Kamis, 20 September 2012

Muawiyah bin Abu Sufyan RA

            Muawiyah bin Abu Sufyan, putra dari Abu Sufyan bin Harb, seorang penguasa, hartawan dan pedagang besar di Makkah yang menguasai perniagaan di Jazirah Arabia. Mereka berdua, anak dan bapak termasuk tokoh yang gencar memerangi Islam sampai terjadinya Fathul Makkah. Pada Fathul Makkah ini mereka termasuk dalam kaum yang dibebaskan dari pembalasan (kaum thulaqa'), dan kemudian memeluk Islam.
            Muawiyah terus memperbaiki keislamannya. Ia mengikuti perang Hunain dan memperoleh ghanimah yang melimpah ruah sebagaimana kaum muallaf Makkah lainnya. Nabi SAW juga mempercayai dirinya menjadi salah satu penulis wahyu.
            Suatu ketika Nabi SAW pernah bersabda kepadanya, "Wahai Muawiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat baiklah…!!!"
            Nabi SAW memang seringkali mengucapkan suatu sabda yang merupakan ramalan, atau suatu penglihatan ghaib ke depan tentang apa yang akan dialami oleh beberapa sahabat. Misalnya pada sahabat Abu Dzar al Ghifari,  Abdullah bin Mas'ud, Suraqah bin Malik, Ammar bin Yasir, Hasan bin Ali (cucu beliau), dan lain-lainnya. Begitupun yang terjadi pada Muawiyah ini, bahkan di sana terselip suatu pesan, bahwa dalam kedudukan sebagai raja, ia akan bisa tergelincir dan melakukan kesalahan dalam kaitannya dengan orang lain, karena itu berliau menasehatinya, "…..berbuat baiklah…!!"
            Tetapi apa yang ditangkap Muawiyah adalah semacam "restu" dari beliau, karenanya, sejak mendengar sabda beliau ini, ia sangat menginginkan (berambisi) untuk memegang jabatan khalifah. Muawiyah memang tidak pernah mengalami masa sulit dan penderitaan dalam keislamannya, karena bukan termasuk dalam sahabat yang memeluk Islam sejak awalnya. Ketika memusuhi Islam, kedudukannya terhormat dan mapan, sehingga praktis kehidupannya selalu dalam kesenangan tanpa derita. Hal ini yang makin memupuk ambisinya untuk bisa mencapai jabatan tertinggi dalam pemerintahan Islam.
            Pada masa khalifah Abu Bakar, ia menyertai satu pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Abu Sufyan, kakaknya dalam memerangi pasukan Romawi di Damsyiq, Syam. Setelah memperoleh kemenangan, Yazid ditetapkan Abu Bakar sebagai wali negeri Damsyiq. Setelah Yazid wafat, Muawiyah mengambil alih pimpinan pemerintahan yang sebelumnya dipegang oleh kakaknya, tetapi kemudian kedudukannya tersebut ditetapkan oleh khalifah Abu Bakar.
            Ketika Umar memegang jabatan khalifah, ia mengadakan kunjungan ke Syam termasuk ke Damsyiq. Melihat gaya hidupnya yang bermewah-mewah, yang sangat berbeda dengan prinsip hidupnya, Khalifah Umar berkata kepadanya, "Ini adalah Kisra (Kaisar) Arab….!"
            Sepulangnya ke Madinah, ia menerbitkan surat pemecatan Muawiyah sebagai wali negeri Damsyiq, dan mengirimkan Sa'id bin Amir sebagai penggantinya. Seorang sahabat Nabi SAW yang memiliki prinsip hidup sederhana dan membenci kemewahan, seperti halnya Umar sendiri. Dalam riwayat lain, bukanlah wali negeri Damsyiq, tetapi wali negeri Homs, suatu wilayah yang sama-sama berada di Syam.
            Pada pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, Muawiyah ditetapkan sebagai gubernur untuk seluruh wilayah Syam, termasuk Palestina. Sebenarnya banyak keluhan masyarakat Syam tentang kepemimpinan Muawiyah dan juga keberandalan putranya, tetapi semua laporan dan keluhan masyarakat tersebut disembunyikan oleh sekretaris Khalifah Utsman, Marwan yang memang masih saudara sepupu Muawiyah.
            Setelah wafatnya Utsman dan hampir masyarakat muslim memba'iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, Muawiyah menolak untuk berba'iat. Ia berhasil menghimpun kekuatan di Syam dan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah memang memiliki kecerdikan dan kemampuan strategi serta politik yang hebat. Dengan dalih menuntut balas atas kematian khalifah Utsman, ia berhasil mempengaruhi beberapa sahabat untuk bertikai dengan Ali dan memihak pada dirinya. Dan dengan suatu muslihat pula, ia berhasil menurunkan Ali dan meneguhkan dirinya sebagai khalifah, atau tepatnya Raja, karena hanya masyarakat Syam saja yang sepakat memba'iatnya, sedangkan masyarakat di luar Syam tidak bulat mendukungnya.
            Beberapa sahabat memilih abstain, tidak memilih dan memihak pada salah satu kubu, dan tidak ingin terlibat dalam perselisihan dua kelompok kaum muslimin tersebut. Di antara sahabat utama yang memilih sikap ini adalah Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Muhammad bin Maslamah. Muawiyah beranggapan, bahwa  penolakan mereka mendukung Ali, sebagaimana sahabat utama lainnya, karena mereka tidak mengakui keutamaan Ali atau meragukan berhak tidaknya Ali sebagai khalifah. Muawiyah sangat menginginkan dukungan mereka untuk mengokohkan kedudukannya sebagai Amirul Mukminin (khalifah, dalam pemahamannya). Ia mengirimkan beberapa utusan menemui mereka dan  mempengaruhi mereka agar mendukung dirinya. Bahkan para utusannya tersebut dipesankan untuk membawa bahasa diplomasi yang cerdas, "Sesungguhnya tuan-tuan lebih berhak menduduki kekhalifahan daripada Ali."
            Tetapi apa yang diharapkan oleh Muawiyah jauh sekali dari kenyataan. Bahkan ia seolah menerima tamparan keras dengan jawaban mereka.
            Abdullah bin Umar menjawab ajakannya dengan ucapan, "Apa yang kamu harapkan dariku, adalah sesuatu yang menjadikan dirimu seperti sekarang ini…Aku tidak bergabung dengan Ali bukan karena aku mencurigainya. Demi Allah, aku sama sekali tidak setaraf dengan Ali bin Abi Thalib, baik dalam hal keimanan, hijrah dan kedudukannya di sisi Rasulullah SAW, dan juga perjuangannya dalam melawan kemusyrikan…. Tetapi yang terjadi sekarang ini, sama sekali tidak pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, karena itu saya tidak ingin memihak siapapun!! Jangan coba-coba mempengaruhi diriku..!!"
            Kalau Abdullah bin Umar mengakui tidak selevel dan sederajad dengan Ali, bagaimana dengan Muawiyah??
            Dan Sa'd bin Abi Waqqash memberikan jawaban seperti ini, "Persoalan ini sejak awal tidak aku sukai dan akhirnyapun tidak aku sukai…Seandainya Thalhah dan Zubair tetap tinggal di rumahnya masing-masing, tentu itu lebih baik bagi mereka…Semoga Allah SWT mengampuni Ummul Mukminin (Aisyah RA) atas apa yang telah terjadi. Sungguh saya tidak akan pernah memerangi Ali selama-lamanya Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali : Kedudukanmu di sampingku, adalah laksana Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada lagi Nabi sesudahku…."
            Memang, tiga orang utama, Aisyah RA (Ummul Mukminin), Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam sempat termakan fitnah yang dihembuskan oleh Muawiyah. Atas dalih "menuntut balas pembunuh Utsman", mereka memimpin sekelompok pasukan melawan Ali yang dianggap tidak tegas terhadap pembunuh Utsman. Pertentangan bersenjata yang dikenal dengan nama Perang Jamal (Perang Berunta), sebenarnya berakhir damai karena Thalhah dan Zubair yang memimpin pasukan tersebut akhirnya menyadari kesalahannya, dan mundur dari pertempuran. Hanya saja ada beberapa orang yang tidak puas dengan gagalnya pertempuran, segera membunuh Thalhah dan Zubair, yang sama sekali tidak melakukan perlawanan. Sedangkan Ummul Mukminin Aisyah RA dikawal pulang ke Madinah dengan pengawalan pasukan yang dipimpin Muhammad bin Abu Bakar, saudaranya sendiri yang berada di pihak Ali.
            Sedangkan Muhammad bin Maslamah memberikan jawaban yang tegas, tanpa tedeng aling-aling, "…Sesungguhnya kamu (wahai Muawiyah), demi nyawaku, yang kamu cari tidak lain hanyalah duniawiah semata, dan yang kamu perturutkan tidak lain adalah hawa nafsu belaka. Kamu membela Utsman di kala ia telah wafat sedangkan semasa hidupnya, engkau hanya merongrongnya…. Andaikata sikapku ini tidak sesuai dengan yang kamu harapkan, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kesenanganku dan tidak menyebabkan keraguanku. Sungguh aku lebih  mengenal dan mengetahui kebenaran daripada engkau…!!"
            Inilah sebagian dari fitnah yang terjadi di kalangan umat Islam saat itu, fitnah, yang kata Al qur'an lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan. Terbunuhnya kaum muslimin akibat fitnah ini jauh lebih banyak daripada sekedar pembunuhan biasa, dan itu dilakukan oleh orang islam sendiri. Fitnah yang hampir pasti tidak bisa dihindarkan karena Nabi SAW telah meramalkan sebelumnya, dengan berbagai sabda beliau kepada beberapa orang sahabat  yang berbeda-beda.
            Terlepas dari peran kontroversial Muawiyah dalam situasi fitnah yang tidak terhindarkan ini, wilayah Islam makin meluas dalam masa pemerintahannya, bahkan menjangkau wilayah Eropa sekarang ini. Bagaimanapun juga Muawiyah seorang sahabat Nabi SAW, dan kita sama sekali "tidak pantas" untuk melakukan penilaian apalagi "hujatan" atas apa yang telah dilakukan Muawiyah. Kita serahkan semuanya kepada Allah, Dialah Pemilik Rahasia Takdir dan Arsitek semua peristiwa yang telah terjadi di antara para sahabat.

Seorang Penanya Hari Kiamat

            Seorang lelaki badui (Arab pedesaan) datang kepada Nabi SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat datang?"
            "Apakah yang kamu persiapkan untuk menghadapinya?" Beliau balik bertanya.
            Lelaki itu menjawab, "Tidak ada sesuatu (persiapan khusus), kecuali kecintaanku kepada Allah dan RasulNya…"
            Dengan tersenyum, Nabi SAW memberi jawaban singkat, "Kamu bersama orang yang kamu cintai…"
            Orang tersebut berlalu dengan gembira.
            Sahabat Anas bin Malik yang saat itu hadir dalam perbincangan tersebut dan meriwayatkan kisah ini berkata, "Tidaklah kami bergembira seperti gembiranya kami mendengar sabda Nabi SAW yang sangat singkat tersebut, yakni : 'Kamu bersama orang yang kamu cintai'."
            Dan Anas berkata lagi, "Saya cinta kepada Nabi SAW, Abu Bakar dan  Umar, dan saya berharap bisa bersama mereka karena kecintaanku ini, walau tidak bisa beramal seperti amalan mereka."

Hudzaifah bin Yaman RA

            Hudzaifah bin Yaman adalah seorang sahabat yang secara khusus dididik Nabi SAW untuk mengenal kemunafikan. Semua itu berawal karena kebiasaannya yang berbeda dalam mengajukan pertanyaan kepada Nabi SAW. Umumnya para sahabat bertanya tentang berbagai macam amal kebaikan dan pahala-pahala yang dijanjikan, dan mereka berlomba-lomba untuk melakukannya. Sementara Hudzaifah cenderung bertanya tentang berbagai macam amal keburukan/kejahatan dan bahaya-bahayanya, karena ia ingin menjauhinya sejauh-jauhnya.
            Suatu ketika ia menghadap kepada Nabi SAW dan bertanya, "Wahai Rasulullah, dahulu kita berada dalam  kebodohan (jahiliah) dan diliputi kejahatan, kemudian Allah  mendatangkan kebaikan ini bagi kita. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejahatan lagi?"
            "Ada…!" Kata Nabi SAW.
            "Apakah setelah kejahatan itu, masih adakah kebaikan lagi, ya Rasulullah?"
            "Memang ada, tetapi keadaannya kabur dan penuh bahaya!!" Kata beliau lagi.
            "Apa bahaya itu, ya Nabiyallah?"
            "Yakni, segolongan ummat mengikuti sunnah yang bukan sunnahku, mengikuti petunjuk yang bukan petunjukku. Kenalilah mereka ini, ya Hudzaifah, dan cegahlah mereka semampumu…!!"
            "Setelah kebaikan tersebut, masih adakah kejahatan lagi, ya Rasulullah??"
            "Ada, yakni para penyeru di pintu neraka (yakni, yang mengajak kepada maksiat dan meninggalkan ibadah)…barang siapa menyambut seruannya, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka…!!"
            "Apa yang harus saya lakukan jika menemui masa seperti itu, ya Nabiyallah?"
            "Selalulah mengikuti jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka!!"
            "Bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan tidak pula pemimpin (yang sesuai teladanmu), ya Nabiyallah?"
            "Hendaklah engkau tinggalkan semua golongan itu, walaupun engkau harus tinggal sendirian di rumpun kayu, sampai engkau menemui ajal dalam keadaan seperti itu…"
            Keadaan dan kebiasaan Ibnu Yaman dalam meneliti dan mengamati kejahatan dan daya upayanya untuk menghindarinya, ternyata mendapat dukungan Nabi SAW, dan beliau terus-menerus membimbingnya. Beliau mengajarinya bagaimana mengenali kemunafikan, dan juga menunjukkan orang-orang munafik yang ada saat itu. Namun beliau berpesan agar semua itu dirahasiakannya, sekedar untuk bahan bagi dirinya agar ia bisa menghindar dan tidak terjatuh dalam lingkaran pergaulan mereka.
            Salah satu sahabat yang selalu memanfaatkan keistimewaannya ini adalah Umar bin Khaththab. Sepeninggal Nabi SAW, jika ada orang muslim yang meninggal, Umar selalu mengamati sikap Hudzaifah. Jika ia tidak mendatangi atau tidak menyalatkannya, maka Umar akan melakukan hal yang sama. Tetapi Umar-pun melakukan hal itu untuk dirinya sendiri, tidak mengekspose secara umum atau mengajak orang lain melakukan hal yang sama.
            Ketika menjadi khalifah, Umar pernah mendatangi Hudzaifah dan bertanya, "Wahai Hudzaifah, apakah engkau melihat adanya kemunafikan dalam diriku..."
            "Tidak ada, wahai Amirul Mukminin...!"
            "Janganlah engkau sungkan mengatakannya..." Kata Umar.
            "Sungguh tidak ada, hanya saja engkau masih menyimpan dua stel pakaian. Satu engkau pergunakan pada musim dingin, dan satunya lagi untuk musim panas....!!"
            Mendengar penjelasan tersebut, Umar segera menyedekahkan satu stel pakaian yang masih disimpannya, walau sebenarnya Hudzaifah tidak menyebut hal itu sebagai tanda adanya kemunafikan dalam diri Umar.
            Pengetahuan dan pemahaman tentang keburukan dan upaya kerasnya untuk menghindari, menyebabkan lidah dan kata-katanya tanpa disadarinya menjadi tajam, pedas dan kadang menyakitkan orang lain. Karena itu ia datang kepada Nabi SAW, ia berkata, "Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam kepada keluargaku, saya khawatir hal itu akan menjadi sebab saya  masuk neraka….!"
            Sebenarnya sah-sah saja hal itu dilakukannya, asal dalam rangka 'amar ma'ruf wan nahi 'anil munkar. Bahkan Nabi SAW  pernah menyatakan, "Jihad terbesar adalah kata-kata (nasehat) yang benar, terhadap penguasa yang dholim." Dan juga sabda beliau, "Katakanlah yang benar walaupun pahit didengar…!!"
            Namun bagi Hudzaifah, yang terbiasa meneliti lahiriah dan batiniahnya suatu masalah, hal itu tetap menjadi  ganjalan baginya. Rasulullah SAW tersenyum dan menanggapinya cukup sederhana, beliau bersabda, "Mengapa engkau tidak beristighfar? Sungguh saya beristighfar kepada Allah, setiap harinya seratus kali!!"
            Seperti halnya sahabat-sahabat Nabi SAW lainnya, Hudzaifah hampir tidak pernah tertinggal dari pertempuran bersama Rasulullah SAW. Bahkan dalam Perang Uhud, ayahnya, Yaman bin Jabir (sebagian riwayat menyebutkan, namanya adalah Husail bin Yabir, ada juga riwayat, namanya  Hasan bin Jarwin. Sedang Yaman adalah penisbahan kepada  tempat asalnya) terbunuh oleh pasukan muslimin karena suatu kesalahan.
            Pada perang tersebut, Yaman bin Jabir dan Tsabit bin Waqsy bin Zaura sebenarnya tinggal di Madinah karena memang telah lanjut  usia. Tetapi kemudian mereka menyusul ke Uhud karena keinginan dan semangat berjihad bersama Nabi SAW tidak bisa ditahan lagi. Mereka tiba di Uhud ketika perang sedang berkecamuk, mereka tidak cukup dikenali oleh pasukan muslim, dan dianggap anggota pasukan musyrik sehingga langsung diserang. Ketika pedang hampir terhunjam pada tubuh Yaman bin Jabir, Hudzaifah melihatnya dan ia berseru, "Ayahku..ayahku…jangan dibunuh, ia ayahku…!!"
            Tetapi terlambat, qadha Allah telah menentukan kepastiannya. Dan seketika suasana berubah duka dan sunyi senyap padahal pertempuran masih terus berlangsung. Hudzaifah mendatangi sekelompok sahabat yang membunuh ayahnya dengan sikap kasih dan pandangan penuh pemaafan, dan berkata, "Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baiknya Penyayang (ar Rahim)…"
            Setelah itu, Hudzaifah melanjutkan penyerangan ke tempat musuh dengan pedang terhunus. Usai peperangan, Nabi SAW menyuruh pembunuh Yaman bin Jabir untuk membayarkan diyat kepada Hudzaifah, tetapi Hudzaifah menolaknya dan memintanya untuk menyerahkan diyat tersebut kepada orang-orang fakir miskin yang membutuhkannya, bahkan ia menambahinya dengan hartanya sendiri.
            Perang Ahzab atau perang Khandaq lebih merupakan perang urat syaraf (Psy War), karena tidak pernah ada bentrokan pasukan secara langsung dan besar-besaran, kecuali hanya bentrokan kecil dari sekelompok pasukan Quraisy yang nekad menyeberangi parit dan dengan mudah dihalau oleh pasukan muslim. Pasukan sekutu dari kaum musyrik Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya mengepung Madinah hampir satu bulan, sementara kaum yahudi Bani Quraizhah yang sebenarnya terikat perjanjian damai dan kerjasama dengan kaum muslimin mengancam dari dalam.
            Suatu malam, hampir sebulan pengepungan Madinah, saat itu sangat gelap gulita, angin begitu kencang, suaranya menderu-deru seolah akan mencabut gunung-gunung yang tegak di padang pasir. Begitu gelap dan mencekamnya, sehingga jari sendiripun tidak kelihatan. Orang-orang munafik satu persatu minta ijin kepada Nabi SAW untuk pulang ke rumahnya, sebagian lagi pergi begitu saja tanpa pamit kepada beliau. Mereka berkata, "Sesungguhnya rumah-rumah kami dalam keadaan terbuka, dan tidak ada lelaki yang menjaganya…"
            Setelah mereka semua pergi, Nabi SAW berjalan berkeliling di antara sahabat-sahabat yang masih tinggal. Tiba di hadapan Hudzaifah, beliau bertanya, "Siapa ini?"
            "Saya, ya Rasulullah, Hudzaifah!!"
            Saat itu ia sedang duduk sambil memeluk lutut untuk menghangatkan tubuhnya. Ia tidak memiliki perisai dan juga selimut kecuali hanya satu lembar pakaian kulit kambing milik istrinya, yang panjangnya tidak sampai lutut.
            "Hudzaifah?" Kata Nabi SAW, seakan memastikan. Suasana yang sangat gelap memang tidak memungkinkan beliau mengenali siapa yang di hadapan beliau.
            Hudzaifah yang sebenarnya enggan untuk berdiri, tetapi akhirnya ia berdiri juga di hadapan Nabi SAW dan berkata, "Benar, saya, ya Rasulullah!!"
            "Sesungguhnya ada sesuatu yang terjadi di pihak pasukan kaum musyrik," Kata Nabi SAW, "Pergilah kepada mereka, dan bawalah berita tentang keadaan mereka…"
            Sebenarnyalah Hudzaifah dalam ketakutan dan kedinginan yang tak tertahankan, tetapi perintah telah diberikan dan tak ada alasan baginya untuk menolak titah Rasulullah SAW.
            Baru beberapa langkah berjalan, ia mendengar Nabi SAW berdoa, "Ya Allah, jagalah dia dari depan dan belakangnya, dari kanan dan kirinya, dari atas dan bawahnya…"
            Segera setelah doa itu selesai, Hudzaifah tidak lagi merasakan ketakutan dan kedinginan, ia berpaling ke arah Nabi SAW, dan  beliau bersabda, "Hai Hudzaifah, jangan melakukan apapun di kaum itu sampai engkau kembali kepadaku…"
            Hudzaifah menyeberangi parit dan berjalan ke pasukan kaum musyrik. Suasana yang gelap membantunya  menyelusup di sela-sela perkemahan tanpa diketahui. Tiba-tiba datang tiupan angin kencang berputar-putar di perkemahan, memadamkan semua lampu penerangan mereka, suasana makin gelap saja. Tiba-tiba terdengar teriakan, yang diduganya adalah suara Abu Sufyan, "Hai segenap golongan Quraisy, hendaknya setiap kalian memperhatikan kawan duduknya, dan memegang tangannya dan juga mengetahui namanya…."
            Hudzaifah berfikir cepat. Segera ia masuk satu kemah dan memegang tangan salah seorang dari mereka dan menanyakan namanya. Kalau ia kedahuluan yang ditanya, pasti ia akan ketahuan. Ia-pun aman di antara mereka dalam suasana gelap. Angin masih terus bertiup memporak-porandakan perkemahan dan perlengkapan mereka. Tak lama kemudian ia mendengar Abu Sufyan berkata, "Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi, kuda-kuda dan unta-unta kita banyak yang  binasa. Bani Quraidhah juga mengkhianati kita sehingga kita mengalami hal yang tidak kita inginkan. Apalagi angin topan ini memporak-porandakan perkemahan kita…Berkemaslah dan segera berangkat pulang…!!!"
            Tidak berapa lama Abu Sufyan menaiki ontanya dan meninggalkan tempat tersebut, diikuti oleh anggota pasukan lainnya. Sempat terpikir oleh Hudzaifah untuk memanah Abu Sufyan, tetapi ia ingat pesan Rasulullah SAW untuk tidak berbuat apapun sampai kembali menemui beliau.
            Ia beringsut, perlahan menjauhi tempat tersebut dan berjalan kembali ke tempat pasukan muslim berkumpul. Tetapi tiba-tiba saja ada sekitar duapuluh orang penunggang kuda yang memakai sorban berhenti di hadapannya. Hudzaifah kaget setengah mati, salah satu dari mereka berkata, "Beritahu sahabatmu (Nabi SAW), sesungguhnya Allah telah menjaganya…"
            Setelah itu mereka berlalu, dan hilang secepat ketika mereka hadir di hadapannya. Hudzaifah segera pulang ke tempat Nabi SAW dengan penuh tanda tanya tentang sekelompok penunggang kuda tersebut.
            Tiba di tempat Nabi SAW, dilihatnya beliau sedang shalat sambil memakai selimut, seketika itu tubuhnya kembali merasakan kedinginan sampai menggigil seperti ketika ia belum berangkat menunaikan tugas Nabi SAW. Sambil meneruskan shalat, Nabi SAW memanggilnya dengan isyarat tangan dan mengulurkan selimut yang beliau pakai. Hudzaifah mendekat dan menerima selimut tersebut lalu memakainya untuk mengurangi rasa dingin yang menyerangnya.
            Usai Nabi SAW shalat, ia melaporkan dengan detail apa yang dilihat dan dialaminya. Nabi SAW tersenyum dan menjelaskan, bahwa sekitar duapuluh penunggang kuda tersebut adalah para malaikat yang dikirim Allah untuk memporak-porandakan perkemahan pasukan musyrik, sehingga mereka ketakutan dan segera pulang.
            Usai bercerita, ia tertidur berselimutkan selimut Nabi SAW tersebut, dan dibangunkan beliau menjelang waktu subuh. Atas peristiwa ini, turunlah Surah al Ahzab ayat 9 - 25.
            Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, ia dipilih untuk menjadi wali negeri (Amir) di Madain, salah satu wilayah Persia yang jatuh ke tangan pasukan muslimin, di mana ia sendiri menjadi salah satu komandan pasukan. Sikap zuhud dan sederhana terhadap dunia yang menjadi ciri kehidupannya menjadi salah satu alasan Umar untuk memilihnya. Ia datang sebagai Amir dengan mengendarai keledainya yang beralaskan kain usang. Tangannya memegang roti dan garam untuk perbekalannya. Sebagian penduduk Madain menyambutnya dengan kebingungan, benarkah seseorang yang begitu sederhana dan tampak sangat fakir, yang menjadi wali negeri mereka? Tetapi seketika itu Hudzaifah berkata, “Wahai kaum muslimin, hindarilah tempat-tempat fitnah!!”
            Salah seorang berkata, “Wahai Abu Abdillah, apakah tempat-tempat fitnah itu??”
            Hudzaifah berkata, “Yakni, pintu-pintu para penguasa, salah seorang dari kalian datang kepada seorang amir atau wali negeri (gubernur). Lalu ia membenarkan amir tersebut dengan kedustaan, dan memujinya dengan sesuatu yang tidak layak baginya!!”
            Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di Madain, banyak sekali kaum muslimin yang sakit karena pengaruh iklim daerah tersebut. Maka Hudzaifah memerintahkan mereka untuk pindah ke Kufah, dan di sana mereka sehat kembali seperti sediakala.
            Hudzaifah wafat pada tahun 36 hijriah pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketika orang-orang datang menjenguk saat sakaratul mautnya, ia bertanya, “Apakah kalian membawa kain kafan??”
            Salah satu dari mereka berkata, “Ada!!”
            “Coba kulihat!!” Kata Hudzaifah.
            Mereka menunjukkannya, suatu kain kafan baru, dari bahan yang agak mewah. Seketika tersirat senyuman pahit, pertanda ia tidak senang. Ia berkata, “Kain kafan ini tidak cocok bagiku!! Cukuplah dua kain putih biasa saja, tanpa baju!! Tidak lama aku di dalam kubur, setelah itu akan diganti dengan kain yang lebih baik, atau mungkin yang lebih jelek!!”.
            Tidak lama setelah itu maut menjemputnya, tampak sekali kesenangan dan kegembiraan tersirat di wajahnya, karena sesungguhnya ia telah lama memendam kerinduan untuk bisa segera kembali bertemu dengan Rasulullah SAW.    

Najasyi, Raja Habasyah

            Najasyi, yang nama aslinya Ashamah bin Abjar, adalah raja Habasyah, sebuah negeri di Afrika yang mayoritas penduduknya beragama Nashrani. Ketika tekanan dan siksaan kaum kafir Quraisy terhadap orang-orang Islam makin meningkat, Nabi SAW memerintahkan sekelompok sahabat yang dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib berhijrah  ke negeri tersebut. Nabi SAW bersabda kepada mereka, "Sesungguhnya di Habasyah terdapat seorang raja, siapa saja yang berada di sisinya tidak akan didzalimi. Maka pergilah kalian ke sana hingga Allah memberikan kelapangan dan jalan keluar dari kondisi yang sedang kalian hadapi sekarang ini."
            Ternyata memang benar, mereka mendapat perlakuan yang baik dan tidak dihalangi untuk menjalankan ibadah, walaupun berbeda dengan agama yang dianut penduduk Habasyah, Nashrani. Sebaliknya, kaum kafir Quraisy merasa iri dan marah, karena itu mereka bersepakat untuk mengirimkan utusan pada Najasyi sambil memberikan hadiah-hadiah, sekaligus meminta agar ia mengusir para muhajirin muslim tersebut dari negerinya, mengembalikan lagi ke Makkah.
            Utusan kaum Quraisy yang dipimpin oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah (dalam riwayat lain, Umarah bin Walid) memberikan hadiah kepada Najasyi dan para panglimanya, kemudian meminta agar orang-orang muslim yang berlindung di negeri tersebut dikembalikan kepada sanak keluarganya di Makkah. Dengan tegas Najasyi berkata, "Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengembalikan mereka sebelum aku berbicara dengan mereka, dan akan kupertimbangkan dengan matang urusan ini. Sungguh mereka telah datang ke negeriku dan memilih perlindunganku daripada perlindungan orang lain, termasuk kalian…."
            Begitulah Najasyi panjang lebar berbicara kepada dua orang Quraisy tersebut, yang intinya menolak mengabulkan permintaan mereka tanpa konfirmasi dengan kaum muslimin tersebut. Setelah itu ia memerintahkan para pengawalnya untuk mendatangkan utusan kaum muslimin.
            Ketika Ja'far bin Abu Thalib dan beberapa sahabat didatangkan menghadap Najasyi, ia menjawab dan menjelaskan panjang lebar tentang Islam. Najasyi meminta agar dibacakan beberapa wahyu yang diturunkan, Ja'far-pun membacakan permulaan Surah Maryam. Najasyi dan beberapa uskup di sebelahnya menangis hingga air mata membasahi janggutnya, kemudian ia berkata, "Demi Allah, ini dan apa yang dibawa Musa muncul dari misykah yang sama. Pergilah kalian berdua!! Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian..!"
            Misykah adalah lubang tempat diletakkannya lampu penerangan, sehingga dari tempat itu cahaya memancar menerangi tempat sekitarnya. Dengan perkataannya tersebut, sedikit banyak Najasyi telah memberikan pengakuan bahwa Islam adalah agama wahyu, sama seperti halnya agama Nashrani yang dipeluknya.
            Ternyata dua orang Quraisy itu tidak mau menyerah begitu saja. Keesokan harinya, mereka menghadap Najasyi, meminta agar mempertanyakan tentang Isa bin Maryam. Najasyi memenuhi permintaannya, sekali lagi para sahabat itu didatangkan lagi dan diminta menjelaskan pandangan mereka tentang Isa bin Maryam. Ja'far menjawab, "Kami berkata tentang dirinya, sebagaimana diajarkan oleh Nabi SAW, yakni Isa adalah seorang hamba Allah, RasulNya dan RuhNya, sekaligus kalimahNya yang diletakkanNya pada Maryam, seorang perawan suci yang tidak mempunyai syahwat kepada lelaki."
            Mendengar jawaban tersebut, Najasyi memukul tanah dengan tangannya dan mengambil sepotong ranting, kemudian berkata, "Demi Allah, Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan, walaupun hanya sepanjang ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang menghina dan mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka seandainya memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari kalian."
            Sebagian pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan Najasyi, mereka mendengus marah. Najasyipun berkata, "Aku tidak perduli jika kalian marah, kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu (yakni utusan Quraisy), Demi Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika Dia memberikan amanat kerajaan ini, karena itu aku tidak perlu menerima suap dalam urusanNya. Tidak juga Allah menuruti kemauan orang banyak dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu menuruti kemauan kalian dalam urusanNya."
            Dengan terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua utusan Quraisy, dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan perasaan terhina terhina.
            Sikap tegas Najasyi ini ternyata harus dibayar mahal, beberapa orang panglima dan pembesar bersekongkol untuk merebut kekuasaan Najasyi, sehingga terjadi pertempuran antara dua kubu. Para sahabat sedih dan khawatir, kalau Najasyi kalah pastilah mereka tidak bisa lagi beribadah dengan tenang. Merekapun berdoa untuk keselamatan dan kemenangan Najasyi. Zubair bin Awwam dikirim untuk mengamati pertempuran tersebut, dan ia harus berenang menyeberangi sungai Nil. Setelah menunggu dengan harap-harap cemas, Zubair datang mengabarkan kemenangan pasukan Najasyi, para sahabatpun menjadi tenang.
            Pada Dzulhijjah tahun 6 hijriah atau Muharam tahun 7 hijriah, Rasulullah SAW mengirim seorang utusan, yaitu Amr bin Umayyah adh Dhamry untuk menemui Najasyi. Amr membawa tiga missi,
1. Menyampaikan surat ajakan Nabi SAW kepada Najasyi untuk memeluk Islam.
2. Menyampaikan lamaran Nabi SAW kepada Ummu Habibah, janda Ubaidillah bin Jahsy yang murtad dan meninggal dalam agama Nashrani.
3. Mengajak para sahabat yang berada di Habasyah untuk berhijrah ke Madinah.
            Ketiga missi ini berjalan sukses. Setelah membaca surat Nabi SAW, Najasyi meletakkan surat tersebut di depan matanya sambil menangis, kemudian turun dari singgasananya dan bersyahadat di depan Ja'far bin Abu Thalib. Najasyi juga mewakili Nabi SAW menyampaikan lamaran kepada Ummu Habibah, sekaligus menikahkan mereka berdua. Ketika rombongan para sahabat akan kembali ke Madinah, Najasyi menyiapkan dua buah perahu dan perbekalan lengkap untuk perjalanan tersebut. Ia juga menyertakan seorang utusan menemui Nabi SAW, untuk mengabarkan keislamannya, dan juga meminta Nabi SAW memohonkan ampunan bagi dirinya.
            Rombongan dari Habasyah ini bertemu dengan Nabi SAW ketika di Khaibar. Ja'far menceritakan tentang pelayanan dan perlakuan Najasyi kepada para sahabat, tentang keislaman Najasyi dan permintaan doanya. Setelah mendengar penuturan tersebut, Nabi SAW mengambil wudlu dan mendoakan ampunan untuk Najasyi, beliau mengulangnya sampai tiga kali dengan diamini oleh para sahabat.
            Najasyi wafat pada bulan Rajab tahun 7 hijriah, Nabi SAW sangat bersedih dan melakukan shalat ghaib untuk kewafatannya tersebut.

Abdullah bin Mas'ud RA

            Abdullah bin Mas’ud adalah seorang sahabat Muhajirin dari Bani Zahrah, termasuk dalam sahabat as sabiqunal awwalin, sahabat yang memeluk Islam pada masa awal didakwahkan. Perawakan tubuhnya pendek dan kurus, tidak seperti umumnya orang-orang Arab di masanya. Tetapi dalam hal ilmu-ilmu keislaman, khususnya dalam hal Al Qur’an, ia jauh melampaui para sahabat pada umumnya. Kisah keislamannya cukup unik, karena ia melihat dan mengalami secara langsung mu’jizat Rasulullah SAW.
Ketika masih remaja, Abdullah bin Mas'ud bekerja mengembalakan kambing milik Uqbah bin Abi Mu'aith, salah seorang tokoh Quraisy yang sangat memusuhi Nabi SAW. Suatu ketika saat sedang bekerja di suatu padang, dia didatangi oleh Rasulullah SAW dan Abu Bakar yang sedang kehausan dan meminta susu. Tetapi karena hanya melaksanakan amanah mengembalakan, Abdullah bin Mas'ud pun tidak bisa memenuhi permintaan itu. Karena memang sedang kehausan, Rasulullah SAW meminta/meminjam anak kambing betina yang belum digauli pejantan, yang tentunya tidak mungkin mengeluarkan air susu.
            Ibnu Mas’ud remaja memenuhi permintaan beliau tersebut. Setelah anak kambing itu diletakkan di depan Nabi SAW, beliau mengikat dan mengusap susunya dan berdoa dengan kata-kata yang tidak difahami Ibnu Mas'ud. Sungguh ajaib, kantung susunya jadi penuh dengan air susu, Abu Bakar datang dengan membawa batu cekung, dan memerah air susunya, Abu Bakar meminum susu tersebut sampai kenyang, kemudian memerah lagi dan memberikan kepada Ibnu Mas'ud. Dan terakhir Abu Bakar memerah lagi untuk Rasulullah SAW. Setelah selesai minum, beliau berkata, "Mengempislah!!"
            Seketika kantung susu anak kambing itu mengempis kembali seperti semula, dan ia berlari kembali ke kumpulannya.
            Ibnu Mas'ud sangat takjub melihat pemandangan tersebut, ia mendekati Rasulullah SAW dan minta diajarkan kata-kata yang diucapkan Nabi SAW tersebut. Maka beliau menyampaikan tentang risalah Islamiah yang beliau bawa, dan seketika itu Abdullah bin Mas'ud memeluk Islam.
            Nabi SAW memandang cukup intens kepadanya, kemudian bersabda, "Engkau akan menjadi seorang yang terpelajar..!!"
            Tentu saja Ibnu Mas'ud tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Nabi SAW, apalagi saat itu ia hanyalah  seorang miskin yang mencari upah dengan menggembala kambing milik orang lain. Tetapi di sela-sela waktu senggangnya, ia selalu mendatangi majelis pengajaran Nabi SAW yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sejak sebelum beliau menggunakan rumah Arqam bin Abi Arqam. Sedikit demi sedikit pengetahuannya makin bertambah, bahkan dengan cepat ia mampu menghafal dan menguasai wahyu-wahyu, yakni Al Qur’an.
            Suatu ketika Rasullullah SAW ingin ada seseorang yang membacakan Al Qur'an kepada orang-orang Quraisy karena mereka belum pernah mendengarnya, dan ternyata Abdullah bin Mas'ud yang mengajukan dirinya. Tetapi Nabi SAW mengkhawatirkan keselamatannya, beliau ingin orang lain saja, yang mempunyai kerabat kaum Quraisy, yang bisa  memberikan perlindungan jika ia disiksa. Tetapi Ibnu Mas'ud tetap mengajukan diri, bahkan setengah memaksa, sambil berkata, "Biarkanlah saya, ya Rasulullah, Allah pasti akan membela saya…!!”
            Sungguh suatu semangat besar yang didorong jiwa muda yang berapi-api, sehingga kurang mempertimbangkan keselamatan dirinya. Dan tanpa menunggu lagi, ia berjalan ke majelis pertemuan kaum Quraisy di dekat Ka'bah, dan Nabi SAW membiarkannya. Sampai di sana, ia berdiri di panggung atau mimbar di mana orang-orang Quraisy biasanya melantunkan syair-syair mereka, dan mulai membaca ayat-ayat Qur'an dengan mengeraskan suaranya. Yang dibacanya adalah Surah ar Rahman. Orang-orang kafir itu memperhatikan dirinya sambil bertanya, "Apa yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abdin itu?"
            Saat itu mereka belum mengetahui kalau Ibnu Mas’ud telah memeluk Islam, jadi mereka membiarkannya saja untuk beberapa saat lamanya.
            Salah satu dari orang Quraisy itu tiba-tiba berkata, "Sungguh, yang dibacanya itu adalah apa yang dibaca oleh Muhammad…!!"
            Merekapun bangkit menghampiri, dan memukulinya hingga babak belur. Namun selama dipukuli, ia tidak segera menghentikan bacaannya sebatas ia masih mampu melantunkannya. Ketika mereka berhenti memukulinya, ia segera kembali ke tempat Nabi SAW dan para sahabat berkumpul.  Melihat keadaan tubuhnya yang tidak karuan akibat pukulan-pukulan tersebut, salah seorang sahabat berkata, "Inilah yang kami khawatirkan akan terjadi pada dirimu!!"
            Tetapi dengan tegar Ibnu Mas'ud berkata, "Sekarang ini tak ada lagi yang lebih mudah bagiku daripada menghadapi musuh-musuh Allah tersebut. Jika tuan-tuan menghendaki, esok saya akan mendatangi mereka lagi dan membacakan lagi surah lainnya…"
            Mereka berkata, "Cukuplah sudah, engkau telah membacakan hal yang tabu atas mereka…!!"
            Nabi SAW hanya tersenyum melihat perbincangan di antara sahabat-sahabat beliau, tanpa banyak memberikan komentar apa-apa.
            Peristiwa tersebut menjadi pertanda awal dari apa yang diramalkan oleh Rasulullah SAW, ia akan menjadi seorang yang terpelajar, yakni dalam bidang Al Qur'an dan ilmu keislaman lainnya. Sungguh suatu lompatan besar, dari seorang buruh upahan penggembala kambing, miskin dan terlunta-lunta, tiba-tiba menjadi seseorang yang ilmunya dibutuhkan banyak orang, khususnya dalam bidang Al Qur'an.
            Ia memang hampir tidak pernah terpisah dengan Rasulullah SAW, pengetahuannya terus tumbuh dan berkembang dalam bimbingan beliau. Ia mendengar 70 surah Al Qur'an langsung dari mulut Rasulullah SAW, dan tidak ada sahabat lainnya yang sebanyak itu mendengar langsung dari Nabi SAW. Ia juga selalu merekam (mengingat) peristiwa demi peristiwa yang berhubungan dengan surah-surah Al Qur'an. Jika ia mendengar kabar tentang seseorang yang mengetahui suatu peristiwa yang berhubungan dengan Al Qur'an, yang ia belum mengetahuinya, segera saja ia memacu untanya untuk menemui orang tersebut demi melengkapi pemahamannya.
            Tentang kemampuannya di bidang Al Qur'an, Nabi SAW bersabda, "Barang siapa yang ingin mendengar Al Qur'an tepat seperti ketika diturunkannya, hendaknya ia mendengar  bacaan Al Qur'an Ibnu Ummi Abdin (yakni, Abdullah bin Mas'ud). Barang siapa ingin membaca Al Qur'an tepat seperti saat diturunkan, hendaklah ia membaca seperti bacaan Ibnu Ummi Abdin…"             Beliau juga pernah bersabda, "Berpegang teguhlah kalian kepada ilmu yang diberikan oleh Ibnu Ummi Abdin…"
            Bahkan tak jarang Nabi SAW memerintahkan Abdullah bin Mas'ud untuk membacakan suatu surah untuk beliau, dan beliau akan memerintahkannya berhenti setelah beliau tak dapat menahan tangis karena mendengar bacaannya. Beliau seolah dibawa "bernostalgia" dengan suasana ketika ayat tersebut diturunkan, karena bacaannya memang tepat seperti saat ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan.
            Secara penampilan fisik, mungkin Abdullah bin Mas'ud tidak meyakinkan. Perawakan tubuhnya kurus dan kecil, tidak terlalu tinggi, kedua betisnya kecil dan kempes sehingga pernah menjadi bahan tertawaan beberapa sahabat. Hal itu terjadi ketika ia sedang memanjat dan memetik dahan pohon arak untuk digunakan sikat gigi (siwak) oleh Nabi SAW. Melihat sikap mereka ini, beliau bersabda, "Tuan-tuan mentertawakan kedua betis Ibnu Mas'ud, padahal di sisi Allah, timbangan (kebaikan) keduanya  lebih berat daripada gunung Uhud…."
            Abdullah bin Mas'ud tidak pernah tertinggal mengikuti pertempuran bersama Rasulullah SAW, begitu juga beberapa pertempuran pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar.
            Ketika perang Badar usai, Nabi SAW ingin mengetahui keadaan Abu Jahal, maka Abdullah bin Mas'ud pun beranjak pergi mencarinya, begitu juga beberapa sahabat lainnya. Sebenarnya saat pertempuran berlangsung, beliau  telah didatangi dua pemuda Anshar, Mu'adz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra. Mereka berdua mengaku  telah membunuh Abu Jahal. Setelah memeriksa pedang kedua pemuda tersebut, beliau pun membenarkan pengakuan  mereka. Hanya saja beliau ingin memperoleh kejelasan informasinya dan kepastian kematiannya.
            Ibnu Mas'ud bergerak di antara mayat yang bergelimpangan, dan akhirnya menemukan tubuh Abu Jahal, yang masih sekarat, nafasnya tinggal satu-satu. Tubuh Ibnu Mas'ud yang kecil berdiri di atas tubuh Abu Jahal yang kokoh kekar terkapar. Ia menginjak leher Abu Jahal dan memegang jenggotnya untuk mendongakkan kepalanya, dan berkata, "Apakah Allah telah menghinakanmu, wahai musuh Allah!!"
            "Dengan apa ia menghinakan aku? Apakah aku menjadi hina karena menjadi orang yang kalian bunuh? Atau justru orang yang kalian bunuh itu lebih terhormat? Andai saja bukan pembajak tanah yang telah membunuhku…"
            Memang, dua pemuda Anshar yang membunuhnya adalah para pekerja kebun kurma. Mungkin ia merasa lebih berharga jika saja yang membunuhnya adalah seorang pahlawan perang seperti Hamzah atau Umar. Kemudian ia berkata kepada Ibnu Mas'ud yang masih menginjak lehernya, "Aku sudah naik tangga yang sulit, wahai penggembala kambing…."
            Ibnu Mas'ud mengerti maksud Abu Jahal, ia melepaskan injakan pada lehernya. Tak berapa lama kemudian Abu Jahal tewas, ia memenggal kepala Abu Jahal dan membawanya kepada Nabi SAW.  Sampai di hadapan beliau, ia berkata, "Wahai Rasulullah, ini kepala musuh Allah, Abu Jahal…!"
            "Demi Allah yang tiada Ilah selain Dia," Beliau mengucap tiga kali, kemudian bersabda lagi, "Allahu Akbar, segala puji bagi Allah yang  telah memenuhi janjiNya, menolong hambaNya dan mengalahkan pasukan musuhNya…"
            Ada suatu peristiwa berkesan pada Perang Tabuk yang selalu menjadi keinginan dan angan-angan Abdullah bin Mas’ud. Suatu malam ia terbangun dan ia melihat ada nyala api di arah pinggir perkemahan. Ia berjalan ke perapian tersebut, dan ia melihat tiga orang bersahabat, Nabi SAW, Abu Bakar dan  Umar bin Khaththab sedang memakamkan jenazah salah seorang sahabat, Abdullah Dzulbijadain al Muzanni. Nabi SAW berada di lubang kuburan, Abu Bakar dan Umar berada di atas. Ia mendengar beliau bersabda, "Ulurkanlah kepadaku lebih dekat…!!"
            Nabi SAW menerima jenazah Abdullah tersebut dan meletakkan di liang lahat, kemudian beliau berdo'a, "Ya Allah, aku telah ridha padanya, maka ridhai pula ia olehMu..!!"
            Melihat pemandangan tersebut, Ibnu Mas'ud berkata,  "Alangkah baiknya jika akulah pemilik liang kubur itu…."
            Namun ternyata keinginannya tidak terpenuhi karena tiga orang mulia yang terbaik tersebut mendahuluinya menghadap Allah. Ia wafat pada zaman khalifah Utsman, dan dalam satu riwayat disebutkan, yang memimpin (mengimami) shalat jenazahnya adalah sahabat Ammar bin Yasir.