (Laila binti Abu Hatsmah)

          Laila binti Abu Hatsmah, atau lebih dikenal dengan nama Ummu Abdullah tengah bersiap-siap untuk hijrah ke Habasyah bersama rombongan sahabat yang dipimpin Ja'far bin Abu Thalib.  Tiba-tiba Umar bin Khaththab yang saat itu masih musyrik, berdiri di hadapannya. Tentu saja Ummu Abdullah menjadi terkejut, karena selama ini Umar sering menganiaya dan menyiksa kaum muslimin. Saat itu suaminya, Amir bin Rabiah tengah mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan hijrah tersebut. Kemudian Umar berkata, "Hai Ummu Abdullah, engkau jadi meninggalkan tanah airmu?"
"Ya," Kata Ummu Abdullah dengan tegas, "Demi Allah, kami akan keluar menuju suatu negeri di bumi Allah, karena kalian telah berlaku kejam kepada kami, sehingga Allah memberikan kami jalan keluar dari kesusahan ini."
Ummu Abdullah telah bersiap-siap untuk memperoleh siksaan dan gangguan dengan jawabannya tersebut, tetapi ternyata Umar tidak bertindak apa-apa sebagaimana biasanya. Bahkan tampak kelembutan dan kesedihan di raut wajah Umar, kemudian keluar perkataan singkat dari mulutnya sebelum ia berlalu pergi, "Semoga Allah bersama kamu!!"
Ummu Abdullah sempat terkesima dengan sikap Umar tersebut. Ketika suaminya datang, ia berkata, "Hai Abu Abdullah, andai engkau melihat raut wajah Umar tadi, tampak adanya kelembutan dan kesedihan karena kepergian kita ini."
"Sepertinya engkau menginginkan dia memeluk Islam?" Kata Amir.
Ummu Abdullah mengiyakan.
"Orang seperti Umar itu," Kata Amir, "Tidak akan memeluk Islam hingga keledai Umar memeluk Islam."
           Ungkapan tersebut adalah semacam keputus-asaan. Melihat kerasnya Umar memusuhi Islam, tidak mungkin ia akan memeluk Islam. Tetapi hidayah Allah memang tidak bisa diramalkan akan jatuh kepada siapa, dari kerasnya permusuhan itulah akhirnya Umar memeluk Islam.

Ummu Haram binti Milhan RA

          Ummu Haram adalah bibi Anas bin Malik, saudara ibunya Ummu Sulaim (Rumaisha) binti Milhan. Nabi SAW sering mengunjungi rumahnya dan beristirahat di sana. Suatu ketika Nabi SAW beristirahat di rumahnya sampai tertidur. Tak lama kemudian beliau bangun dan tersenyum. Melihat hal itu, Ummu Haram bertanya, "Ya Rasulullah, demi ayah dan ibu saya, mengapa engkau tersenyum?"
Nabi bersabda, "Telah diperlihatkan padaku, ada beberapa umatku yang mengikuti pertempuran di samudra, mereka itu ada yang berjalan, dan ada yang duduk di singgasana bagaikan raja."   
"Wahai Rasulullah," Kata Ummu Haram, "Berdoalah kepada Allah agar saya termasuk dalam rombongan tersebut."
"Ya, engkau termasuk dalam rombongan tersebut." Kata Nabi SAW, menegaskan.
Ummu Haram-pun gembira dengan berita itu. Nabi SAW beristirahat kembali sampai tertidur, dan ketika terbangun lagi, beliau bersabda seperti tadi lagi, tentang umatnya yang bertempur di samudra. Seperti sebelumnya, Ummu Haram meminta Nabi SAW mendoakannya agar termasuk dalam rombongan tersebut, tetapi beliau bersabda, "Engkau hanya termasuk alam rombogan yang pertama."
Berlalulah waktu, pada masa khalifah Utsman bin Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjadi gubernur di Syam (Syiria), meminta ijin pada khalifah untuk menyerang dan menguasai kepulauan Siprus. Khalifah Utsman mengijinkan, dan Muawiyah membentuk suatu pasukan yang menyeberangi samudra menuju kepulauan Siprus, Ummu Haram dan suaminya, Ubadah bin Shamit, termasuk anggota pasukan tersebut.
Usai pertempuran, mereka mengendarai keledai, tetapi tiba-tiba keledai yang dinaikinya mengamuk, yang menyebabkan Ummu Haram terjatuh hingga lehernya patah, dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan di Siprus.
           Benarlah apa yang dikatakan Nabi SAW, ketika beberapa waktu kemudian pasukan ini mengarungi samudra menuju pulau lainnya, Ummu Haram telah menjadi syahidah di Siprus. Artinya ia tidak termasuk dalam rombongan yang kedua, yang “dilihat” Nabi SAW dalam tertidurnya beliau yang kedua kalinya di rumah Ummu Haram tersebut.

Abu Salamah RA

            Abu Salamah RA, atau nama aslinya Abdullah bin Abdul Asad, memeluk Islam pada masa permulaan Islam, begitu juga dengan istrinya, Ummu Salamah. Sebagian riwayat menyebutkan, ia orang ke sepuluh yang memeluk Islam. Karena tekanan dan gangguan yang begitu hebat dari kaum Quraisy, mereka berdua ikut hijrah ke Habasyah. Disanalah lahir anak mereka yang pertama Salamah. Setelah beberapa waktu di Habasyah, mereka kembali lagi ke Makkah.         
Ketika datang perintah hijrah ke Madinah, Abu Salamah dan Istrinya, Ummu Salamah pun memenuhi perintah ini, mereka berangkat menaiki onta. Anak satu-satunya yang masih kecil, Salamah dalam gendongan ibunya di dalam sekedup. Tetapi kaum kerabat Ummu Salamah, Bani Mughirah, tidak rela jika salah satu anggota kaumnya pergi    ke Madinah, karena itu beberapa orang mengejar Abu Salamah dan merebut kendali onta yang membawa istri dan anaknya, mereka berkata, "Ini jiwamu, engkau memenangkannya atas kami. Tidakkah engkau tahu, atas dasar apa kami membiarkanmu berjalan dengannya  di negeri ini?"
Abu Salamah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi tidak cukup sampai disitu, kerabat Abu Salamah dari Banu Abdul Asad ternyata tidak rela kalau Salamah sebagai bagian dari kaumnya berada di Banu Mughirah, karena itu mereka merebutnya dari Ummu Salamah. Setelah berhasil, ternyata mereka tidak membiarkan Salamah untuk ikut ayahnya hijrah ke Madinah.
Walau kecintaannya begitu besar terhadap istri dan anaknya, perintah Allah dan RasulNya di atas segalanya. Abu Salamah tetap meneruskan hijrah ke Madinah tanpa orang-orang yang dicintainya. Setelah sekitar satu tahun berpisah, barulah Ummu Salamah dibiarkan kaumnya menyusul suaminya ke Madinah. Salamahpun diberikan bani Abdul Asad pada Ummu Salamah untuk dibawa ke Madinah.
Abu Salamah ikut terjun dalam perang Badar dan Uhud. Pada perang Uhud, ia mengalami luka parah, yang berakibat ia menderita berkepanjangan. Ketika lukanya belum sembuh sepenuhnya, Rasulullah SAW menunjuk dirinya untuk memimpin pasukan kecil berkekuatan 150 orang sahabat, untuk menyerang Bani Asad bin Khuzaimah. Bani Asad menghimpun kekuatan secara rahasia untuk menyerang Madinah, yang dikoordinasikan oleh dua orang bersaudara, Thalhah dan Salamah bin Khuwailid.
Pasukan yang dipimpin Abu Salamah ini berhasil melumpuhkan Bani Asad. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharam tahun 4 hijriah. Tetapi akibat pertempuran ini, luka-lukanya pada perang Uhud yang belum sepenuhnya sembuh, menjadi kambuh kembali, bahkan semakin parah, sehingga akhirnya ia menemui syahid pada bulan Jumadil Akhir tahun 4 hijriah.
Dari pernikahannya dengan Ummu Salamah, ia mempunyai empat anak. Selain Salamah, anak lainnya adalah Umar, Durah, dan Zainab. Zainab ini masih di dalam kandungan ketika Abu Salamah wafat.
Ketika masih hidupnya, Ummu Salamah pernah menginginkan agar mereka saling berjanji untuk tidak menikah lagi, jika salah satu dari mereka meninggal terlebih dahulu. Tetapi Abu Salamah menginginkan agar Ummu Salamah taat kepadanya sebagai suaminya, dan ia berkata, "Jika aku meninggal dahulu, menikahlah engkau,'"
Setelah itu Abu Salamah berdoa, "Ya Allah, apabila saya meninggal nanti, nikahkanlah Ummu Salamah dengan lelaki yang lebih baik daripada saya, yang tidak akan menjadikan hatinya bersedih, yang tidak akan memberikan kesulitan kepadanya."
            Allah mengabulkan doa Abu Salamah ini, dan sepeninggal dirinya, ternyata Rasulullah SAW berkenan untuk menikahi Ummu Salamah.         

Abdullah bin Ja'far RA

           Abdullah bin Ja'far masih keponakan Rasulullah SAW, ia putra dari Ja'far bin Abi Thalib. Ia masih berusia tujuh tahun ketika berba'iat kepada Nabi SAW. Ketika Ja'far bin Abi Thalib gugur syahid di perang Mu'tah, Rasulullah SAW memanggil anak-anaknya, Abdullah, Aun dan Muhammad. Beliau menentramkan hati mereka karena kehilangan ayahnya, dan mendoakan agar selalu diberikan rahmat Allah. Doa Nabi SAW inilah yang membuat Abdullah menjadi sangat pemurah dan baik hati seperti bapaknya, sehingga ia digelari 'Qutbus Sakha', Kepala para Dermawan. 
Sewaktu masih kecil, Ibnu Ja’far pernah membantu pamannya Ali bin Abi Thalib menolong seseorang, dan ia diberi hadiah orang yang ditolongnya itu sebanyak empat ribu dirham, tetapi ia  menolak dan berkata, "Kami tidak menjual amalan baik kami."
Suatu ketika ia diberi uang oleh seseorang sebanyak duaribu dirham, dan dalam sekejab uang itu habis dibagi-bagikan di jalan Allah. Pada kali yang lain, ada pedagang yang membawa sejumlah besar gula ke pasar, tetapi dagangannya tidak laku, tidak ada orang yang membelinya. Abdullah menyuruh pembantunya memborong semua gula tersebut dan membagikannya secara cuma-cuma pada penduduk sekitarnya.
Ketika sahabat Zubair bin Awwam gugur, anaknya, Abdullah bin Zubair menemuinya dan berkata, "Wahai Abdullah, kutemukan dalam catatan keuangan ayahku, engkau berhutang satu juta dirham."
"Baiklah," Kata Abdullah bin Ja'far, "Engkau dapat mengambil uang itu, kapan saja kamu suka!"
Tetapi tidak berapa lama Abdullah bin Zubair kembali dan meminta maaf karena terjadi kekeliruan, ayahnya-lah yang mempunyai hutang satu juta dirham kepada Abdullah bin Ja'far. Maka Abdullah berkata, "Jika demikian, aku halalkan hutang ayahmu kepadaku!"      
Tetapi Abdullah bin Zubair tidak mau hutang ayahnya dihalalkan begitu saja, ia tetap ingin membayar hutang tersebut. Maka Abdullah bin Ja'far berkata, "Baiklah jika demikian, engkau boleh membayar sesuai kemampuanmu!"
“Maukah engkau menerima sebidang tanah kecil yang tandus sebagai pembayarannya?" Kata Ibnu Zubair.
Abdullah bin Ja'far dengan senang hati menerimanya sebagai pelunas hutang Zubair bin Awwam, walau nilainya tidak sebanding. Ia mendatangi tanah tandus tersebut dan memerintahkan pembantunya untuk membentangkan sajadah di atasnya, kemudian ia shalat dua rakaat dan bersujud cukup lama. Setelah selesai shalat, ia menunjuk satu titik, dan menyuruh pembantunya untuk menggali. Tak terlalu lama menggali, muncullah mata air di tanah tandus tersebut.
          Abdullah bin Ja'far menikahi dua orang cucu Rasulullah SAW, putri Fatimah dan Ali, secara berturutan. Pertama ia menikahi Zainab binti Ali, ia mempunyai dua orang anak yang diberi nama Abdullah dan Aun, tetapi keduanya meninggal ketika masih kecil. Setelah itu ia menikahi Ummu Kultsum binti Ali, kakak Zainab, yang sebelumnya telah menikah dengan Umar bin Khaththab dan dua orang saudaranya, Aun bin Ja'far dan Muhammad bin Ja'far.

Senin, 13 Februari 2012

Suhail bin Amr RA

           Suhail bin Amr adalah seorang yang mempunyai kemuliaan dan kedudukan tinggi di kalangan kaum Quraisy. Dia ditunjuk mewakili kaum musyrikin Makkah ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah dengan Nabi SAW, dan dengan pongahnya ia menolak ketika Nabi SAW meminta perjanjian itu dibuka dengan "Bismillahirrahmanirrahiim." Ia berkata, “Demi Allah aku tidak tahu, siapa itu Ar Rahman? Tetapi tulislah, Bismika Allahumma…!!”
Nabi SAW mengalah, begitu juga ketika Ali bin Abi Thalib, penulis perjanjian itu menulis nama, "Muhammad, utusan Allah." Segera saja Suhail berkata, “Andaikata kami tahu (yakin) bahwa engkau Rasul Allah,, kami tidak akan menghalangimu masuk Masjidil Haram dan tidak pula memerangimu. Karena itu tulislah : Muhammad bin Abdullah!!”
Ali menolak untuk mengubahnya, tetapi Nabi SAW mengalah dan memerintahkan Ali untuk menggantinya seperti permintaan Suhail. Kemudian beliau bersabda, “Bagaimanapun aku adalah Rasul Allah sekalipun kalian semua mendustakan aku!!”
Sikapnya itu sangat disesalinya ketika kemudian ia menjadi Islam dan mengikuti Haji Wada' bersama Rasulullah SAW. Di Mina, Suhail menyerahkan unta kurbannya kepada Nabi SAW, dan beliau sendiri yang menyembelihnya. Suhail memunguti dan mengumpulkan rambut Rasulullah SAW waktu tahallul, sambil menangis dan bertobat, menyesali perbuatannya saat perjanjian Hudaibiyah tersebut, Potongan rambut beliau itu diletakkan di atas matanya.
Ketika terjadi Fathul Makkah, dimana Nabi SAW bersama hampir seluruh kaum muslimin memasuki Makkah dengan penuh kemenangan atas kaum musyrikin, Suhail mengunci diri dalam rumahnya. Ia merasa tidak aman dari pembunuhan karena sikap permusuhannya terhadap Islam selama ini, karena itu ia menyuruh anaknya, Abdullah bin Suhail, menemui Nabi SAW untuk meminta perlindungan.
Ketika Abdullah bin Suhail menghadap Nabi SAW dan menyampaikan maksud bapaknya ini beliau bersabda, "Ya, ia aman dengan perlindungan dari Allah, maka hendaknya ia menampakkan dirinya."
Dan Nabi SAW berpaling pada kaum muslimin di sekeliling beliau dan bersabda,   "Barang siapa bertemu dengan Suhail, janganlah ia memandangnya dengan pandangan amarah. Biarkan ia keluar, demi hidupku, sesungguhnya Suhail mempunyai kemuliaan dan kebijaksanaan, tidak mungkin orang seperti dia tidak tahu tentang Islam. Dan sungguh ia telah menyaksikan bahwa kuda yang ia pacu dengan cepat untuk melawan kaum muslimin tidak bermanfaat sama sekali!!"
Setelah Abdullah kembali dan melaporkan apa yang didengar dan dilihatnya, Suhail berkata, "Demi Allah, beliau adalah orang yang sangat baik, ketika masih muda ataupun setelah tua."
Namun pengakuannya ini belum membuatnya mantap mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW.                                                                                     
            Selagi Nabi SAW dan kaum muslimin masih berada di Makkah, kabilah-kabilah Arab yang tidak mau tunduk pada Nabi SAW dan merasa kuat, bersatu untuk memerangi kaum Muslimin. Mereka bermarkas di dekat Hunain, sepuluh mil lebih dari Arafah. Nabi SAW mengerahkan pasukan muslimin dan beberapa kabilah yang bersekutu, walaupun belum memeluk Islam, dan Suhail ikut serta dalam peperangan ini. Sekembalinya dari pertempuran, di daerah bernama Ji'ranah, Suhail menyatakan dirinya memeluk Islam, dan Nabi SAW memberikan bagian ghanimah perang Hunain.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab RA, ia bersama beberapa pembesar Quraisy yang telah memeluk Islam, di antaranya Abu Sufyan bin Harb dan Harits bin Hisyam akan menemui khalifah, tetapi tertahan di depan pintu rumah karena Umar belum mengijinkannya. Beberapa saat kemudian muncul Shuhaib, Bilal dan Ammar yang langsung diijinkan masuk oleh Umar.
Abu Sufyan dan beberapa lainnya terlihat marah melihat perlakuan Umar tersebut, tetapi Suhail berkata, "Wahai kaumku, sesungguhnya aku telah melihat apa yang ada di wajah kalian. Sekiranya kalian ingin marah, marahlah pada diri kalian sendiri. Kita semua diseru kepada Islam, mereka bersegera menyambutnya, tetapi kalian terlambat. Sungguh keutamaan yang telah mereka peroleh dahulu lebih banyak yang terluput dari kalian, daripada sekedar keistimewaan pintu Umar yang kalian berlomba memasukinya." 
Menyadari kekurangannya ini, Suhail memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya, Makkah Mukarramah, untuk bergabung dengan pasukan yang berjaga di garis depan di Syam. Ketika berangkat disertai Abu Said bin Fadhalah, salah seorang sahabat Nabi SAW, Suhail berkata, "Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Berdirinya seseorang di jalan Allah walau sesaat, lebih baik daripada amal sepanjang hidupnya.' Sungguh aku akan berjaga berjaga di garis depan dan tidak akan kembali lagi ke Makkah."
            Suhail tetap berada di Syam bersama pasukan yang berjuang di sana, hingga akhirnya wafat karena wabah penyakit tha'un yang melanda kota Amawas.

Wanita Tua dari Bani Adi bin Najjar


            Setelah diba'iat sebagai Khalifah, Abu Bakar membagi-bagikan hartanya kepada orang banyak. Zaid bin Tsabit diminta mengirimkan juga kepada seorang wanita tua dari Bani Najjar yang tampaknya memang berhak dan memerlukannya. Tetapi wanita tua itu mempertanyakan, bahkan menolak  harta tersebut. Zaid memberikan penjelasan, "Ini adalah bagian harta dari Abu Bakar yang dibagikan untuk kaum wanita."
"Apakah dia (Abu Bakar) ingin menyuapku agar aku menjual agamaku?" Tanya wanita tua itu.
"Tidak!!" Kata Zaid.
"Apakah kalian takut aku akan meninggalkan agama Islam yang aku peluk ini?" Tanyanya lagi.
"Tidak!!" Kata Zaid lagi.
"Demi Allah, aku tidak akan menerima harta apapun dari dirinya selama-lamanya!" Wanita tua itu memutuskan dengan tegas.
Tidak ada pilihan lain bagi Zaid kecuali membawa kembali harta tersebut. Sungguh suatu sikap yang teguh menjaga kemurnian beragama. Padahal pemberian itu semata-mata karena wanita tua tersebut termasuk dalam golongan yang berhak menerima shadaqah.
 

Sabtu, 11 Februari 2012

Zaid bin Khaththab RA

           Zaid bin Khaththab, adik dari Umar, tetapi ia memeluk Islam terlebih dahulu daripada kakaknya tersebut. Pada perang Uhud, ia tidak memakai baju besi, maka Umar melepas baju besinya dan berkata, "Pakailah baju besiku ini, saudaraku!"    
"Aku juga ingin syahid seperti yang engkau kehendaki," Kata Zaid dan menolak untuk memakainya.
Akhirnya mereka berdua terjun di pertempuran tanpa memakai baju besi.
Dalam pertempuran Yamamah melawan pasukan murtad yang dipimpin nabi palsu Musailamah al Kadzdzab pasukan muslim sempat mengalami kekalahan. Pasukan pertama yang dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal telah kalah, pasukan kedua juga sempat kocar-kacir, kemudian Khalid bin Walid merubah strategi dengan mengelompokkan pasukan sesuai kabilah dan golongannya.
Untuk membangkitkan semangat orang-orang Muhajirin, Zaid bin Khaththab berkata, "Wahai manusia, demi Allah aku tidak akan berkata-kata lagi setelah perkataanku ini, hingga Musailamah dimusnahkan, dan ia akan dikalahkan dengan hujahku ini."        
Zaid sendiri diserahi panji dari golongan kaum Muhajirin. Ia mengikatkan panji pada tubuhnya kemudian berperang dengan pedangnya dengan perkasanya. Sasaran utamanya adalah Musailamah, tetapi dia disembunyikan dan dilindungi dengan ketat oleh pasukannya. Tetapi ia sempat bertemu Rajjal, salah satu orang kepercayaan Musailamah, dan ia berhasil membunuhnya. Kematian Rajjal menurunkan semangat pasukan Musailamah, sebaliknya memberi dorongan semangat lebih kepada pasukan muslim.  
            Setelah bertempur beberapa lamanya, Zaid menemui syahidnya dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Panji tersebut akhirnya diambil oleh Salim, bekas budak (maula) Abu Hudzaifah, sesuai dengan perintah Khalid bin Walid sebagai pimpinan pasukan muslim.     

Abu Aqil al Unaifi RA

          Abu Aqil al Unaifi adalah salah seorang sahabat Anshar. Pada perang Yamamah, perang melawan pemberontakan nabi palsu, Musailamah al Kadzdzab, Abu Aqil yang pertama kali cedera terkena panah. Panah tersebut menancap antara bahu dan ulu hatinya tetapi agak melenceng sehingga tidak mematikan. Ketika dicabut, darah mengucur deras dan tubuhnya jadi lemah. Ia-pun diistirahatkan di dalam kemah. 
Pertempuran makin memuncak, dan pasukan muslim makin terdesak dan tercerai-berai. Ia mendengar Ma'n bin Adi berteriak menyeru orang-orang Anshar, "Allah! Allah! Kembalilah kalian menyerang musuh-musuh kalian…!”       
Kemudian terdengar seruan lagi agar orang-orang Anshar berkumpul dan memilih orang-orang istimewa untuk memimpin. Abu Aqil bangkit untuk memenuhi seruan tersebut. Hal ini diketahui oleh Abdullah bin Umar, dan berkata, “Seruan tersebut tidak ditujukan untuk orang-orang yang terluka.”
Tetapi Abu Aqil berkata, "Aku adalah lelaki Anshar, dan aku akan menyambut seruan itu walau harus merangkak…!"           
Abu Aqil mengeratkan tali sabuknya dan bergerak tertatih-tatih ke tempat orang-orang Anshar berkumpul. Dalam suatu kesempatan, mengangkat pedang dengan tangan kanannya, kemudian ia berkata, "Wahai orang-orang Anshar, bergeraklah menyerang sebagaimana di perang Hunain..!"
Memang, dalam Perang Hunain pasukan muslim yang jumlahnya lebih banyak porak-poranda. Sebagian dari mereka memang baru memeluk Islam saat Fatkhul Makkah yang baru beberapa hari berlalu. Sebagian anggota pasukan lagi, mereka yang masih memeluk agama jahiliahnya. Saat itu keadaan Nabi SAW cukup berbahaya karena hanya bersama beberapa orang saja. Tiba-tiba Nabi SAW berseru, “Wahai orang-orang Anshar!”
Para sahabat Anshar segera berkumpul di sekitar Nabi SAW, dan mereka mulai menyerang lagi, tentunya dengan didukung sahabat muhajirin terdahulu, dan akhirnya bisa membalikkan keadaan dan memperoleh kemenangan.
Seruan Abu Aqil seolah mengantar ingatan mereka saat bersama Nabi SAW di Perang Hunain, dan semangat mereka kembali bergelora untuk bertahan dan menyerang pasukan Musailamah. Akan halnya Abu Aqil, walau keadaannya sangat lemah, ia tidak mau tertinggal untuk menghadang serangan musuh, sampai akhirnya ia jatuh terkapar tak berdaya.
Ketika pasukan musuh telah dilumpuhkan dan Musailamah terbunuh, Abdullah bin Umar melihat Abu Aqil terlentang di tanah dengan nafas satu-satu. Tangannya yang tadinya cedera terkena panah telah putus dari bahunya, terdapat empat belas luka tusukan pada tempat-tempat yang mematikan. Ibnu Umar memanggil namanya.
"Labbaik," Kata Abu Aqil dengan suara cadel karena lemahnya, "Siapa yang memperoleh kemenangan?"
"Bergembiralah engkau!," Kata Ibnu Umar, "Musuh Allah telah terbunuh!!"
Abu Aqil mengangkat jarinya ke langit dan memuji Allah, kemudian wafat.
        Ketika Ibnu Umar menceritakan peristiwa ini kepada ayahnya, Umar berkata, "Semoga Allah merahmatinya. Tak putus-putusnya ia memohon dan mencari-cari kesyahidan. Sejauh yang aku ketahui, ia adalah sahabat Nabi SAW yang terbaik dan termasuk orang yang pertama-tama memeluk Islam (dari kalangan Anshar)."   

Utsman bin Thalhah al Adawi RA


          Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah al Adawi, pada masa jahiliahnya ia adalah penjaga Baitullah sekaligus pemegang kunci Ka'bah. Ia memeluk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah atas ajakan Khalid bin Walid. Dalam perjalanan ke Madinah, mereka bertemu dengan Amr bin Ash yang juga memutuskan untuk berba'iat kepada Nabi SAW dalam keislaman. 
Ketika tiba di Madinah, Nabi SAW menyambut gembira kehadiran mereka, bahkan ketika melihat kedatangan ketiganya, beliau bersabda, "Makkah telah melepaskan jantung hatinya…!"
Walau ucapan ini lebih ditujukan kepada Amr bin Ash dan Khalid bin Walid, tetapi kemuliaan itupun melingkupi dirinya karena berba'iat dalam Islam bersama-sama dengan dua orang yang kelak menjadi pahlawan yang mengharumkan nama Islam ke seantero dunia.
Seusai Fathul Makkah dan Nabi SAW membersihkan Ka'bah dan Baitullah dari berhala-berhala, Ali bin Abi Thalib menghampiri Nabi SAW sambil membawa kunci Ka'bah dan berkata, "Wahai Rasulullah, serahkanlah kewenangan menjaga Ka'bah dan memberi minum orang-orang yang berhaji kepada kami. Semoga Allah senantiasa melimpahkan salam dan shalawat kepada engkau…"
Riwayat lain menyebutkan, Abbas bin Abdul Muthalib yang menyatakan permintaan tersebut. Tetapi Nabi SAW berkata, "Mana Utsman bin Thalhah?"
Setelah Utsman dipanggil dan datang menghadap Nabi SAW, beliau bersabda, "Ambillah kunci ini sebagai pusaka abadi, tidak ada yang merampasnya dari kalian kecuali orang yang dzalim. Wahai Utsman, Sesungguhnya Allah menyerahkan keamanan rumahNya kepada kalian. Ambillah yang diberikan dari rumah ini dengan cara yang ma'ruf."
Maka tugas memegang kunci Ka'bah tersebut berada di tangan Utsman bin Thalhah dan anak keturunannya, bahkan sampai saat ini.
Suatu ketika saat masih musyrik, Utsman sedang berada di Tan'im, tidak jauh di luar kota Makkah, ia melihat seorang wanita bersama anaknya mengendarai onta sendirian keluar dari Kota Makkah. Setelah dekat, ia-pun bertanya kepada wanita tersebut, yang ternyata adalah Ummu Salamah. "Hendak kemanakah engkau, hai anak perempuan Abu Umayyah?"
Ummu Salamah menjelaskan kalau ia dan anaknya akan ke Madinah untuk menemui suaminya. Sudah sekitar setahun ia terpisahkan sejak suaminya hijrah ke Madinah, sedang ia dan anaknya ditahan oleh kerabatnya. Kini ia dibebaskan dan ingin tinggal bersama suaminya di Madinah, ia berangkat sendirian hanya ditemani Allah. Mendengar penjelasan tersebut, Utsman berkata, "Demi Allah, engkau tidak pantas dibiarkan sendirian begitu saja."           
Setelah itu Utsman memegang kendali unta Ummu Salamah dan menuntunnya berjalan cepat. Jika tiba waktunya istirahat, ia mendudukkan unta agar Ummu Salamah bisa turun, menambatkan unta dan beristirahat di bawah pohon lainnya. Jika akan berangkat lagi, ia mendudukkan unta agar Ummu Salamah mudah menaikinya, kemudian menuntunnya berjalan cepat. Begitu berulang-ulang dilakukan tanpa banyak percakapan.
Setelah beberapa hari perjalanan, mereka sampai di pinggiran kota Madinah, yakni di kampung Quba yang didiami Bani Amr bin Auf, Utsman berkata kepada Ummu Salamah, "Suamimu tinggal di kampung itu, masuklah kamu ke dalamnya dengan berkah dari Allah!"         
            Setelah itu ia menyerahkan kendali unta ke Ummu Salamah, dan berjalan pulang ke arah Makkah.