Minggu, 21 April 2013

Qabishah bin Mukhariq RA

Qabishah bin Mukhariq, atau dikenal dengan nama kunyahnya Abu Bisyr, adalah seorang sahabat yang hidupnya dalam kekurangan, sementara anggota keluarganya cukup banyak. Suatu ketika ia merasakan beban yang ditanggungnya begitu berat sehingga ia tak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, yang sebenarnya tidak begitu banyak. Karena itu ia datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami mohon bantuan untuk meringankan beban kehidupan kami…!!"
Karena saat itu Nabi SAW sedang tidak memiliki apapun untuk diberikan, beliau berkata, "Tunggulah sampai ada zakat datang kesini, nanti akan kami suruh si Amil untuk memberikan bagian kepadamu…!!"
Setelah mengucapkan terima kasih dan pamit, Abu Bisyr melangkah untuk pulang. Tetapi baru beberapa langkah, Nabi SAW memanggilnya kembali. Abu Bisyr kembali menghadap Nabi SAW dan beliau bersabda, "Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali karena tiga alasan…."
Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan dengan terinci siapa saja yang dibolehkan meminta-minta, dan batasan- batasannya, yakni :
1. Seseorang yang menanggung beban kehidupan sangat berat, ia boleh meminta-minta untuk memperingan beban kehidupannya. Jika telah terasa ringan, ia harus mengekang/menahan diri dari meminta-minta.
2. Seseorang yang ditimpa musibah atau kecelakaan sehingga seluruh hartanya habis, ia boleh meminta-minta sehingga ia memperoleh kehidupan yang layak.
3. Seseorang yang sangat miskin, sehingga setidaknya ada tiga orang bijaksana di antara kaumnya yang berkata tentang dirinya, "Si fulan ini benar-benar miskin", maka ia boleh meminta-minta sehingga ia memperoleh kehidupan yang layak.
Artinya, terlarang meminta-minta sampai melebihi kebutuhan standar kehidupan layak, apalagi sampai menjadikan  simpanan atau tabungan.
Setelah menjabarkan panjang lebar seperti itu, Nabi SAW bersabda lagi, "Wahai Qabishah, meminta-minta selain karena tiga sebab tersebut adalah usaha yang terlarang, dan orang yang memakannya berarti memakan barang yang haram…!!"

Amir bin Akwa RA

Amir bin Amr bin al Akwa, adalah saudara dari Salamah bin Akwa, seorang remaja yang Rasulullah SAW menggelarinya sebagai Pasukan Pejalan Kaki Terbaik. Karena itu Amir pun lebih dikenali dengan nama Amir bin Akwa. Ketika terjun dalam perang Khaibar, dua bersaudara al Akwa dari bani Aslam ini bahu membahu memerangi kaum Yahudi. Amir bin Akwa menyenandungkan suatu syair untuk membangkitkan semangat, "Kalau tidak karena engkau  (wahai Muhammad), tidaklah kami mendapat hidayah, tidak shalat dan berzakat, Kami dicukupkan dengan kelebihan engkau, maka turunkanlah atas kami ketenangan, Dan teguhkanlah kaki-kaki kami menghadapi musuh dalam peperangan ini…!!"
Nabi SAW diberitahu para sahabat tentang syair yang disenandungkan tersebut. Beliau menanyakan siapa penyenandungnya.
"Amir bin Akwa…!!" Kata para sahabat.
"Semoga Allah akan mengampuni Amir!!" Kata Rasulullah SAW, suatu pertanda beliau senang dengan apa yang dilakukannya.
Tetapi para sahabat-pun menangkap pertanda pula. Jika beliau mengkhususkan doa pada seseorang dalam suatu pertempuran, pastilah ia akan menemui syahid. Amir memahami pula hal ini, dan ia menjadi sangat gembira dan bersemangat menggempur musuh.
Ketika pertempuran berkecamuk dengan sengitnya, muncullah Marhab, seorang pahlawan Yahudi yang sudah sangat dikenal di daerah Khaibar dan sekitarnya akan keberanian dan kepiawaiannya dalam adu senjata. Ia menantang duel sambil menyombongkan nama besarnya.  Tanpa banyak pertimbangan, Amir meloncat ke hadapan Marhab sambil mengucapkan perkataan untuk mengimbangi kesombongan Marhab, "Penduduk Khaibar tahu, akulah Amir, pahlawan perang yang perkasa, menyerbu musuh seorang diri tanpa takut apa-apa…!!"
Dua orang yang inipun bertempur dengan serunya, tampaknya kekuatan mereka berimbang. Pada suatu kesempatan, posisi Amir di atas angin dan sangat menguntungkan, ia siap memberikan pukulan terakhir dengan pedangnya untuk menghabisi perlawanan musuhnya. Tetapi tanpa disadarinya,  hulu pedangnya melentur dan ujung pedangnya berbalik mengenai ubun-ubun kepalanya sendiri hingga ia tewas seketika. Pasukan muslim yang melihat peristiwa tersebut spontan berkata, "Kasihan Amir, ia terhalang memperoleh mati syahid…!!"
Salamah bin Akwa yang berada tak jauh dari tempat saudaranya itupun merasa kecewa dan menyesal atas kejadian yang menimpa Amir. Ia beranggapan seperti kebanyakan sahabat lainnya, bahwa Amir mati karena bunuh diri, walau itu dilakukan tanpa sengaja. Tentulah ia kehilangan pahala berjihad dan kematian sebagai syahid.
Ketika perang pada hari itu usai, Salamah menceritakan peristiwa yang menimpa Amir kepada Nabi SAW sambil menangis, dan ia bertanya, "Wahai Rasulullah, benarkah pahala Amir gugur karena kematiannya tersebut?"
Rasulullah SAW dengan arif memberikan jawaban yang menentramkan, "Ia gugur sebagai pejuang (yakni mati syahid), bahkan ia memperolah dua macam pahala. Dan sekarang ini ia sedang berenang di sungai-sungai surga…!!!"
            Hati Salamah menjadi senang dengan penjelasan Nabi SAW, bahkan ‘pandangan tembus’ beliau atas saudaranya yang telah syahid tersebut meningkatkan semangatnya untuk terus berjuang membela panji-panji agama Allah.

Ghassan bin Malik al Amiri RA

Ghassan bin Malik al Amiri tinggal cukup jauh dari Kota Makkah. Kabilahnya memiliki kebiasaan memberikan persembahan atau kurban di depan berhalanya pada bulan Rajab. Pada suatu bulan Rajab ketika Nabi SAW telah mulai mendakwahkan Islam, seorang lelaki bernama Isham datang ke berhala tersebut dan bersiap menyembelih kurban persembahannya. Ketika tangannya mengangkat pedang untuk menyembelih, tiba-tiba muncul  suara dari lobang berhala, "Wahai Isham, telah datang Islam, berhala tak lagi berguna, darah akan terlindungi dan kekerabatan akan tersambung, kebenaran akan segera tampak….Wassalam..!!"
Memang, sebelumnya telah santer tersiar kabar, khususnya dari para pendeta Yahudi dan Nashrani, bahwa akan segera muncul seorang Nabi dan Rasul akhir zaman. Berita yang sebenarnya menjadi harapan dan kebanggaan bagi ahli kitab tersebut, juga menimbulkan harapan bagi penduduk jazirah Arabia yang sebenarnya kaum pagan penyembah berhala. Kaum ahli kitab ini merasa derajadnya lebih tinggi dari penduduk Arab karena mereka merasa memiliki keterkaitan dengan wahyu, dengan kitab suci yang mereka jadikan pegangan bagi agama mereka.
Sejenak Isham tertegun, kemudian ia membatalkan persembahannya sambil berteriak gembira kepada kaumnya bahwa Rasul yang dinanti-nantikan tersebut telah datang. Ghassan yang sebenarnya "pemilik dan pengelola" berhala tersebut, ikut gembira dengan kabar tersebut, tetapi itu belum menguatkannya karena ia tidak melihat sendiri peristiwa yang dialami Isham.
Beberapa hari kemudian, masih di bulan Rajab yang sama, seseorang bernama Thariq datang untuk melakukan persembahan. Sama seperti Isham, ketika tangannya siap menyembelih kurban di depan berhala tersebut, muncul suatu suara dari lobang berhala itu, "Wahai Thariq, telah diutus Nabi yang jujur, ia datang membawa wahyu dari Allah Yang Maha Perkasa…!!"
Sama seperti Isham, Thariq membatalkan kurbannya dan berlari keluar dari tempat berhala tersebut sambil berteriak gembira, mengabarkan kehadiran Nabi dan Rasul akhir zaman. Peristiwa Thariq tersebut makin menguatkan kabar yang disampaikan oleh Isham sebelumnya, dan Nabi SAW makin jadi pembicaraan di daerah yang jauh dari Makkah ini. Hanya saja  kalau di Makkah beliau banyak menerima penolakan, di sini beliau menjadi idola, harapan dan penerimaan.
Tiga hari setelah peristiwa Thariq, Ghazzan bin Malik yang merupakan salah satu pemuka kabilahnya, berniat melakukan kurban di depan berhalanya. Peristiwa Isham dan Thariq berulang, bahkan suara tersebut lebih tegas dan lantang keluar dari lobang berhala, "Wahai Ghazzan bin Malik, telah datang kebenaran dari seorang Nabi dari Bani Hasyim di Tihamah. Keselamatan bagi yang mendukungnya, penyesalan bagi yang mencelanya. Dia memberi petunjuk dan mengajak kepada kebaikan hingga hari kiamat….!!"
Setelah itu, berhala tersebut terangkat dan roboh tengkurap di depan Ghazzan. Tidak ada alasan lagi bagi  Ghazzan untuk tidak percaya akan hadirnya seorang Rasul, apalagi kali ini jelas ditunjukkan kabilah dan tempatnya ia dibangkitkan. Dengan tekad bulat, sekaligus dukungan dari kaumnya, ia akan menemui Nabi baru dari Bani Hasyim yang berada di daerah perbukitan Tihamah tersebut. Ganasnya padang pasir yang membentang antara tempat tinggalnya dengan Tihamah dimana Makkah berada, tidaklah menyurutkan langkahnya.
Saat itu masih masa permulaan dakwah Islam, Nabi SAW sedang duduk bersama beberapa orang sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib yang meriwayatkan kisah ini. Seorang penunggang unta yang tampak letih dan berdebu, pertanda ia telah melakukan perjalanan jauh di padang pasir, mendatangi kumpulan sahabat dan bertanya, "Manakah yang namanya Muhammad?"
Mereka menunjukan tempat Nabi SAW, dan lelaki tersebut, yang tak lain adalah Ghassan bin Malik al Amiri, berkata kepada beliau, "Maukah engkau menjelaskan semua perintah Tuhanmu, atau aku yang akan menceritakan perintah-perintah berhalaku…."
Maksud Ghassan adalah "perintah" berhala ketika membatalkan persembahan kurban dari Isham, Thariq dan dirinya sendiri. Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Ghassan, dan bersabda, "Biarlah aku saja yang menjelaskan perintah-perintah Tuhanku…."
Mulailah Nabi SAW menjelaskan panjang lebar risalah Islam yang beliau emban untuk seluruh umat manusia. Setelah cukup lama mendengarkan dengan khidmat penjelasan beliau, ia berkata, "Saya adalah Ghassan bin Malik al Amiri, saya mempunyai berhala, setiap bulan Rajab saya dan kaum saya melakukan persembahan kepadanya…."
Kemudian Ghassan menceritakan dengan terperinci peristiwa yang terjadi dengan berhalanya akhir-akhir ini, pengalaman Isham, Thariq atau juga pengalamannya sendiri, sehingga berhala itu roboh dengan sendirinya. Setelah Ghassan selesai menceritakan kisahnya, Nabi SAW bertakbir, para sahabat ikut bertakbir pula. Ghassan mengucap syahadat untuk memeluk Islam, kemudian ia meminta ijin Nabi SAW untuk melantunkan syair, dan beliau mengijinkannya.
Ghassan melantunkan syairnya, "Kupacu langkah untuk sebuah pencarian, dengan gundah gulana, di dalam negeri yang berpasir, hanya untuk mendukung manusia pemimpin, kuikat sebuah tali, talimu dalam taliku, aku ikrarkan, Allah Tuhan Yang Maha Benar, Yang Esa, inilah agamaku, terompahku bersama langkahku…"

Thoriq ash Sholidalani dan Syihab R.Huma

            Pada awal dakwahnya di Makkah, Nabi SAW memang mendapat perlawanan yang tidak tanggung-tanggung. Suatu ketika kaum musyrik bermusyawarah di rumah Abu Jahal untuk menyikapi dakwah Nabi SAW. Masuklah Thoriq ash Sholidalani ke rumah Abu Jahal dan berkata, "Jika kalian ingin membunuh Muhammad, itu sangat mudah asal kalian setuju dengan kata-kataku..!!"
            "Bagaimana caranya Thoriq?" Tanya mereka.
          "Ketika Muhammad sedang duduk bersandar di dinding Ka'bah, salah satu dari kalian naik ke atas Ka'bah dan meluncurkan batu besar ke tempat duduknya, pasti ia akan mati seketika..!!" Kata Thoriq.
           Usul tersebut sepertinya mendapat respon positif, dan salah seorang dari mereka, yakni Syihab berkata, "Jika diijinkan, biarkanlah aku yang meluncurkan batu dari atas kata Ka'bah…!!"
           Para pemuka Quraisy itupun menyetujui rencana tersebut. Suatu ketika Nabi SAW duduk bersandar di dinding Ka' bah seperti biasanya. Sekelompok kaum Quraisy yang telah menunggu kesempatan itu segera melaksanakan rencananya. Syihab menaiki Ka'bah pada sisi yang lain dengan membawa batu besar yang telah disiapkannya. Thoriq ash-Sholidalani dan beberapa pemuka Quraisy mengamati dari kejauhan.
            Setelah berada tepat di atas Nabi SAW, Syihab meluncurkan batu besar yang dibawanya ke arah kepala Nabi SAW. Tetapi tiba-tiba saja dinding Ka'bah bergeser atau merekah dan muncul batu lain dari dinding tersebut yang membelokkan arah jatuhnya batu besar yang dijatuhkan Syihab. Batu tersebut jatuh di pelataran Ka'bah, agak jauh dari tempat Nabi SAW bersandar sehingga beliau selamat. Setelah itu dinding Ka'bah merapat kembali seperti semula.
           Syihab mengucak matanya seolah tak percaya melihat peristiwa yang menakjubkan tersebut, kemudian segera turun menghampiri Nabi SAW dan mengucapkan syahadat memeluk Islam. Thoriq ash Sholidalani yang juga terperanjat melihat peristiwa tersebut, dengan segera menghampiri beliau dan  menyusul Syihab memeluk Islam.

Abu Sufyan bin Harits RA

Abu Sufyan bin Harits masih saudara sepupu Nabi SAW, ayahnya Harits bin Abdul Muthalib adalah saudara kandung ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muthalib. Ia juga saudara sesusu Nabi SAW karena pernah disusui oleh Khalimah as Sa'diyah selama beberapa hari. Sebagian besar masa hidupnya sejak Nabi SAW mengemban risalah Islam, justru dihabiskan  untuk menentang dan menghalangi dakwah beliau. Dengan kemampuannya menggubah dan merangkai syair, ia menjatuhkan dan menjelek-jelekkan Nabi SAW. Dalam berbagai pertempuran-pun ia berdiri teguh di fihak yang melawan pasukan muslim.
Sebenarnyalah ia telah melihat tanda-tanda kebenaran Nabi SAW dalam perang Badar, tetapi Allah SWT belum berkenan memberikan hidayah keimanan kepadanya. Dalam pertempuran Badar tersebut, kekuatan pasukan musyrik tiga kali lipat banyaknya, tetapi Abu Sufyan bin Harits melihat pemandangan menakjubkan yang tidak masuk akal. Pasukan berjubah putih dengan kuda-kuda yang perkasa berseliweran antara langit dan bumi, tetapi sama sekali tidak meninggalkan jejak dan menginjak bumi. Wajahnya tampak cemerlang dengan dahi-dahi yang lebar.
Mereka ini, yang tidak lain adalah para malaikat yang diperintahkan Allah membantu pasukan muslim, menyerang dan mematahkan serangan kaum musyrikin tanpa diketahui oleh pasukan muslim sendiri. Banyak peristiwa terjadi, ketika seorang muslim belum lagi menyerang, baru berhadapan saja tiba- tiba saja kepala musuhnya terkulai dan mati, atau tangannya terpotong, atau datang kepada seorang muslim dalam keadaan tertawan begitu saja seperti yang terjadi atas Abbas bin Abdul Muthalib. Peristiwa yang tidak terlihat oleh pasukan muslim atau pasukan musyrikin ini ternyata ditampakkan Allah kepada Ibnu Harits, tetapi tidak disertai hidayah-Nya.
Begitulah, bukti kebenaran itu begitu nyata dilihatnya, tetapi Abu Sufyan bin Harits tetap menjadi tulang punggung kaum Quraisy dan sekutu musyriknya dalam memerangi dan menghalangi dakwah Nabi SAW, baik dengan syair-syairnya, atau dengan pedang yang dihunusnya dalam berbagai peperangan. Bahkan ketika saudara-saudaranya, Naufal, Rabi'ah dan Abdullah bin Harits memeluk Islam, ia tetap saja kokoh dengan pendiriannya. Tak heran jika Nabi SAW sempat menolak menemuinya ketika ia berniat memeluk Islam menjelang terjadinya Fathul Makkah.
Setelah duapuluh tahun berlalu hidayah Allah datang juga menyapanya. Pada saat yang hampir bersamaan ketika Nabi SAW menggerakkan pasukan menuju Makkah, ia juga menggerakkan kakinya menuju Madinah untuk berba'iat memeluk Islam, tetapi ia tidak tahu rencana Nabi SAW tersebut. Ia berangkat bersama anaknya yang masih  kecil, Ja'far dan saudara sepupunya yang juga berniat memeluk Islam, Abdullah bin Abu Umayyah. Ibnu Abi Umayyah ini adalah saudara dari Ummu Salamah, salah satu istri Nabi SAW, dan seorang tokoh Quraisy yang juga sangat gencar melakukan perlawanan dan penentangan atas kenabian Nabi Muhammad SAW, sehingga peristiwanya diabadikan dalam Al Qur'an Surah al Isra ayat 90-93.
Ketika tiba di Abwa, Abu Sufyan dan rombongan kecilnya bertemu dengan pasukan besar kaum muslimin yang sedang beristirahat di tempat itu. Ada kegentaran dalam dirinya, dengan reputasinya selama ini dalam memusuhi Islam, bisa jadi Nabi SAW  telah menghalalkan darahnya. Tetapi tekadnya telah bulat, apapun resikonya ia akan menghadapinya. Ia menghampiri perkemahan muslim tersebut dan minta ijin untuk menghadap Nabi SAW, tetapi ternyata beliau menolak untuk menemui mereka. Ibnu Harits amat sedih menerima kenyataan tersebut, ia berniat untuk mengasingkan diri bersama anaknya dan akan membiarkan diri tanpa makan dan minum sampai mati kelaparan, jika memang tidak bisa  bertemu dan berikrar dalam keislaman kepada Nabi SAW.
Istri Nabi SAW yang menyertai beliau dalam perjalanan tersebut adalah Ummu Salamah. Ia melihat keadaan ketiga orang tersebut sangat payah dan hampir putus asa, apalagi keadaan si kecil, Ja’far bin Abu Sufyan. Karena itu ia berkata kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, jangan engkau biarkan anak paman engkau dan anak bibi engkau menjadi orang yang paling menderita karena engkau….!!"
Tetapi saran Ummu Salamah ini belum cukup meluluhkan hati beliau. Tentulah Nabi SAW yang paling merasakan bagaimana sikap dan perlakuan mereka berdua ketika beliau masih berdakwah di Makkah, sehingga tidaklah mudah melupakannya begitu saja.
Ali bin Abi Thalib menghampiri Abu Sufyan bin Harits, ia memberikan saran untuk mendekati Nabi SAW secara sembunyi-sembunyi, dan hadir di depan beliau dengan mengucap syahadat sebagai bukti keislamannya, dan berkata seperti perkataan saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf, "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang- orang yang bersalah (berdosa) ….!!"
Perkataan tersebut terdapat pada QS Yusuf ayat 91. Ali bin Abi Thalib sebagai putra didikan wahyu, didikan Rasulullah SAW sejak usia kanak-kanaknya, tentulah sangat mengenal bagaimana "meluluhkan" hati beliau. Dan ketika saran ini dilaksanakan oleh Ibnu Harits dan Ibnu Abi Umayyah, Nabi SAW mengerling sekilas pada Ali, kemudian dengan gembira menyambut keislaman keduanya, dan beliau bersabda seperti ucapan Nabi Yusuf AS (QS Yusuf ayat 92), "Pada hari ini tidak ada celaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah merngampuni dosa-dosa kalian, dan sesungguhnya Dia Maha Penyayang di antara para penyayang…!!"
Abu Sufyan sangat gembira dengan ucapan Nabi SAW, secara spontan ia menggubah syair untuk memuji keluhuran akhlak beliau, sekaligus mengungkapkan penyesalannya atas jalan salah yang telah dilaluinya selama hampir duapuluh tahun tersebut. Nabi SAW amat gembira dengan gubahan syair tersebut, sambil tersenyum dan menepuk lembut dada Abu Sufyan, beliau bersabda, "Dahulu engkau mengusirku dengan gigih…!!"
Nabi SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk mengajarkan Abu Sufyan cara wudhu, shalat dan berbagai cara peribadatan lainnya, sehingga akhirnya ia menjadi seorang muslim yang baik. Sejak saat itu Abu Sufyan tidak berani menatap wajah Rasulullah SAW berlama-lama karena rasa malu. Ia lebih banyak menundukkan mukanya. Namun demikian Nabi SAW sangat mencintainya dan memberikan kesaksian bahwa ia akan masuk surga. Beliau sering berkata tentang dirinya, "Aku sangat berharap dia akan menyusul Hamzah….!!"
Dalam Perang Hunain yang terjadi tidak lama setelah terjadinya Fathul Makkah, pasukan muslim sempat kocar-kacir pada awalnya, bahkan jiwa Rasulullah SAW terancam bahaya. Akhirnya beliau berhasil menghimpun kekuatan kembali dengan orang-orang Anshar sebagai pilar utamanya, dan memukul balik pasukan musuh sehingga memperoleh  kemenangan yang gemilang.
Dalam proses yang begitu panjang, dari kekalahan sehingga berbalik menjadi kemenangan, kendali tunggangan Rasulullah SAW dipegang dan dikontrol dengan baiknya sehingga beliau sukses memberikan komando yang menentukan kemenangan tersebut. Hanya anehnya, lelaki pemegang kendali tersebut tidak pernah menampakkan wajah dan tatapannya kepada beliau.  Ketika suasana telah tenang dan pasukan musuh telah terusir pergi, Nabi SAW berusaha mengenali siapa lelaki misterius tersebut. Dan setelah menatap berlama-lama, beliau berkata, "Siapa ini? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits….."
Sangat pendek ucapan beliau, tetapi kata "saudaraku" yang diucapkan Nabi SAW laksana air sejuk yang disiramkan ke dalam hatinya kala kegersangan melanda. Masih jelas terbayang semua sikap permusuhan yang dilakukannya kepada beliau selama duapuluh tahun, masih juga lekat dalam ingatan, penolakan beliau untuk menemuinya ketika di Abwa. Tetapi tiba-tiba saja beliau menyebutnya sebagai "saudaraku", kegembiraan dan kebahagiaan yang menyebabkan air matanya mengalir dengan deras karena rasa haru yang tak tertahankan. Ia mencium dan meratapi kedua kaki Rasulullah SAW, bahkan ia mencucinya dengan air matanya.
Abu Sufyan bin Harits menghabiskan sisa waktu bersama Rasulullah SAW dengan ibadah demi ibadah, seolah ingin menebus ketertinggalannya selama duapuluh tahun. Dan ketika Nabi SAW wafat terlebih dahulu, ruhnya seolah memberontak untuk segera keluar menyusul kesayangan dan kekasihnya tersebut. Suatu ketika ia menggali lubang kuburan di Baqi, padahal saat itu tidak ada seorangpun yang meninggal, mereka yang merasa aneh dengan apa yang dilakukannya menanyakan aktivitasnya tersebut, Abu Sufyan berkata, "Aku sedang menyiapkan kuburku…..!!"
Tiga hari kemudian ia terbaring sakit dan makin lemah sehingga orang-orang menangisinya. Tetapi tampak sekali kepuasan dan ketentraman di hatinya yang tampil di wajahnya. Ia berkata, "Janganlah kalian menangisiku!! Sesungguhnya sejak memeluk Islam, tidak sedikitpun aku berlumuran dosa..!!"
           Tak lama kemudian wajahnya terkulai dan ruhnya melayang menyusul kekasih yang dirindukannya, Nabi Muhammad SAW.  Orang-orangpun memakamkannya pada liang lahad yang telah dipersiapkannya sendiri.

Senin, 01 April 2013

Seorang yang Menginginkan Berjihad

Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah memeluk Islam, dan saya berba'iat kepada tuan untuk berhijrah dan berjihad, semata-mata untuk mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala…!!"
Nabi SAW yang memang mempunyai pandangan tembus yang tidak terhalang hijab, tentu saja semua berkat pemberitahuan dan bimbingan wahyu yang disampaikan oleh Jibril AS, seketika tersenyum melihat semangat lelaki tersebut dan berkata, "Apakah masih ada salah satu dari orang tuamu yang masih hidup?"
"Masih, ya Rasulullah, bahkan kedua-duanya masih hidup!!" Kata lelaki tersebut.
"Kamu ingin memperoleh pahala yang besar dari Allah?" Kata Nabi SAW, tanpa ingin mematahkan semangat lelaki tersebut yang menyala-nyala.
"Benar, Ya Rasulullah..!!"
"Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu," Kata Nabi SAW, "Layanilah mereka sebaik-baiknya, pada mereka sajalah kamu berjihad…!!"
Inilah memang sikap bijaksana Nabi SAW. Dalam pandangan beliau, lelaki itu akan lebih bermanfaat jika tetap menjaga dan merawat kedua orang tuanya, daripada harus terjun di medan pertempuran. Tetapi secara umum, jika ada seorang muslim yang ingin bergabung dalam pasukan yang terjun ke medan jihad, beliau lebih sering menerimanya, bahkan mendoakan mereka dengan kebaikan.
Kasus ini hampir sama dengan yang terjadi pada Uwais al Qarany, seorang Tabi'in yang sebenarnya hidup sezaman dengan Nabi SAW, tetapi "tidak sempat" mengunjungi dan bertemu dengan Nabi SAW. Sebenarnyalah ia meminta ijin kepada ibunya untuk mengunjungi dan berba'iat kepada Nabi SAW di Madinah, tetapi ibunya mencegah kepergiannya dan ia patuh.
Memang, ibunya tersebut telah tua dan sakit-sakitan, tidak bisa beraktivitas apapun kecuali dengan bantuan Uwais. Tidak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk membantunya kecuali anak satu-satunya tersebut. Kalau Uwais harus meninggalkan daerah Qaran di Yaman menuju Madinah, padahal akan makan waktu berhari-hari atau bahkan berbilang bulan, bagaimana keadaan ibunya tersebut. Terpaksalah Uwais harus memendam kerinduannya bertemu Nabi SAW demi patuh kepada ibunya.
Dan pena takdir menentukan ia tidak bisa bertemu langsung dengan Nabi SAW, ia baru bisa ikut haji ke Makkah setelah ibunya wafat, yakni ketika masa khalifah Umar bin Khaththab. Namun bertahun-tahun sebelumnya, Nabi SAW memuji sikap Uwais al Qarany ini, beliau bersabda, "Penghulu (sayyid) para Tabi'in adalah Uwais al Qarany…!!"
          Beliau juga mewasiatkan kepada Umar dan Ali bin Abi Thalib untuk menemui Uwais, dan memintakan doa ampunan untuk mereka. Dalam riwayat lain, memintakan doa ampunan untuk ummat Nabi SAW keseluruhannya. Lihat juga pujian Nabi SAW atas Uwais dalam kisah "Seorang Raja di Surga", di bagian sebelumnya dari buku ini.

Zainab ats Tsaqafiyah RA

Zainab Ats Tsaqafiyah RA adalah seorang wanita bangsawan yang kaya-raya, yang berasal dari kabilah Bani Tsaqif di Thaif. Ia menikah dengan  Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat Nabi SAW yang tadinya hanyalah seorang buruh penggembala kambing, tetapi Islam telah memuliakannya dengan kemampuannya di dalam Al Qur'an, bahkan Nabi SAW memuji bacaannya, tepat seperti ketika Al Qur'an diturunkan. Tentu saja Ibnu Mas’ud hanyalah dari kalangan biasa dan miskin, bahkan kondisi fisiknya ada kekurangan (cacat).
Walau dengan ‘derajad’ duniawiah yang begitu jauh berbeda, Zainab bersedia dinikahi Ibnu Mas’ud, karena ia menyadari kekayaan dan kebangsawanannya belum tentu bisa menjamin keselamatannya di akhirat kelak. Tetapi dengan menjadi istri dan pendamping seorang sahabat yang begitu dimuliakan Rasulullah SAW, ia yakin akan memperoleh ‘freepass’ masuk surga, asal dengan ikhlas mengabdi pada suaminya tersebut.
Suatu ketika Zainab mendengar Nabi SAW bersabda, "Wahai kaum wanita, bersedekahlah kamu sekalian, walaupun harus dengan perhiasanmu…!!"
Ketika tiba di rumah dan bertemu dengan suaminya, Abdullah bin Mas'ud, ia menceritakan sabda Nabi SAW  tersebut dan berkata, "Sesungguhnya engkau adalah orang yang tidak mampu, tolong datang dan tanyakan kepada Nabi SAW, apa boleh aku bersedekah kepadamu, jika tidak boleh, aku akan memberikannya kepada orang lain…!!"
Tetapi Ibnu Mas'ud merasa tidak enak dan malu menanyakan hal tersebut kepada Nabi SAW, karena ia dalam posisi berhak tidaknya menerima sedekah dari istrinya sendiri. Apalagi ia mempunyai kedekatan khusus dengan beliau. Karena itu ia berkata kepada istrinya, "Kamu sendiri saja yang datang kepada beliau dan menanyakannya…!!"
Dengan perintah atau ijin suaminya tersebut, Zainab datang ke rumah Nabi SAW, ternyata di sana telah ada seorang wanita Anshar menunggu Nabi SAW hadir/datang untuk menanyakan hal yang sama dengan dirinya. Seperti telah memperoleh isyarat, Nabi SAW memerintahkan Bilal keluar menemui dua wanita tersebut, dan Zainab berkata, "Wahai Bilal, sampaikan kepada Rasulullah SAW, dua orang wanita menanyakan kepada kepada beliau, apa boleh kami memberikan shadaqah kami kepada suami dan anak-anak yatim yang kami asuh? Tetapi, tolong jangan dijelaskan siapa kami!!"
Bilal masuk kembali menemui beliau dan menyampaikan pertanyaan mereka berdua. Tetapi Nabi SAW justru menanyakan identitas mereka berdua sehingga Bilal tidak mungkin menyembunyikannya, ia berkata, "Seorang wanita Anshar dan Zainab, ya Rasulullah!!" 
"Zainab yang mana?" Tanya Nabi SAW.
"Istri Abdullah bin Mas'ud…!!"
Nabi SAW bersabda, "Jika itu yang dilakukannya, kedua wanita tersebut akan mendapat dua macam pahala, pahala membantu kerabatnya, dan pahala shadaqah….!!"
          Bilal menyampaikan jawaban Nabi SAW, dan tentu saja Zainab beserta wanita Anshar tersebut sangat gembira. "Ijtihad" mereka tentang shadaqah ternyata dibenarkan beliau, bahkan memperoleh pahala berlipat.

Hisyam bin Hakim bin Hizam RA

Hisyam bin Hakim bin Hizam adalah sahabat Nabi SAW, putra dari seorang sahabat juga. Ayahnya, Hakim bin Hizam pernah mendapat ‘amalan’ khusus dari Rasulullah SAW, yakni agar ia bersikap qana’ah (merasa cukup dengan rezeki dari Allah) dan tidak meminta-minta. Maka ketika Islam mengalami kejayaan dan harta melimpah ruah memenuhi baitul mal pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, ia menolak pembagian harta yang menjadi haknya, dan memilih tetap hidup sederhana dan qana’ah sebagaimana diwasiatkan Rasulullah SAW.
Beberapa tahun berselang setelah Nabi SAW wafat, Hisyam bin Hakim sedang berjalan-jalan di Syam, dan ia melihat beberapa orang petani sedang dijemur di terik matahari dan dituangkan minyak di atas kepala mereka. Melihat tindakan penguasa muslim terhadap penduduknya seperti itu, Hisyam menanyakan permasalahannya, dan seseorang berkata, "Mereka disiksa seperti itu karena tidak membayar pajak….!!"
Mendengar penjelasan itu, spontan Hisyam berkata dengan nada tinggi, "Saya bersaksi bahwa saya benar-benar mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia….!!"
          Setelah itu Hisyam mendatangi kediaman gubernur Syam. Ia mengkritisi ‘kebijakan’ sang gubernur tersebut, dan menyampaikan ‘ancaman’ Rasulullah SAW. Ia memerintahkan agar para petani tersebut dilepaskan dari siksaannya, dan ternyata sang gubernur mematuhi saran yang disampaikan  oleh Hisyam.

Si Badui yang Menghisab Allah SWT

Seorang lelaki Badui telah memeluk Islam, tetapi karena keadaan ekonominya yang terbatas dan tempat tinggalnya yang sangat jauh dari Madinah, ia belum pernah menghadap dan bertemu langsung dengan Nabi SAW. Ia hanya berbai’at memeluk Islam dan belajar tentang peribadatan dari para pemuka kabilahnya yang pernah mendapat pengajaran Nabi SAW. Tetapi dengan segala keterbatasannya itu, ia mampu menjadi seorang mukmin yang sebenarnya, bahkan sangat mencintai Rasulullah SAW. Suatu ketika ia mengikuti rombongan kabilahnya melaksanakan ibadah umrah ke Makkah. Sambil thawaf sendirian, terpisah dari orang-orang lainnya, si badui ini selalu berdzikir berulang-ulang dengan asma Allah, "Ya Kariim, ya Kariim….."
Ia memang bukan orang yang cerdas, sehingga tidak mampu menghafal dengan tepat doa atau dzikr yang idealnya dibaca ketika thawaf, sebagaimana diajarkan Nabi SAW. Karena itu ia hanya membaca berulang-ulang asma Allah yang satu itu. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mengikuti berjalan di belakangnya sambil mengucap juga, “Ya Kariim, ya Kariim!!”
Si Badui ini berpindah dan menjauh dari tempat dan orang tersebut sambil meneruskan dzikrnya, karena ia menyangka lelaki yang mengikutinya itu hanya memperolok dirinya. Tetapi kemanapun ia berpindah dan menjauh, lelaki itu tetap mengikutinya dan mengucapkan dzikr yang sama. Akhirnya si Badui berpaling menghadapi lelaki itu dan berkata, "Wahai orang yang berwajah cerah dan berbadan indah, apakah anda memperolok-olokkan aku? Demi Allah, kalau tidak karena wajahmu yang cerah dan badanmu yang indah, tentu aku sudah mengadukan kamu kepada kekasihku…"
Lelaki itu berkata, “Siapakah kekasihmu itu?”
Si Badui berkata, “Nabiku, Muhammad Rasulullah SAW!!”
Lelaki itu tampak tersenyum mendengar penuturannya, kemudian berkata, "Apakah engkau belum mengenal dan bertemu dengan Nabimu itu, wahai saudaraku Badui?"
"Belum..!!" Kata si Badui.
Lelaki itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin engkau mencintainya jika engkau belum mengenalnya? Bagaimana pula dengan keimananmu kepadanya?"
Si Badui berkata, "Aku beriman atas kenabiannya walau aku belum pernah melihatnya, aku membenarkan kerasulannya walau aku belum pernah bertemu dengannya…!!"
Lagi-lagi lelaki itu tersenyum dan berkata, "Wahai saudaraku orang Badui, aku inilah Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat kepadamu di akhirat…!!"
Memang, lelaki yang mengikuti si Badui itu tidak lain adalah Rasulullah SAW, yang juga sedang beribadah umrah. Sengaja beliau mengikuti perilaku si Badui karena beliau melihatnya begitu polos dan ‘unik’, menyendiri dari orang-orang lainnya, tetapi tampak jelas begitu khusyu’ menghadap Allah dalam thawafnya itu.
Si Badui tersebut memandang Nabi SAW seakan tak percaya, matanya berkaca-kaca. Ia mendekat kepada beliau sambil merendah dan akan mencium tangan beliau. Tetapi Nabi SAW memegang pundaknya dan berkata, "Wahai saudaraku, jangan perlakukan aku sebagaimana orang-orang asing memperlakukan raja-rajanya, karena sesungguhnya Allah mengutusku bukan sebagai orang yang sombong dan sewenang-wenang. Dia mengutusku dengan kebenaran, sebagai pemberi kabar gembira (yakni akan kenikmatan di surga) dan pemberi peringatan (akan pedihnya siksa api neraka) …"
Si Badui masih berdiri termangu, tetapi jelas tampak kegembiraan di matanya karena bertemu dengan Nabi SAW. Tiba-tiba Malaikat Jibril turun kepada Nabi SAW, menyampaikan salam dan penghormatan dari Allah SWT kepada beliau, dan Allah memerintahkan beliau menyampaikan beberapa kalimat kepada orang Badui tersebut, yakni : "Hai Badui, sesungguhnya Kelembutan dan Kemuliaan Allah (yakni makna asma Allah : Al Karim) bisa memperdayakan, dan Allah akan menghisab (memperhitungkan)-nya dalam segala hal, yang sedikit ataupun yang banyak, yang besar ataupun yang kecil….."
Nabi SAW menyampaikan kalimat dari Allah tersebut kepada si Badui, dan si Badui berkata, "Apakah Allah akan menghisabku, ya Rasulullah??"
"Benar, Dia akan menghisabmu jika Dia menghendaki…" Kata Nabi SAW.
Tiba-tiba si Badui mengucapkan sesuatu yang tidak disangka-sangka, "Demi Kebesaran dan Keagungan-Nya, jika Dia menghisabku, aku juga akan menghisab-Nya….!!"
Sekali lagi Nabi SAW tersenyum mendengar pernyataan si badui, dan bersabda, "Dalam hal apa engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai saudaraku Badui?"
Si Badui berkata, "Jika Tuhanku menghisabku atas dosaku, aku akan menghisab-Nya dengan maghfirah-Nya, jika Dia menghisabku atas kemaksiatanku, aku akan menghisab-Nya dengan Afwan (pemaafan)-Nya, dan jika Dia menghisabku atas kekikiranku, aku akan menghisab-Nya dengan kedermawanan-Nya…."
Nabi SAW sangat terharu dengan jawaban si Badui itu sampai memangis meneteskan air mata yang membasahi jenggot beliau. Jawaban sederhana, tetapi mencerminkan betapa "akrabnya" si Badui tersebut dengan Tuhannya, betapa tinggi tingkat ma’rifatnya kepada Allah, padahal dia belum pernah mendapat didikan langsung dari Nabi SAW.
Sekali lagi Malaikat Jibril AS turun kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Muhammad, Tuhanmu, Allah As Salam mengirim salam kepadamu dan berfirman : Kurangilah tangismu, karena hal itu melalaikan malaikat-malaikat pemikul Arsy menjadi lalai dalam tasbihnya. Katakan kepada saudaramu, si Badui, ia tidak usah menghisab Kami dan Kami tidak akan menghisab dirinya, karena ia adalah (salah satu) pendampingmu kelak di surga….!!

Khansa binti Amr RA

Tumadhir binti Amr bin Harits, atau lebih dikenal dengan nama Khansa adalah seorang penyair wanita yang cukup terkenal pada masa jahiliah. Ketika Nabi SAW telah berada di Madinah, bersama beberapa orang kaumnya dari kabilah Bani Sulaim, ia datang menghadap beliau untuk memeluk Islam. Ia mempunyai empat orang anak lelaki yang kesemuanya ikut memeluk Islam, dan berhijrah untuk tinggal bersama Nabi SAW di Madinah.
Kemampuan Khansa melantunkan syair cukup dikagumi Rasulullah SAW. Ketika Adi bin Hatim memeluk Islam, ia mengatakan kepada Nabi SAW, bahwa penyair paling ulung adalah Amr al Qais, orang yang paling pemurah adalah Hatim bin Sa’d dan penunggang kuda paling pandai adalah Amr bin Ma’dikarib. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Wahai Ibnu Hatim, bukan mereka!! Penyair paling ulung adalah Khansa binti Amr, orang yang paling pemurah adalah Muhammad (Rasulullah SAW), dan orang yang paling pandai menunggang kuda adalah Ali bin Abu Thalib..!”
Sungguh penghargaan yang sangat tinggi terhadap Khansa, karena beliau ‘mensejajarkan’ namanya dengan nama beliau sendiri dan Ali bin Abu Thalib.
Sejak keislamannya, Khansa tidak hanya bersemangat dalam melantunkan syair, tetapi ia terjun dalam beberapa medan pertempuran, baik ketika bersama Rasulullah SAW ataupun setelah beliau wafat. Dengan syair-syairnya, ia membangkitkan dan membakar semangat para sahabat untuk terus berjuang menegakkan kalimat-kalimat Allah. Terkadang ketika pasukan dilanda kelelahan dan kejenuhan, ia juga melantunkan syair-syairnya sehingga mereka kembali segar dan bersemangat
Ketika terjadi perang Qadisiyah pada tahun 16 H, pada masa khalifah Umar bin Khaththab, Khansa memotivasi anak-anaknya untuk turut serta dalam perang tersebut. Keahliannya bersyair digunakannya untuk mempengaruhi  dan memberikan semangat jihad pada mereka. Diingatkannya tentang kemuliaan berjuang di jalan Allah, keteguhan ayah dan paman-pamannya dalam membela agama Allah. Sampai akhirnya ia berkata, "Jika besok kalian bangun dalam keadaan sehat, berjihadlah kalian dengan penuh keberanian dan dengan mengharap pertolongan Allah. Majulah dengan semangat juang yang tinggi, dan masuklah dalam pertempuran, lawanlah para pemimpin orang-orang kafir itu, insya Allah kalian akan masuk surga dengan penuh kemuliaan dan kehormatan."
Ucapan-ucapannya tersebut dirangkaikannya dalam sebuah rangkaian syair yang sangat indah, dan amat membekas di hati putra-putranya sehingga semangat mereka begitu menggelora untuk segera terjun dalam pertempuran tersebut. Keesokan harinya, mereka berempat berjuang dengan perkasa melawan pasukan Persia. Mereka bertempur sambil membaca syair-syair ibunya, sampai akhirnya satu persatu mereka menemui syahidnya.
Ketika berita ini disampaikan kepada Khansa, sang ibu yang kehilangan empat putranya tersebut sama sekali tidak bersedih, justru ia bersyukur dan berkata, "Alhamdulillah, Segala Pujian hanya kepada Allah, yang telah memuliakan aku, dengan menjadikan anak-anakku sebagai syuhada’. Semoga dengan syahidnya mereka, dosa-dosaku akan diampuni oleh Allah, dan aku berharap dengan rahmat-Nya, agar bisa dikumpulkan dengan mereka di surga-Nya."
            Setelah hidup menyendiri, Khansa tetap mengabdikan dirinya membakar semangat kaum muslimin dengan syair-syairnya. Umar sangat menghargai dan selalu memberi santunan kepada Khansa, sebagaimana dahulu Rasulullah SAW melakukannya. Tidak lama setelah Utsman bin Affan menggantikan Umar, Khansa wafat di sebuah perkampungan Badui, yakni pada tahun 24 H.