Rabu, 25 April 2012

Shafiyyah binti Abdul Muthalib RA


Shafiyyah binti Abdul Muthalib RA adalah bibi Nabi SAW, saudara kandung Hamzah RA. Walau tergolong wanita yang berusia lanjut, ia tak ingin tertinggal dalam jihad ketika ada kesempatan. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud, beberapa orang yang akan melarikan diri dari medan pertempuran diancamnya  dengan mengacungkan dan melemparkan tombaknya, sehingga mereka kembali ke medan pertempuran.
Dalam perang Khandaq, Nabi SAW mengumpulkan seluruh kaum wanita dalam suatu benteng, dan menunjuk Hassan bin Tsabit, yang masih sangat muda (dalam riwayat lain, urat tangannya putus hingga tak mampu mengayun senjata) untuk menjaga mereka. Hal ini diketahui oleh orang-orang Yahudi yang menjadi musuh dalam selimut di peperangan ini. Mereka berniat menyerang wanita-wanita muslim ini, saat para kaum lelaki mengalami serangan musuh dari luar, kaum kafir Quraisy dan sekutu-sekutunya.
Mereka mengirim seorang mata-mata untuk menyelidiki keadaan dalam benteng. Shafiyah melihat kehadiran mata-mata ini dan berkata kepada Hassan, "Hai Hassan, ada seorang mata-mata Yahudi akan memasuki benteng kita, keluarlah kamu dan bunuhlah dia, agar ia tidak mengetahui keadaan kita."
Hasan bin Tsabit tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya. Demi keselamatan kaum muslimat, Shafiyah memutuskan untuk melakukannya sendiri. Ia mengambil patok (pasak) kemah, dan mendekati mata-mata Yahudi itu, lalu memukul kepalanya hingga tewas. Setelah itu ia menemui Hassan dan berkata, "Hai Hassan, aku telah membunuhnya, karena ia bukan muhrim saya, pergilah engkau mengambil hartanya, lepaskan pakaiannya dan penggallah lehernya!"
Sekali lagi Hassan tidak bersedia karena keadaannya, sehingga Shafiyyah sendiri melucuti sendiri barang-barang dan pakaian orang Yahudi tersebut. Ia memotong kepalanya dan menggelindingkannya ke luar benteng, sehingga orang-orang Yahudi yang bersiap menyerang benteng, berkesimpulan, "Kita sudah menduga, Muhammad tidak akan meninggalkan wanita-wanita itu sendirian. Di sana pasti ada lelaki yang ditugaskan menjaganya."
Demikianlah, karena keberanian Shafiyyah, benteng itu selamat dari serangan kaum Yahudi, padahal ketika itu usia Shafiyyah telah mencapai 58 tahun.

Rubayyi binti Mu'awwidz RA


Rubayyi binti Mu'awwidz RA adalah salah seorang Anshar, yang telah memeluk Islam sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah, ketika Islam didakwahkan oleh utusan Nabi SAW, Mush'ab bin Umair. Ia sering ikut dalam berbagai pertempuran, tugasnya adalah membantu mengobati mujahid yang terluka dan pingsan. Ayahnya, Mu'awidz bin Afra berperan aktif atas terbunuhnya Abu Jahal di perang Badar, tetapi akhirnya menjadi syahid di perang tersebut. Pernikahannya sendiri dihadiri oleh Rasulullah SAW.
Suatu ketika beberapa orang wanita berkumpul di rumahnya, dan seperti biasanya, mereka saling menceritakan nasab dan keadaan mereka. Ketika mereka tahu, Rubayyi adalah putri dari Mu'awwidz bin Afra, pahlawan Badar yang menewaskan Abu Jahal, Asma binti Abu Bakar berkata, "Oh, jadi engkau adalah putri dari seseorang yang membunuh pemimpinnya..!"
Maksud Asma mungkin adalah suatu kekaguman, karena Abu Jahal adalah pemimpin Quraisy yang sangat ditakuti, dan ayah Rubayyi mampu membunuhnya. Tetapi menurut Rubayyi, tidaklah patut untuk menganggap pemimpin, orang-orang yang memusuhi Islam dan menyakiti pemeluk-pemeluk Islam. Karena itu, ia berkata, "Saya bukanlah anak pembunuh pemimpinnya, tetapi saya adalah anak dari seorang yang membunuh hamba sahaya."
Ternyata Asma tidak terima dengan pernyataan Rubayyi, bahwa Abu Jahal seorang hamba. Sebagai orang Quraisy, ia tetap menghargai kebangsawanan dan tidak menyamakannya dengan hamba. Didasari oleh rasa tersinggung, ia berkata, "Aku haramkan menjual minyak wangi kepadamu…!"
"Sayapun haram membeli minyak wangi darimu," Kata Rubayyi membalas ucapan Asma.
Memang, kebanggaan akan sesuatu tidaklah baik, bahkan ‘membanggakan’ keislaman dan keimanan. Bukan kebanggaan yang harus dilakukan, tetapi rasa syukur dengan jalan terus meningkatkan amalan-amalan shalihah.
Ketika Rasulullah SAW menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa (sunnah) pada tanggal 10 Muharam atau hari Asyura, Rubayyi selalu berpuasa pada hari tersebut dan mengajak anak-anaknya untuk berpuasa walaupun mereka masih kecil. Apabila mereka menangis karena lapar, ia menghiburnya dan mengajaknya bermain sehingga mereka terdiam, dan bersabar hingga menunggu waktu berbuka.

Khabbab bin Arats RA


Khabbab bin Arats adalah seorang sahabat Muhajirin yang memeluk Islam pada masa-masa awal, ketika umat Islam belum mencapai duapuluh orang. Ia berasal dari golongan lemah, yakni hanya seorang budak yang bertugas membuat pedang atau peralatan dari besi lainnya. Sebagaimana sahabat-sahabat yang masuk Islam pada periode awal, ia mengalami penyiksaan yang tidak tanggung-tanggung. Statusnya sebagai budak membuat tuannya, Ummu Anmar bebas menyiksa dirinya. Ia diseterika dengan besi panas yang merah menyala, dipakaikan baju besi kemudian dijemur di panas padang pasir, juga pernah diseret di atas timbunan bara sehingga lemak dan darahnya mengalir mematikan bara tersebut.
Khabbab pernah mengeluhkan beratnya siksaan yang dialaminya kepada Nabi SAW, beliau yang saat itu tengah bersandar pada Ka'bah beralaskan burdah, bersabda,  "Wahai Khabbab, orang-orang yang sebelum kalian pernah disisir kepalanya dengan sisir besi, sehingga terlepas tulang dari dari daging dan uratnya, tetapi ia tidak berpaling dari agamanya. Ada pula yang dipenggal lehernya hingga kepalanya putus, namun ia tetap teguh dengan agamanya. Sungguh Allah SWT akan memenangkan perjuangan agama ini sehingga suatu saat nanti, orang akan berkendaraan dari Shan'a hingga Hadramaut tanpa merasa takut kecuali hanya kepada Allah, sampai serigala bisa berdampingan dengan kambing (tanpa memangsanya). Namun sungguh kalian adalah orang yang suka tergesa-gesa."
Mendengar penuturan beliau itu, Khabbab pun ikhlas dengan penderitaannya dan berteguh dengan keimanannya. Ketika Islam telah mengalami kejayaan dan berbagai harta kekayaan melimpah, Khabbab justru duduk menangis sambil berkata, "Tampaknya Allah telah memberikan ganjaran atas segala penderitaan yang kita alami, aku khawatir tidak ada lagi ganjaran yang kita terima di akhirat, setelah kita terima berbagai macam kemewahan ini!!”
Setelah itu Khabbab meletakkan seluruh hartanya pada bagian rumahnya yang terbuka, dan mengumumkan agar siapa saja yang memerlukan untuk mengambilnya tanpa meminta ijin dirinya. Ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan mengikatnya dengan tali (yakni, tidak mempertahankan hartanya tersebut), dan tidak akan melarang orang yang akan meminta/mengambilnya!!”  
Setelah Khabbab terbebas dari perbudakannya karena ditebus dan dimerdekakan oleh Abu Bakar, ia berkhidmad untuk belajar Al Qur’an dan akhirnya menjadi salah seorang yang ahli (Qari) dalam Al Qur’an. Ia tengah mengajarkan Al Qur’an kepada Fathimah binti Khaththab dan suaminya ketika Umar datang menghajar keduanya karena keislamannya. Tetapi peristiwa itu justru menjadi pemicu Umar memeluk Islam.
Khabbab hampir tidak tertinggal dalam berbagai pertempuran di medan jihad. Pada Perang Badr, ia bertugas menjaga kemah Rasulullah pada malam sebelum perang, dan ia melihat Nabi SAW shalat semalaman hingga menjelang fajar. Ketika Khabbab bertanya tentang shalat yang sangat panjang  itu, Nabi SAW menjawab, "Itu adalah shalat yang penuh harapan dan ketakutan, aku berdoa kepada Allah dengan tiga permintaan, dua dikabulkan dan satu lagi dicegahNya. Aku berdoa : Ya Allah, janganlah umatku Engkau binasakan sampai habis karena kelaparan, dan Dia mengabulkannya. Aku berdoa : Ya Allah, Janganlah umatku engkau binasakan sampai habis karena serangan musuh, dan Dia mengabulkannya. Aku berdoa : Ya Allah, janganlah terjadi perpecahan dan  perselisihan di antara umatku, maka Dia mencegah doaku ini."

Hushain bin Ubaid al Khuzai RA


Hushain bin Ubaid al Khuzai, ayah dari seorang sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW, Imran bin Hushain. Ia adalah seorang tua yang punya pengaruh cukup besar di masa jahiliah sekaligus salah satu pemuka Bani Khuza’ah, sekutu dari kaum Quraisy. Ia juga terkenal sebagai seorang yang pintar berdebat dan berdiplomasi. Tetapi ia didahului (tertinggal) oleh anaknya dalam memeluk Islam.
Suatu ketika Hushain bin Ubaid diminta kaum Quraisy untuk menasehati Nabi SAW yang dianggap telah menghina dan mencaci maki berhala-berhala sesembahan mereka. Berangkatlah Hushain diiringi orang Quraisy lainnya menuju majelis dimana Nabi SAW dan sahabat-sahabat beliau sedang berkumpul, termasuk putranya Imran. Setibanya disana, Imran langsung berpaling melihat kehadiran ayahnya, tetapi Nabi SAW bersabda, “Berilah jalan kepada orang tua ini!!”
Setelah berhadapan dengan Nabi SAW, Hushain berkata, “Benarkah yang kami dengar tentang dirimu, bahwa engkau mencaci maki dan menjelek-jelekkan tuhan-tuhan kami, padahal kakekmu (Abdul Muthalib) dahulu adalah orang baik-baik!!”
Nabi SAW bersabda, "Hai Hushain, berapakah Tuhan yang kamu sembah?”
Hushain menjawab, "Tuhan yang kusembah itu tujuh di bumi dan satu di langit.”
Beliau bertanya lagi, “Jika kamu ditimpa musibah, kepada siapakah kamu berdoa?”
Hushain menjawab, “Kepada Tuhan yang di langit.”
Nabi SAW bersabda lagi, "Jika Tuhan yang Satu di langit itu mengabulkan doamu, sedang kalian mempersekutukanNya dengan tujuh tuhan di bumi, apakah benar engkau telah membuat ridha Tuhan yang mengabulkan doamu itu? Apakah itu cara syukurmu atau engkau takut Dia akan mengalahkanmu?"
Hushain tak berkutik dengan pernyataan beliau itu yang susah dibantah dengan logika berfikirnya, dan ia hanya tercenung merenunginya. Dalam keadaan seperti itu, Nabi SAW menjelaskan risalah Islam dan mengajaknya untuk memeluknya mengikuti jalan kebenaran, sehingga Hushain tidak beranjak dari majelis itu kecuali ia telah memeluk Islam.
Imran bin Hushain langsung berdiri dan menghampiri ayahnya, kemudian mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki Hushain yang telah memeluk Islam, sebagai penghormatan seorang anak kepada orang tuanya. Rasulullah SAW sampai menangis melihat peristiwa itu. Seorang sahabat bertanya, "Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah?"
Beliau bersabda, "Aku menangis melihat perbuatan Imran, ketika ayahnya masuk menemuiku, ia tidak bangun mendekati ayahnya bahkan tidak menoleh ke arahnya sedikitpun. Tetapi ketika Hushain memeluk Islam, ia telah menunaikan kewajibannya sebagai anak dan hak ayahnya. Dan itu membuat hatiku terharu dan berkesan."
Ketika Hushain beranjak pulang, Nabi SAW menyuruh sahabat-sahabatnya berdiri dan mengucapkan ucapan salam dan selamat, sebagian lagi mengantarnya pulang. Orang-orang Quraisy yang tadi mengikutinya jadi tahu kalau Hushain telah memeluk Islam.

Farwah bin Musaik al Ghuthaifi RA


Farwah bin Musaik al Ghuthaifi RA seorang sahabat yang berasal dan tinggal di Saba, termasuk wilayah Yaman. Negeri itu di masa lalu dikuasai oleh Ratu Balqis yang menyembah matahari, tetapi akhirnya memeluk Islam mengikuti dakwah Nabi Sulaiman AS. Kisahnya diabadikan di dalam Al Qur’an. Sebagian penduduk Saba telah memeluk Islam, tetapi sebagian dari mereka ini kembali ke agama lamanya atau murtad. Farwah menemui Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku memerangi orang yang berpaling dari Islam di antara kaumku, bersama orang-orang yang masih memeluk Islam?"
Nabi SAW mengijinkan niat Farwah ini, karena secara syariah hal itu memang dibolehkan. Tetapi karena ada pertimbangan lain, Farwah bertanya lagi, "Ya Rasulullah, rasanya aku tidak akan mampu memerangi mereka, karena mereka akan bergabung dengan penduduk Saba lainnya yang masih memeluk agama lamanya. Dan mereka adalah kaum yang lebih kuat daripada kami."
Tetapi Nabi SAW memerintahkan Farwah untuk melaksanakan niatnya yang pertama, yakni memerangi orang-orang yang murtad tersebut. Tidak masalah ia menang atau kalah, yang jelas ia telah melaksanakan kewajibannya. Kalaupun ia dan pasukannya gugur semua, surga telah menunggunya karena mereka gugur dalam keadaan syahid.
Farwah kembali ke perkemahannya, dimana kabilahnya berkumpul. Tetapi tidak berapa lama ada utusan Rasulullah SAW yang menjemputnya untuk menemui beliau lagi. Farwah kembali bergabung dengan Nabi SAW dan sahabat lainnya. Beliau memberitahukan tentang turunnya ayat tentang kaum Saba dan beliau melarang untuk memerangi kaumnya tersebut. Beliau berkata, "Serulah kaum itu kepada Islam terlebih dahulu, siapa yang bersedia, maka terimalah mereka. Jika mereka  menolak, janganlah kamu tergesa memerangi sampai engkau melaporkannya kepadaku."   
Farwah menanyakan tentang nama 'Saba', apakah nama sebuah tempat atau nama wanita? Nabi SAW menjelaskan, "Saba bukanlah nama suatu tempat atau nama seorang wanita, tetapi ia nama seorang lelaki yang menurunkan sepuluh kabilah Arab, enam di Yaman, yaitu : Azdi, Kindah, Himyar, al Asy'ariyyun, Ammar dan Madzhij. Sedang empat kabilah di Syam, yaitu : Lahm, Judzdzam, Ghassan dan Amilah."
Setelah itu Farwah kembali kepada kabilah dan segera pulang ke Saba untuk melaksanakan dakwah seperti yang diperintahkan Rasulullah SAW

Minggu, 15 April 2012

Hamzah bin Abdul Muthalib RA

          Hamzah bin Abdul Muthalib adalah sahabat sekaligus paman Nabi SAW. Walau sebagai paman, Hamzah seusia (lebih kurang sama) dengan beliau, bahkan ia juga saudara sesusu Nabi SAW, sama-sama dipelihara dan disusui oleh Halimah as Sa’diyah. Bahkan sebelum dibawa kepada Bani Sa’d bin Bakr, kabilahnya Halimah as Sa’diyah, keduanya pernah disusui oleh Tsuwaibah, salah satu sahaya Abu Lahab yang saat itu sedang menyusui anaknya, Masruh. Mereka berdua juga teman sepermainan dan tumbuh dewasa bersama-sama.
            Hamzah adalah seorang lelaki Quraisy yang sangat terpandang dan sangat disegani. Ia sangat menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan keluarganya. Ia mempunyai kegemaran (hobbi) berburu, dan hal itu membuat dirinya makin ditakuti oleh orang-orang Quraisy lainnya.
Suatu hari di bulan Dzulhijjah tahun ke enam dari nubuwwah, ketika baru pulang dari perburuannya, seorang budak wanita milik Abdullah bin Jad’an berkata kepadanya, “Wahai Abu Ammarah (nama kunyahnya Hamzah), ketika berada di Shafa, aku melihat Abu Jahal mencaci maki dan melecehkan keponakanmu, Muhammad. Bahkan ia memukul kepalanya hingga terluka!!”
Mendengar laporan tersebut Hamzah sangat marah. Nabi SAW adalah putra kakak kandungnya, sedangkan Abu Jahal hanya saudara sepupunya. Penghinaan kepada beliau sama artinya dengan penghinaan kepada dirinya, apalagi ayahnya telah wafat. Masih dengan menenteng busur panahnya, ia berjalan berkeliling mencari Abu Jahal, setiap orang yang ditemuinya selalu ditanya keberadaan Abu Jahal. Ketika ditemuinya di dekat masjid, ia berkata, “Wahai orang yang berpantat kuning (yakni, Abu Jahal), beraninya engkau mencela anak saudaraku, sedangkan aku berada di atas agamanya…!!”
Setelah itu Hamzah memukul kepala Abu Jahal dengan busur panah yang dipegangnya hingga luka menganga. Orang-orang Bani Makhzum (kabilahnya Abu Jahal) berdiri ingin melakukan perlawanan, dan orang-orang Bani Hasyim (kabilahnya Hamzah dan Nabi SAW) juga segera berdiri di belakang Hamzah. Kalau dibiarkan mungkin bisa terjadi perang saudara saat itu. Tetapi Abu Jahal berkata kepada kaumnya, “Biarkan saja Abu Ammarah, karena aku memang telah mencaci maki anak saudaranya dengan cacian yang sangat menyakitkan!!”
Mungkin apa yang dikatakan Hamzah bahwa ia berada di atas agama Nabi SAW adalah hanya ungkapan kemarahan dan perasaan harga dirinya yang tersinggung. Tetapi bisa jadi itu memang jalan hidayah Allah, karena setelah itu ia menghadap Nabi SAW dan menyatakan dirinya memeluk Islam.
Keislaman Hamzah bin Abdul Muthalib seolah menjadi pemicu bangkitnya kekuatan Islam, apalagi tiga hari kemudian disusul dengan keislaman Umar bin Khaththab. Atas inisiatif Umar, kaum muslimin yang selama ini beribadah dan berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, jadi berani melakukannya dengan terang-terangan. Saat itu juga, Nabi SAW mengeluarkan kaum muslimin dalam dua barisan, barisan pertama dipimpin oleh Hamzah dan barisan kedua dipimpin Umar. Mereka berjalan menuju Baitullah dengan menggemakan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir kemudian berkumpul di dekat Ka’bah. Kaum kafir Quraisy hanya bisa memandang tanpa berani berbuat apa-apa.
Ketika perang Badar mulai pecah, seorang lelaki perkasa dari Quraisy, Aswad bin Abdul Asad al Makhzumy sesumbar akan menghabisi kaum muslimin. Maka Hamzah maju menghadapi orang sombong tersebut dan dengan mudah membunuhnya. Kemudian tampillah tiga pahlawan kafir Quraisy yang masih bersaudara, Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah, menantang duel. Tiga orang pemuda Anshar, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah berniat menghadapi mereka, tetapi mereka hanya menginginkan sesama Quraisy saja. Maka Nabi SAW memerintahkan Hamzah, Ali dan Ubadah bin Harits yang juga bersaudara untuk menghadapinya, dan dengan mudah mengalahkan mereka. Hanya saja Ubadah sempat terluka parah, dan akhirnya gugur sebagai syahid.     
Dalam perang Badar itu, Hamzah memakai tanda bulu burung pada bajunya. Ia berperang dengan perkasanya sehingga pasukan musuh porak poranda. Seorang lelaki musyrik bertanya tentang siapa dia, dan dijawab kalau dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia berkata, "Dialah yang banyak menimbulkan kesusahan pada kita."
Dalam perang Uhud, ketika pasukan muslim porak poranda karena sebagian besar pemanah meninggalkan  posnya, seorang sahabat melihat Hamzah di dekat sebuah pohon sedang berdoa, "Aku adalah singa Allah dan singa Rasul-Nya. Wahai Allah, aku berlepas diri kepadaMu dari perbuatan orang-orang musyrik, aku memohonkan ampunanMu atas apa yang dilakukan oleh mereka (kaum muslim) atas Abu Sufyan dan teman-temannya (yakni melarikan diri dari musuh)."
Setelah itu, ia terjun lagi dalam pertempuran, menghadang pasukan musyrikin walaupun keadaannya tidak berimbang, pasukan musuh terlalu banyak. Setiap orang musyrik yang mencoba mendekati dan memeranginya pasti terbunuh. Saat itu, Wahsyi mencoba mendekati sambil bersembunyi di balik pohon dan batu-batuan. Tiba-tiba muncul Siba bin Abdul Uzza, Hamzah langsung menyongsongnya sambil berkata, "Mendekatlah padaku, hai anak lelaki wanita tukang khitan…!!"
Ketika Hamzah sedang sibuk melawan dan menyerang Siba, Wahsyi bersiap menggerak-gerakkan tombaknya. Saat Hamzah sedang memukul kepala Siba dengan pukulan yang bisa menghancurkan kepalanya, Wahsyi melemparkan tombaknya ke arah Hamzah dan mengenai pinggang bagian bawahnya dan tembus di antara dua pahanya. Hamzah mencoba mengejarnya, tetapi jatuh dan syahid seketika.
Wahsyi mengambil tombaknya, mencabutnya dari tubuh Hamzah dan kembali ke kemahnya sambil menunggu peperangan usai. Ia memang tidak punya kepentingan dengan pertempuran itu. Niatnya membunuh Hamzah hanya untuk kemerdekaan dirinya dari perbudakan, dan juga hadiah yang dijanjikan oleh Hindun binti Utbah.
Usai perang, Nabi SAW mencari jenazah Hamzah dan sahabat yang melihat Hamzah tadi mengantar beliau ke dekat pohon dimana Hamzah berdoa. Ketika melihat jenazahnya yang ditoreh, diiris bahkan dirusak itu, beliau menahan nafasnya sehingga tersengal-senga, dan beliau bersabda, "Kafanilah jenazahnya..!"
           Bangkitlah seorang lelaki Anshar dan memberikan pakaiannya untuk dibuat kafan jenazah  Hamzah. Kemudian Nabi SAW bersabda, "Penghulu para syuhada di sisi Allah pada hari kiamat adalah Hamzah..!"

Imran bin Hushain al Khuzai RA


            Imran bin Hushain al Khuzai, seorang sahabat dari Bani Khuza’ah yang telah memeluk Islam pada saat Nabi SAW masih berdakwah di Makkah. Ayahnya, Hushain bin Ubaid al Khuzai adalah seorang pemuka dan juga ilmuwan di antara kaumnya, yang juga sangat dihargai oleh kaum Quraisy Makkah. Suatu ketika ia sedang bersama Nabi SAW dan sahabat-sahabat lainnya, ketika ayahnya itu datang menemui Nabi SAW, atas permintaan kaum Quraisy. Imran segera memalingkan muka dan bersikap sinis melihat ayahnya tersebut. Ia sangat tahu kepandaian dan keahlian ayahnya dalam berdebat, dan ia sangat tidak rela jika Rasulullah SAW dibantah oleh ayahnya itu. 
            Tetapi setelah beberapa lamanya berbincang, akhirnya ayahnya tersebut menyerah dengan logika ketuhanan yang disampaikan Nabi SAW dan Hushain bin Ubaid mengucap syahadat menyatakan dirinya memeluk Islam. Imran kaget bercampur gembira, ia segera memeluk dan mencium kepala, tangan dan kaki ayahnya dengan penuh haru. Rasulullah SAW sendiri sampai ikut menangis melihat sikap Imran tersebut. Salah seorang sahabat bertanya, “Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah??”
            Beliau bersabda, “Aku menangis melihat sikap Imran. Ketika ayahnya masuk ke sini dalam keadaan kafir, ia tidak menyambutnya, bahkan ia bersikap sinis dan memalingkan muka. Tetapi begitu ayahnya memeluk Islam, ia segera menunaikan kewajibannya sebagai anak, hal itu yang membuatku menangis terharu!!”
            Sebagian riwayat menyebutkan, Imran bin Hushain ini memeluk Islam pada saat perang Khaibar, yang terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah. Kalau mengacu dengan kisah keislaman ayahnya tersebut di atas, tentu saja hal itu sangat bertentangan.  Wallahu A’lam!!
            Imran bin Hushain sangat rajin menghadiri majelis pengajaran Rasulullah SAW, baik ketika berada di Makkah, terlebih lagi ketika telah hijrah ke Madinah. Karena itu ia termasuk salah satu sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Ia berusia lanjut hingga sempat mengalami jaman kejayaan Islam, di mana harta melimpah ruah di seluruh penjuru negeri. Namun demikian ia memilih tetap hidup sederhana dan zuhud seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
            Pada masa khalifah Umar bin Khaththab, Imran ditugaskan untuk menjadi pengajar bagi penduduk Bashrah. Salah satu yang menjadi muridnya adalah seorang ulama tabi’in yang terkenal, Hasan al Bahsri. Hasan al Bashri pernah berkata, “Tidak ada sahabat Nabi SAW yang datang ke Bashrah, yang keutamaannya melebihi Imran bin Hushain. Ia selalu menolak siapapun yang membuatnya lalai beribadah kepada Allah, ia layaknya malaikat yang berjalan di muka bumi!!”
            Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali dan Muawiyah, Imran bin Hushain memilih tidak berpihak kepada siapapun dari keduanya. Ia berkata, “Menggembala sekelompok kambing yang sedang menyusui anak-anaknya di puncak gunung yang terpencil sampai aku mati, lebih aku sukai daripada harus melepaskan anak panah ke salah satu kelompok kaum muslimin, baik mereka itu salah, apalagi mereka itu benar!!”
Pada masa akhir hidupnya, Imran bin Hushain menderita penyakit buang air selama tigapuluh tahun dan ia tidak bisa bergerak dari tempat tidurnya. Akibatnya harus dibuatkan lubang di bawah tempat tidurnya untuk kencing dan buang air besarnya. Namun demikian selama tiga puluh tahun tersebut ia tidak pernah mengeluh dan tetap bersabar dengan ujian Allah yang dialaminya. Ia juga tetap melaksanakan kewajiban-kewajiban syariat sesuai kemampuannya.
Suatu ketika salah satu saudaranya yang bernama Al Alaa' atau Mutharrif bin Asy Syikhkhir menjenguknya dan ia menangis melihat keadaan Imran yang begitu memprihatinkan. Ia tersenyum melihat reaksi saudaranya tersebut dan berkata, "Janganlah engkau menangis. Sesungguhnya aku suka dengan apa yang disukai Allah. Aku akan menceritakan kepadamu sesuatu hal, yang semoga saja bermanfaat bagimu, tetapi jangan engkau ceritakan kepada orang lain sampai aku meninggal dunia."
Kemudian Imran menceritakan, bahwa karena sakitnya itu, para malaikat berziarah atau mengunjungi dirinya setiap harinya, dan memberi salam kepadanya, sehingga ia merasa senang dan selalu berdoa untuk tidak sembuh dari penyakitnya tersebut hingga ajal menjemputnya.
Jika ada orang yang menyarankan agar ia berobat atau akan mengobatinya, ia akan berkata, “Sesuatu yang paling aku cintai adalah sesuatu yang dicintai Allah (yakni, ketentuan/takdir Allah kepada dirinya) !!”
Ketika waktu ajalnya makin dekat, ia berpesan kepada orang-orang sekitarnya, “Jika kalian pulang setelah menguburkanku, hendaklah kalian sembelih beberapa ekor ternak untuk menjamu mereka, layaknya jamuan dalam pesta perkawinan!!”

Abu Sa'id al Khudri RA


Ketika terjadi perang Uhud, Abu Said al Khudri RA baru berusia 13 tahun, tetapi telah ia diajak ayahnya untuk ikut bergabung dengan pasukan yang siap berangkat membela panji-panji keimanan. Sayangnya keberadaannya ini diketahui oleh Rasululllah SAW, dan beliau melarangnya mengikuti pertempuran ini. Walaupun ayahnya berdalih bahwa anaknya ini kuat dan mempunyai semangat tinggi untuk berjihad, beliau tetap saja menolak.
Ternyata ayahnya menemui syahid di medan perang Uhud ini, dan ia tidak meninggalkan harta apapun untuk anaknya yang masih kecil. Karena itu Abu Said berniat meminta bantuan keuangan kepada Nabi SAW untuk menunjang kehidupannya. Tetapi ketika ia sampai di majelis Rasulullah SAW, ia mendengar beliau bersabda, "Barang siapa yang meminta kesabaran, maka ia akan memperoleh kesabaran. Barang siapa yang meminta kesucian, maka ia akan memperoleh kesucian. Dan barang siapa yang menginginkan kekayaan, maka Allah akan memberikan kekayaan kepadanya…"
Walaupun ia belum menyampaikan maksudnya kepada Nabi SAW, ia merasa sabda beliau itu ditujukan kepadanya, dan ia memutuskan untuk membatalkan keinginannya meminta bantuan keuangan. Ia kembali pulang dengan diam-diam. Sepertinya beliau secara tidak langsung ‘memberikan’ pilihan kepada dirinya untuk memilih duniawiah, seperti keinginannya semula, atau pilihan akhirat, di mana ia harus bersabar dan menyucikan jiwanya. Dan Abu Sa’id sepertinya lebih condong untuk memilih kehidupan akhirat seperti dicontohkan Nabi SAW dan umumnya para sahabat lainnya.
Di kemudian hari, ternyata Abu Sa'id al Khudri merupakan salah satu sahabat yang banyak sekali meriwayatkan hadits Nabi SAW.

Abu Darda' RA


Uwaimir bin Malik, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Darda adalah seorang sahabat Anshar. Ia termasuk orang yang terakhir memeluk Islam dari kalangan kerabat atau kabilahnya. Saudaranya, Abdullah bin Rawahah beberapa kali mendakwahinya agar memeluk Islam, tetapi ia menolaknya. Abu Darda memiliki berhala dari kayu yang diberi tutup kepala, berhalanya itu ditaruh di tempat yang agak tinggi di dalam kamarnya.
Suatu ketika Abdullah bin Rawahah melihat Abu Darda keluar dari rumahnya, maka ia mendatangi rumahnya dan menemukan istrinya sedang menyisir rambut. Sang istri mengatakan kalau Abu Darda sedang keluar, Abdullah langsung memasuki kamarnya dan menurunkan berhala sembahan Abu Darda. Dengan gergaji yang telah dipersiapkannya, Abdullah memotong-motong berhala itu hingga tidak karuan lagi bentuknya.
Mendengar suara gergaji di kamar suaminya, segera saja sang istri menghampirinya, dan langsung berteriak kaget melihat apa yang dilakukan oleh Abdullah. Dengan menangis ia berkata, "Apakah engkau ingin membinasakan aku, wahai Ibnu Rawahah?"
Tanpa berkata apa-apa Abdullah bin Rawahah meninggalkan rumah Abu Darda dan membiarkan istrinya menangis. Saat Abu Darda pulang dan melihat istrinya menangis, ia menanyakan sebabnya. Istrinya berkata, "Tadi saudaramu, Abdullah bin Rawahah datang dan memasuki kamarmu, lihatlah sendiri apa yang dilakukannya…."
Setelah memasuki kamarnya, Abu Darda pun marah besar, tetapi pada saat yang sama ternyata hidayah Allah menyapanya. Akal sehatnya berkata, "Kalau saja berhala ini memang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, mengapa ia tidak mempertahankan dirinya??"
Abu Darda menemui Abdullah bin Rawahah, memintanya mengantar menemui Rasulullah SAW, dan ia bersyahadat, menyatakan dirinya memeluk Islam.
            Setelah keislamannya, Abu Darda memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai pedagang dan membaktikan hidupnya untuk membela Islam, sebagaimana kebanyakan sahabat Anshar lainnya. Ia hidup dalam kezuhudan, yakni meninggalkan kesenangan dunia. Jika tidak sedang berjuang di medan jihad, ia akan menghabiskan waktu untuk menggali ilmu dari Nabi SAW, khususnya yang berkaitan dengan mengelola hati dan mengendalikan hawa nafsu. Karena itulah di kemudian hari Abu Darda dikenal sebagai sahabat ahli ilmu dan ahli hikmah.
Suatu ketika Uwaimir atau Abu Darda ini memergoki istrinya sedang bersama lelaki lain. Walaupun ia tidak melihat apa yang terjadi dan tidak ada seorang saksi yang melihat, tetapi ia meyakini telah terjadi hubungan terlarang antara lelaki itu dan istrinya. Karena itu ia datang kepada Ashim bin Adi, pimpinan Bani Ajlan meminta pendapat tentang apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus membunuh lelaki tersebut, yang akibatnya ia akan mendapat qishah dibunuh juga. Ashim tidak berani menyarankan sesuatu sebelum bertanya kepada Nabi SAW.
Ketika Ashim menemui Nabi SAW dengan membawa masalah tersebut, ternyata beliau mencelanya, tanpa memberi jawaban, bahkan beliau cenderung membenci pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang bernuansa syu'udzon. Dan ketika ia kembali kepada Uwaimir, ia  menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak memberikan kebaikan kepadanya, malah ia dicela Nabi SAW.
Uwaimir memutuskan untuk menanyakan sendiri permasalahannya tersebut kepada beliau. Ia menghadap Nabi SAW, dan ternyata jeda waktu antara Ashim bin Adi dan ia menghadap, turun wahyu untuk solusi permasalahannya tersebut. Beliau menyambutnya sambil bersabda, "Allah telah menurunkan ayat Al Qur'an tentang engkau dan istrimu (Surah an Nur ayat 6-10)"
Kemudian Nabi SAW menyuruhnya menghadirkan istrinya, dan memerintahkan bersumpah dan melakukan mula'anah (saling mengutuk) sesuai dengan petunjuk yang datang dalam Surah an Nur  ayat 6-10). Setelah ia dan istrinya melakukan petunjuk dalam ayat tersebut, Uwaimir berkata, "Wahai Rasulullah, jika saya menahan istriku, maka saya telah menzhaliminya…"
Beliau memahami apa yang dikatakan Uwaimir, dan beliau mengijinkan ia menceraikan istrinya. Setelah mereka berlalu, beliau bersabda kepada para sahabat yang hadir, "Lihatlah, jika wanita itu melahirkan anak yang hitam, matanya lebar dan amat hitam, besar pantatnya dan besar kedua betisnya, saya menduga Uwaimir telah benar dengan tuduhannya (bahwa istrinya berzinah). Jika wanita itu melahirkan anak yang kemerah-merahan seperti cecak, saya menduga Uwaimir telah berdusta dengan tuduhannya."
Beberapa waktu berlalu, dan ternyata wanita tersebut melahirkan seorang anak seperti yang disifatkan beliau, yang membenarkan Abu Darda. Maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Namun demikian, tidak ada penjelasan atau riwayat pasti yang menyatakan Nabi SAW menjalankan rajam kepada istri Uwaimir dan lelaki yang menzinahinya.
Dalam riwayat lain disebutkan, turunnya Surah an Nur ayat 6-10 tersebut menyangkut sahabat Hilal bin Umayyah dalam peristiwa yang hampir sama.
Abu Darda berusia panjang sehingga menemui masa-masa kejayaan Islam di mana harta melimpah ruah ke Madinah dan tempat-tempat lainnya. Namun demikian ia tetap hidup dalam kezuhudan. Bahkan ia gencar mendakwahkan untuk menghindari kesenangan dan kemewahan dunia, sebagaimana dilakukan oleh Abu Dzar. Hanya saja kalau Abu Dzar bersikap keras, dengan menampilkan ancaman-ancaman bagi orang yang bergelimang dengan keduniawiahan, Abu Darda lebih lembut. Ia lebih banyak menampilkan keutamaan dan keindahan kehidupan akhirat, dan bahayanya tipuan dunia dan kemewahannya. Kehidupan dunia hanyalah untuk mencari bekal dengan berbagai macam ibadah dan dzikr, yang manfaatnya sangat besar dalam kehidupan akhirat kelak.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan, Abu Darda ‘dipaksa’ untuk menjadi Qadhi (hakim) di daerah Syiria, padahal ia sama sekali tidak menginginkan jabatan tersebut walau pengetahuan dan keilmuannya mendukung. Yang menjadi gubernur Syiria saat itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, yang hidup bergelimang harta dan kemewahan, dan sangat sesuai dengan pola hidup masyarakatnya yang sejak di bawah Imperium Romawi memang hidup dalam kelimpahan. Sungguh sangat kontras pola kehidupan dua pejabat tersebut, yang dalam struktur pemerintahan Islam adalah setara. Tetapi bagi Abu Darda hal itu dimanfaatkan untuk terus berjuang dan berdakwah, membimbing umat untuk hidup seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Ketika di kemudian hari Muawiyah menjadi khalifah, ia melamar putri Abu Darda untuk dinikahkan dengan putranya, Yazid bin Muawiyah, yang juga telah diangkat menjadi putra mahkota. Dengan keras ia menolak lamaran tersebut, kemewahan dan tingginya jabatan Yazid tersebut sama sekali tidak membuatnya tergoda. Tidak terlalu lama setelah itu, ia bertemu seorang pemuda muslim yang sangat miskin tetapi saleh, Abu Darda menikahkan putrinya dengan pemuda tersebut. Melihat sikapnya itu, dengan heran para sahabatnya berkata, “Bagaimana mungkin engkau menolak putra khalifah sekaligus calon khalifah dan memilih seorang pemuda miskin untuk menjadi suami putrimu??”
Dengan tenang Abu Darda berkata, “Bagaimana kiranya si Abu Darda ini bila ia telah dikelilingi para pelayan dan inang pengasuh, dan terpedaya oleh kemewahan istana? Di mana letak agamanya saat itu??”

Abu Arzah al Aslami RA


Dalam suatu pertempuran, Abu Arzah al Aslami shalat sambil memegang kendali hewan kendaraannya (unta atau kudanya). Tiba-tiba saja hewan tunggangannya tersebut bergerak/berjalan lambat, mungkin sambil mencari makan, dan Abu Arzah mengikutinya dengan tetap mempertahankan shalatnya. Artinya ia tetap shalat dalam keadaan berjalan, seperti halnya shalatnya orang musafir di dalam kendaraan saat ini. Ia menjadi bahan pembicaraan dari orang-orang di sekitarnya karena shalatnya dengan berjalan/bergerak tersebut.
Setelah Abu Arzah menyelesaikan shalatnya dan kembali di antara anggota pasukannya, ia menanggapi pembicaraan mereka dengan berkata, "Sesungguhnya saya telah berperang bersama Nabi SAW sebanyak enam, tujuh atau delapan kali, dan saya  melihat beliau mempermudahnya (ketika terjadi peristiwa seperti itu). Dan saya lebih senang mengikuti kemana hewan tersebut bergerak, daripada saya membiarkannya kembali ke tempat yang disukainya, dan itu akan menyulitkan saya (mencarinya dalam pertempuran tersebut)."

Kamis, 05 April 2012

Abu Sufyan bin Harb RA

            Abu Sufyan bin Harb adalah tokoh utama kaum kafir Qurasy. Setelah kekalahan di Perang Badar, dan tokoh-tokoh kaum Quraisy seperti Abu Jahal, Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah, Umayyah bin Khalaf, Walid bin Utbah dan beberapa lainnya, terbunuh di perang tersebut, Abu Sufyan yang muncul sebagai pemimpin Quraisy Makkah, layaknya ia seorang raja saja.   
Pada hari pembebasan atau penaklukan Kota Makkah (Fathul Makkah), Abu Sufyan bin Harb sama sekali tidak diusik oleh Nabi SAW. Padahal beberapa tokoh Quraisy yang sama kerasnya memusuhi Islam seperti dirinya sempat dihalalkan darahnya (boleh dibunuh), walaupun memang pada akhirnya banyak yang diampuni oleh beliau. Bahkan ia sempat diistimewakan dengan sabda beliau, "Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, ia aman…!"
Memang, ketika Nabi SAW bersiap-siap menggerakkan pasukan ke Makkah, Abu Sufyan telah berada di Madinah dengan maksud memperbaharui Perjanjian Hudaibiyah. Ia sempat singgah di rumah putrinya yang juga istri Rasulullah SAW, Ummu Habibah, tetapi ia tidak mendapat sambutan yang menggembirakan. Bahkan untuk duduk di tikar milik Rasulullah SAW saja ia dilarang oleh putrinya tersebut, dengan alasan masih kotor, yakni musyrik.
Abu Sufyan sempat berbicara dengan Nabi SAW tetapi beliau agak mengabaikannya. Ia juga meminta jaminan perlindungan kepada beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, tetapi ia tidak memperoleh apa yang diharapkan. Kebanyakan dari mereka merasa takut, karena Nabi SAW telah memutuskan untuk menyerang dan menaklukkan Kota Makkah. Namun demikian ia memutuskan untuk tetap bersama pasukan muslimin yang sedang bergerak menuju Makkah.
Ketika pasukan muslim tiba di Marr Azh Zhahran, dengan bantuan Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW, Abu Sufyan berhasil menemui Nabi SAW, dan akhirnya ia memeluk Islam atas dorongan dari Abbas. Entah apa motivasi dasarnya, tetapi yang jelas ia mengungkapkan kekaguman dan pengakuannya bahwa pasukan muslim begitu besar, dan orang-orang Quraisy tidak akan mampu menahan jika Nabi SAW benar-benar menyerang Makkah.
Pada malam harinya pada hari Penaklukan Makkah itu, istrinya, Hindun berkata kepada Abu Sufyan bin Harb, "Sesungguhnya aku mau berbai'at kepada Rasulullah SAW."
"Aku melihat kamu ini masih kufur!" Kata suaminya.
Hindunpun berkata, "Demi Allah! Demi Allah! Tidak pernah aku melihat sebelum ini, Allah disembah dengan sebenar-benarnya, sebagaimana telah dilakukan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya di masjid ini (Masjidil Haram) pada malam hari ini. Tidaklah mereka menghabiskan malam, kecuali dengan ruku, sujud dan thawaf hingga subuh." 
Abu Sufyan bertanya, "Apakah kamu melihat semua ini dari Allah?"
"Ya, ini memang dari Allah!!" Kata Hindun dengan tegas.
Pagi harinya, ketika ia menemui Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau berkata kepadanya, "Semalam engkau telah bertanya kepada Hindun : Apakah ini semua dari Allah? Dan ia menjawab : Ya, ini memang dari Allah."
Seketika Abu Sufyan memandang Nabi SAW penuh kekaguman. Ia mungkin telah menyatakan diri memeluk Islam saat Nabi SAW dalam perjalanan ke Makkah. Tetapi pada pagi hari itu ia merasakan kebenaran telah merasuk ke dalam sum-sum dan jiwanya, sehingga sekali lagi ia menyatakan syahadatnya di hadapan Nabi SAW dengan segenap ketulusan hatinya. Kemudian ia berkata, "Demi Allah, tidak ada yang mendengar ucapanku itu selain Hindun!!"
Dalam perang Thaif, perang pertama yang diikutinya sebagai muslim, ketika sedang makan di kebun Abu Ya'la, Sa'id bin Ubaid berhasil memanahnya dan melukai matanya. Ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, mataku ini cedera di jalan Allah!"
Nabi SAW tersenyum mendengar pengaduannya tersebut. Beliau bersabda, "Jika kamu mau, aku akan berdoa kepada Allah agar penglihatanmu kembali seperti sediakala. Atau jika tidak, untukmu surga karena cederamu ini!"
"Aku memilih surga saja, wahai Rasulullah!" Kata Abu Sufyan.
Maka ia menjalani sisa hidupnya dengan mata yang cedera, dan bersabar atasnya.

Ahnaf bin Qais RA


Ahnaf bin Qais RA adalah seorang lelaki dari Bani Sa'd. Ketika Nabi SAW mengirimkan seorang lelaki dari Bani Laits untuk mengajak kabilah Bani Sa'd untuk memeluk Islam, ia tidak memperoleh sambutan yang diharapkan, tetapi saat itu Ahnaf bin Qais berkata kepada utusan Nabi SAW tersebut, "Sesungguhnya engkau menyeru kami kepada kebaikan, dan memerintahkan kami untuk melakukan hal itu.  Apakah beliau juga menyeru kepada kebaikan?"
Utusan Nabi SAW tersebut membenarkannya, dan Ahnaf-pun akhirnya memeluk Islam, walau mungkin ia hanya sendirian saat itu.
Berlalulah waktu, sampai pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu Ahnaf sedang thawaf di Baitullah, ketika seorang lelaki memegang tangannya, yang ternyata lelaki Bani Laits yang pernah berdakwah di kaumnya. Ia berkata kalau punya kabar gembira buat Ahnaf. Sepulangnya dari mengajak Bani Sa'd untuk memeluk Islam, ia menceritakan pada Nabi SAW apa yang dialaminya, termasuk ucapan Ahnaf. Nabi SAW kemudian mendoakan Ahnaf, agar Allah memberikan ampunan kepadanya.
Mendengar cerita lelaki tersebut, Ahnaf langsung berseru gembira, "Tiada aku berharap kepada sesuatu, yang lebih besar daripada harapanku atas doa Rasullullah tersebut."
Seorang keponakan Ahnaf pernah datang kepadanya dan mengeluhkan musibah yang dialaminya, tetapi Ahnaf tidak memperdulikannya. Tetapi sang keponakan masih saja datang lagi sampai beberapa kali dengan keluhan yang sama.
Melihat perilakunya itu, Ahnaf berkata, "Wahai keponakanku, jika musibah menimpamu, keluhkanlah kepada Dzat yang memiliki jalan pemecahan masalahmu itu, jangan engkau keluhkan kepada mahlukNya. Manusia di hadapanmu ada dua macam, yaitu sahabat yang harus kau santuni, dan musuh yang harus kau caci maki. Wahai keponakanku, lihatlah salah satu mataku  ini, demi Allah, aku tidak bisa melihat dengannya benda-benda yang kecil ataupun gunung semenjak empat puluh tahun lalu. Dengan keadaan itu, aku tidak bisa melihat istriku dan juga anggota keluargaku."

Abdullah bin Zaid al Anshari RA


Pada masa Khalifah Umar, ketika sekelompok pasukan kembali dari medan pertempuran, Abdullah bin Zaid  masuk ke masjid, kemudian Umar memanggilnya dan bertanya tentang kabar yang dibawanya, ia berkata, "Sesungguhnya aku membawa berita, ya Amirul Mukmimin…" 
Abdullah bin Zaid menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran tengah berlangsung, ada sekelompok sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang sempat melarikan diri dari perang, dan mereka jadi sedih ketika melihat Umar. Mendengar ceritanya itu, Umar berkata, "Janganlah kalian bersedih hati, wahai kaum muslimin. Sesungguhnya kalian adalah dalam kumpulanku."
Umar menghibur mereka yang bersedih, antara lain adalah Mu'az al Qary. Umar juga menjelaskan kepada sahabat Sa'ad bin Ubaid, bahwa pada jaman Nabi SAW pernah terjadi seorang sahabat mundur dari pertempuran dan beliau memakluminya. Dan setelah berlalu beberapa waktu lamanya, Nabi SAW menggelari sahabat tersebut al Qari, karena prestasi dan kemampuannya dalam hal Al Qur’an.  
Abdullah bin Zaid adalah salah satu sahabat yang mengikuti perang Badar (Ahlu Badar). Ketika terjadi penyerbuan kota Madinah oleh pasukan Yazid bin Muawiyah pada Bulan Dzulhijjah tahun 36 hijriah, Amir para sahabat Anshar, yaitu Abdullah bin Hanzhalah memba'iat orang-orang Madinah atas maut. Ketika hal ini dilaporkan kepada Abdullah bin Zaid, ia berkata, "Aku tidak berba'iat kepada siapapun untuk mati, sepeninggal Rasulullah SAW."
Walau penyerangan kota Madinah sangatlah dilaknat, tetapi bagi Abdullah bin Zaid, ia tidak ingin ‘berjuang’ mati-matian karena yang mereka hadapi adalah masih sesama saudara muslim. Ia lebih mengedepankan ishlah, perbaikan hubungan dengan mereka itu. Hanya saja, ternyata kemudian pasukan Yazid bin Muawiyah tersebut sangatlah dzalim dan kejamnya. Banyak sekali penduduk Madinah, bahkan termasuk ratusan atau mungkin ribuan sahabat Nabi SAW ikut dibantai oleh pasukan dari Syam tersebut.

Dua Tawanan Musailamah al Kadzdzab


Dua orang muslim tertawan oleh orang-orang Musailamah al Kadzdzab, sang nabi palsu. Musailamah bertanya kepada salah satunya, "Engkau mengakui bahwa aku adalah rasulullah?"
"Tidak, tetapi Muhammad yang Rasulullah, sedang engkau seorang pendusta" Jawab salah satu prajurit muslim tersebut.
Musailamah sangat marah mendengar jawaban tersebut dan membunuhnya. Kemudian dihadapkan tawanan lainnya, Musailamah memberikan  pertanyaan yang sama, "Engkau mengakui bahwa aku adalah rasulullah?"
Tawanan muslim ini menjawab, "Engkau, dan Muhammad adalah utusan Allah." 
Suatu jawaban yang diplomatis, dan tawanan muslim itu dibebaskan oleh Musailamah. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi SAW, dengan tersenyum beliau bersabda, "Yang pertama, ia berlalu dengan tekad dan keyakinannya, surgalah balasannya. Yang kedua, ia mengambil ruqshah (keringanan/dispensasi) Allah, tidak ada dosa baginya."

Jenazah Ahli Surga


Seorang lelaki meninggal dunia, Rasullullah SAW ikut serta dalam pengurusan jenazah orang tersebut. Ketika akan dishalatkan, Umar bin Khaththab yang memang terkenal kritis, berseru kepada Nabi SAW, "Wahai Rasullullah, janganlah engkau shalati dia, dia seorang penjahat."
Mendengar ucapan dan sikap Umar ini, Rasulullah SAW menghadapkan diri pada khalayak, dan menanyakan kalau ada seseorang yang melihat jenazah ini pernah melakukan suatu amalan Islam selama hidupnya. Seseorang berkata, "Benar Rasulullah, saya pernah meronda malam bersamanya di medan jihad."
Nabi SAW menyalatkan jenazahnya dan menaburkan debu (pasir) kepadanya, kemudian beliau bersabda, "Sahabat-sahabatmu mengira engkau adalah ahli neraka, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah ahli surga."
Lalu beliau berpaling kepada Umar dan bersabda, "Janganlah kamu bertanya mengenai amalan manusia, tetapi bertanyalah tentang fitrahnya."
Maksud Rasulullah SAW adalah mencegah agar Umar, dan kita umat Islam semuanya, untuk tidak terlalu mengungkit amal kejelekan seseorang, sementara ia telah  meninggal, tetapi lebih dikedepankan bagaimana fitrah keislamannya, termasuk amal kebaikannya walau terlihat hanya sepele dan sedikit.

Selasa, 03 April 2012

Ummu Syarik RA (Ghazyah binti Jabir)


Ghazyah binti Jabir bin Hakim bin Hakim Al Quraisyiyah Al Amiriyah, lebih dikenal dengan nama Ummu Syarik merupakan salah satu wanita yang masuk Islam pada masa awal, ketika masih berada di Makkah. Ketika keislamannya diketahui oleh keluarganya, iapun mengalami penyiksaan sebagaimana orang-orang muslim pada masa awal. Mereka membawa Ummu Syarik dengan unta yang paling buruk ke tengah padang pasir.
Pada saat itu panas sedang memuncak, semua keluarganya masuk ke dalam tenda, sedang ia dibiarkan di tengah terik dalam keadaan berdiri dan terikat, ia diberi roti dan madu  tetapi tanpa air minum. Ia diperlakukan begitu buruk dan keji selama tiga hari berturut-turut sehingga pikiran, pendengaran dan penglihatannya terganggu.
Dalam keadaan seperti itu, mereka berkata, "Tinggalkan agama Muhammad dan apa yang engkau yakini itu!"
Tetapi keadaannya yang begitu lemah dan payah menyebabkan Ummu Syarik tidak bisa memahami perkataan mereka, hanya saja, untuk mengekspresikan keimanannya, jarinya menunjuk ke atas, yang ia maksudkan dengan ketauhidan yang tak bisa diganggu gugat. Merekapun membiarkannya seperti semula, dalam terik membakar dan rasa haus yang tak tertahankan.
Dalam keadaan yang makin lemah dan setengah sadar, tiba-tiba dirasakan Ummu Syarik dinginnya air dalam ember yang melekat di dadanya, spontan ia meraih dan meminumnya. tetapi baru seteguk ember itu terlepas, ketika membuka matanya, ember itu tampak tergantung tanpa tali beberapa meter di atas bumi, yang tak mungkin ia meraihnya. Tetapi ember itu turun lagi, ia meraih dan meminumnya dan kemudian terangkat lagi. Untuk ketiga kalinya turun, Ummu Syarik meminumnya sampai puas dan menyiramkannya ke kepala dan tubuhnya.
Mendengar suara air tersebut, keluarganya berhamburan keluar dari tenda dan berseru, "Darimana semua ini, wahai musuh Allah?"
Ummu Syarik yang telah memperoleh kekuatannya kembali berkat air yang telah diminumnya itu, menjawab, "Bukan aku yang musuh Allah, tetapi orang-orang yang menentang agamaNya. Apa yang kalian pertanyakan  ini dari sisi Allah, rezeki yang dianugerahkan Allah kepadaku."
Anehnya, wadah air yang tadinya kering, penuh berisi air. Mereka memeriksa wadah air lainnya, dan semua berisi air dingin segar yang tidak diketahui darimana asalnya. Mereka kembali ke tempat Ummu Syarik, melepaskannya dan berkata, "Kami bersaksi bahwa Tuhanmu adalah Tuhan kami juga, yang memberikan rezeki kepadamu setelah apa yang kami lakukan padamu di tempat ini. Dialah yang mensyariatkan Islam."
Setelah itu mereka semua masuk Islam. Ummu Syarik tetap tinggal di Makkah bersama suaminya, Abul Askar Ad Dausi hingga dakwah Nabi SAW tersebar luas dan mencapai kemasyhurannya 


Asma binti Umais RA


Asma binti Umais termasuk sahabiah yang pernah hijrah ke Habasyah sebelum hijrah ke Madinah. Suatu ketika ia mengunjungi Ummul Mukminin Hafshah RA, yang pernah sama-sama berhijrah ke Habasyah. Umar bin Khaththab yang saat itu ada di sana menanyakan siapa wanita tersebut, Hafshah menjawab, “Dia adalah Asma binti Umais!!”
"Apakah yang berhijrah ke Habasyah dan berlayar di lautan itu?" Tanya Umar.
Asma mengiyakan. Umar berkata lagi, "Kami telah mendahului kalian dalam berhijrah (ke Madinah), sehingga kami lebih berhak kepada Rasulullah daripada kalian."
Mendengar ucapan Umar yang bernada kebanggaan tersebut, Asma tidak terima, ia berkata, "Tidak benar seperti itu, demi Allah, kalian bersama Nabi SAW, sehingga beliau selalu memberi makan kepada kalian yang lapar, memberi nasehat kepada kalian yang bodoh. Sementara kami berada di negeri yang jauh dari orang-orang Islam lainnya dan membencinya, semata-mata karena Allah dan RasulNya."
Asmapun bersumpah, "Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga aku menceritakan perkara ini kepada Rasulullah SAW. Demi Allah aku tidak akan berdusta dan menambah-nambahkannya ketika menceritakan hal ini kepada beliau."
Ketika Nabi SAW datang, Asma menceritakan perbedaan pendapat antara dirinya dan Umar dengan lengkap dan terperinci. Mendengar penjelasan Asma tersebut, Nabi SAW bersabda, "Umar tidak lebih berhak kepadaku daripada kalian, karena ia dan sahabat-sahabatnya hanya berhijrah sekali, sementara kalian turut serta dalam rombongan perahu dan berhijrah dua kali."
Asma sangat puas dengan penjelasan Nabi SAW, walaupun beliau memujinya sebagai muhajirin dua kali, tidaklah membuatnya menjadi sombong, tetapi makin menambah kecintaannya Rasulullah SAW dan Islam.  
Abu Musa al Asyary dan kaum Asyariyyin lainnya, ketika mendengar peristiwa Asma dan Umar tersebut, segera mendatangi Asma, dan memintanya menceritakan lagi berulang-ulang. Ia merasa bangga juga karena mereka bersama-sama dalam satu kapal dengan para sahabat yang berhijrah dari Habasyah ke Madinah.

Syurahbil bin Hasanah RA


Di waktu ashar, Syurahbil bin Hasanah sedang duduk di rumahnya. Tiba-tiba datang mertuanya, Syifa binti Abdullah yang langsung saja mencela sikapnya, karena masih saja di rumah tidak bergegas ke masjid untuk shalat bersama Rasulullah SAW.
Syurahbil berkata, "Wahai bibi, jangan memarahiku. Aku hanya mempunyai sehelai pakaian (untuk shalat), dan itu sedang dipinjam Rasulullah SAW."
Syifa jadi menyesal, karena ia baru saja ia datang pada Nabi SAW untuk meminta sesuatu, tetapi tidak memperoleh apa-apa dan ia sempat menggerutu. Ketika hal ini disampaikan kepada menantunya, Syurahbil berkata, "Wahai bibi, Itu hanya pakaian panjang yang baru saja kami tambal."
Syifapun makin menyesali sikapnya kepada Rasulullah SAW.
Pada masa khalifah Abu Bakar, sebuah pasukan besar dikirm  ke Syiria atau Syam untuk memerangi pasukan Romawi. Komandan utama adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Abu Bakar menunjuk beberapa pimpinan pasukan di bawahnya seperti Amr bin Ash, Khalid bin Sa’id bin Ash, dan termasuk Syurahbil bin Hasanah.
Setelah pasukan siap diberangkatkan, ternyata ada usulan agar Khalid bin Sa’id diganti, dan Abu Bakar datang sendiri menemui Khalid untuk meminta maaf, dan memintanya bergabung sebagai prajurit biasa pada kelompok pasukan yang disukainya. Maka dengan lapang dada Khalid bin Sa'id bin al Ash berkata, "Demi Allah, tidaklah saya gembira dengan pengangkatan anda, dan tidak juga bersedih dengan pemberhentian Anda. Anak pamanku (yakni Amr bin Ash) aku sukai karena ia masih kerabatku, tetapi Syurahbil  lebih kucintai karena agamanya!"
            Akhirnya Khalid bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah.

Ibnu Abil Auja' as Sulami RA


Ibnu Abil Auja' as Sulami diutus Nabi SAW untuk mendakwahi kaumnya, Bani Sulaim, bersama 50 orang sahabat lainnya. Ternyata keberangkatannya ini diketahui oleh seorang mata-mata yang melaporkan kepada Bani Sulaim, dan menyatakannya sebagai ancaman. Karena itu merekapun mempersiapkan diri dengan pasukan yang cukup besar.
Ketika sampai di perkampungannya dan melihat pasukan besar yang menyambut kedatangannya, Ibnu  Abil Auja menghampiri mereka, dan menyeru untuk masuk Islam, tetapi mereka berkata, "Kami tidak mempunyai keperluan apapun dengan apa yang kamu serukan itu…!"
Setelah itu mereka mengepung dan menyerang pasukan muslimin dengan anak panah. Tidak ada pilihan lain bagi Ibnu Abil Auja' dan pasukannya, kecuali melakukan perlawanan. Mereka bertempur dengan dahsyatnya, tetapi karena pasukan musuh memang jauh lebih banyak, sebagian besar sahabat gugur sebagai syahid. Ibnu Abil Auja' dengan beberapa orang sahabat berhasil lolos dalam keadaan luka parah, dan dengan susah payah kembali ke Madinah dan tiba pada bulan Safar tahun 8 hijriah.
Peristiwa ini sendiri terjadi sekembalinya Rasulullah SAW dari Umrah Qadha pada bulan Dzulhijjah tahun 7 hijrah.                                                                                     

Dzakwan bin Abdul Qais RA


Dzakwan bin Abdul Qais RA berasal dari Bani Zuraiq dari suku Khazraj. Ia merupakan salah satu dari 12 sahabat Anshar yang mengikuti Ba'iatul Aqabah yang pertama.  Malam sebelum terjadinya perang Uhud, Rasulullah SAW mengatur penjagaan, untuk menghindari kemungkinan penyerangan di waktu malam. Setelah menunjuk 50 orang sahabat untuk menjaga keseluruhan pasukan, beliau bersabda, "Siapakah di antara kalian yang bersedia menjagaku?"
Salah seorang sahabat berdiri, dan beliau bersabda, “Siapakah engkau?”
"Nama saya Dzakwan." Kata lelaki yang berdiri itu.
Nabi SAW menyuruhnya duduk kembali, kemudian beliau bertanya lagi, "Siapa lagi yang bersedia menjagaku?"
Salah seorang sahabat berdiri, dan beliaupun bersabda, “Siapakah engkau?
"Nama saya Abu Saba!" Kata lelaki itu.
Nabi SAW menyuruhnya duduk kembali, kemudian beliau lagi bertanya seperti itu. Kali inipun seseorang berdiri, dan beliau bertanya lagi seperti tadi, “Siapakah engkau?” 
"Nama saya Ibnu Abdul Qais."
Nabi SAW memerintahkan tiga orang itu untuk menghadap di tenda beliau. Tetapi ternyata hanya satu orang saja yang hadir, beliaupun bertanya, "Dimana dua orang temanmu tadi?"
"Wahai Rasulullah SAW," Kata orang itu, "Saya-lah orangnya yang berdiri sampai tiga kali itu. Saya ini Abu Saba’, Dzakwan bin Abdul Qais"
Rasulullah SAW pun tersenyum dan mendoakannya dengan kebaikan, dan memerintahkan dirinya untuk menjaga beliau. Jadilah dia begadang semalaman untuk menjaga tenda Rasulullah SAW sendirian.