Rabu, 07 Mei 2014

Seorang Yahudi yang Merindukan Rasulullah SAW

Hari Sabat, atau hari sabtu saat ini, adalah hari besar dimana para pengikuti ajaran Nabi Musa AS (yang kini dikenal sebagai kaum Yahudi) dilarang melakukan aktivitas apapun kecuali untuk beribadah, berdzikir atau mempelajari kitab Taurat.
Suatu ketika, seorang lelaki Yahudi yang tinggal di Syam mengisi hari sabatnya untuk mempelajari kitab Taurat. Ia menemukan dalam Taurat tersebut ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat dan keadaan Nabi Muhammad SAW, Nabi yang diramalkan akan turun sebagai penutup para Nabi-nabi, sebanyak empat halaman. Ia segera memotong empat halaman Taurat tersebut dan membakarnya.
Saat itu memang Nabi SAW telah diutus dan telah tinggal di Madinah. Sementara itu, beberapa orang pemuka dan pendeta Yahudi telah melakukan "indoktrinasi" kepada jamaahnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang  pendusta. Jika ditemukan sifat dan cerita tentang dirinya dalam Taurat, mereka harus memotong dan membakarnya karena itu merupakan ayat-ayat tambahan dalam Taurat yang tidak benar. Lelaki Yahudi dari Syam tersebut adalah satu anggota jamaah sekte ini.
Pada hari sabtu berikutnya, ia juga mengisi harinya dengan melakukan kajian terhadap Taurat, dan ia menemukan delapan halaman yang menyebutkan tentang keadaan dan sifat-sifat Nabi SAW. Seperti kejadian sebelumnya, ia memotong delapan halaman tersebut dan membakarnya.
Pada hari sabtu berikutnya lagi, ia masih melakukan kajian terhadap Taurat, dan kali ini ia menemukan hal yang sama, bahkan ditambah dengan cerita tentang beberapa  orang sahabat di sekitar beliau, dan ia menemukannya dalam 12 halaman. Kali ini ia tidak langsung memotongnya, tetapi ia berfikir dan berkata dalam hatinya, "Jika aku selalu memotong bagian seperti ini, bisa-bisa Taurat ini seluruhnya akan menyebutkan tentang sifat sifat dan keadaan Muhammad..!!"
Tentu kita tidak tahu pasti, apakah memang kandungan Taurat seperti itu? Atau memang Allah SWT telah menggiring lelaki Yahudi  kepada hidayah-Nya, sehingga setiap kali dipotong, akan muncul secara ajaib (mu'jizat) pada halaman lainnya, lebih banyak dan lebih lengkap tentang keadaan Nabi Muhammad SAW.
Tetapi, tiga kali pengalaman kajiannya tersebut telah memunculkan rasa penasaran dan keingintahuannya yang besar kepada Nabi SAW. Bahkan dengan tiga kali kajiannya tersebut, seakan-akan sifat-sifat dan keadaan beliau telah lekat di kepalanya, dan seperti mengenal beliau sangat akrab. Ia datang kepada kawan-kawan Yahudinya dan berkata,
"Siapakah Muhammad ini?"
"Ia seorang pembohong besar (yang tinggal di Madinah)," Kata salah seorang temannya, "Lebih baik engkau tidak melihatnya, dan dia tidak perlu melihat engkau!!"
Tetapi lelaki Yahudi yang telah "melihat" dengan "ilmul yakin" tentang keadaan Nabi SAW ini, tampaknya tidak mudah begitu saja dipengaruhi teman-temannya. Seakan ada kerinduan menggumpal kepada sosok Muhammad yang belum pernah dikenal dan ditemuinya itu. Kerinduan yang memunculkan kegelisahan, yang tidak akan bisa  hilang kecuali bertemu langsung dengan sosok imajinasi dalam pikirannya tersebut. Ia berkata dengan tegas, "Demi kebenaran Taurat (yang diturunkan kepada) Musa, janganlah kalian menghalangi aku untuk mengunjungi Muhammad…!!"
Dengan tekad yang begitu kuatnya, mereka-pun tak mampu lagi menghalangi langkahnya untuk bertemu dengan Nabi SAW di Madinah. Lelaki Yahudi ini mempersiapkan kendaraan dan perbekalannya dan langsung memacunya mengarungi padang pasir tanpa menunda-nundanya lagi. Beberapa hari berjalan, siang dan malam terus saja berjalan, hingga akhirnya ia memasuki kota Madinah.
Orang pertama yang bertemu dengannya adalah Sahabat Salman al Farisi. Karena Salman berwajah tampan, dan mirip gambaran yang diperolehnya dalam Taurat, ia berkata, "Apakah engkau Muhammad?"
Salman tidak segera menjawab, bahkan segera saja ia menangis mendapat pertanyaan tersebut, sehingga  membuat lelaki Yahudi ini terheran-heran. Kemudian Salman berkata, "Saya adalah pesuruhnya!"
Memang, hari itu telah tiga hari Nabi SAW wafat dan jenazah beliau baru dimakamkan kemarinnya, sehingga pertanyaan seperti itu mengingatkannya kepada beliau dan membuat Salman menangis. Kemudian lelaki Yahudi itu berkata, "Dimanakah Muhammad?"
Salman berfikir cepat, kalau ia berkata jujur bahwa Nabi SAW telah wafat, mungkin lelaki ini akan pulang, tetapi kalau ia berkata masih hidup, maka ia berbohong. Maka Salman-pun berkata, "Marilah aku antar engkau kepada sahabat-sahabat beliau!"
Salman membawa lelaki Yahudi tersebut ke Masjid, di sana para sahabat tengah berkumpul dalam keadaan sedih. Ketika tiba di pintu masjid, lelaki Yahudi ini berseru agak keras, "Assalamu'alaika, ya Muhammad!"
Ia mengira Nabi SAW ada di antara kumpulan para sahabat tersebut, tetapi sekali lagi ia melihat reaksi yang mengherankan. Beberapa orang pecah tangisnya, beberapa lainnya makin sesenggukan dan kesedihan makin meliputi wajah-wajah mereka. Salah seorang sahabat berkata, "Wahai orang asing, siapakah engkau ini? Sungguh engkau telah memperbaharui luka hati kami! Apakah kamu belum tahu bahwa beliau telah wafat tiga hari yang lalu?"
Seketika lelaki Yahudi tersebut berteriak penuh kesedihan, "Betapa sedih hariku, betapa sia-sia perjalananku! Aduhai, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan aku, andai saja aku tidak pernah membaca Taurat dan mengkajinya, andai saja dalam membaca dan mengkaji Taurat aku tidak pernah menemukan ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, andai saja aku bertemu dengannya setelah aku menemukan ayat-ayat Taurat tersebut….(tentu tidak akan sesedih ini keadaanku)!"
Lelaki Yahudi tersebut menangis tersedu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Seakan seperti teringat sesuatu, tiba-tiba ia berkata, "Apakah Ali berada di sini, sehingga ia bisa menyebutkan sifat-sifatnya kepadaku!"
"Ada," Kata Ali bin Abi Thalib sambil mendekat kepada lelaki Yahudi tersebut.
"Aku menemukan namamu tercantum dalam kitab Taurat bersama Muhammad, tolong engkau ceritakan padaku ciri- ciri beliau!"
Ali bin Abi Thalib berkata, "Rasulullah SAW itu tidak tinggi dan tidak pendek, kepalanya bulat, dahinya lebar, kedua matanya tajam, kedua alisnya tebal. Bila beliau tertawa, keluar cahaya dari sela-sela giginya, dadanya berbulu, telapak tangannya berisi, telapak kakinya cekung, lebar langkahnya, dan di antara dua belikat beliau ada tanda khatamun nubuwwah!!"
"Engkau benar, wahai Ali," Kata lelaki Yahudi tersebut, "Seperti itulah ciri-ciri Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Kitab Taurat. Apakah masih ada sisa baju beliau sehingga aku bisa menciumnya?"
"Ada!" Kata Ali, kemudian ia meminta tolong kepada Salman untuk mengambil jubah beliau yang disimpan Fathimah az Zahrah, istrinya dan putri kesayangan Nabi SAW.
Salman segera bangkit menuju tempat kediaman Fathimah. Di depan pintu rumahnya, ia mendengar tangisan Hasan dan Husain, cucu kecintaan Rasulullah SAW. Sambil mengetuk pintu, Salman berkata, "Wahai tempat kebanggaan para nabi, wahai tempat hiasan para wali!!"
 "Siapakah yang mengetuk pintu orang yatim!" Fathimah menyahut dari dalam.
"Saya, Salman…" Kata Salman, kemudian ia menyebutkan maksud kedatangannya sesuai yang dipesankan oleh Ali.
"Siapakah yang akan memakai jubah ayahku?" Kata Fathimah sambil menangis.
Salman menceritakan peristiwa berkaitan dengan lelaki Yahudi tersebut, lalu Fathimah mengeluarkan jubah Rasulullah SAW, yang terdapat tujuh tambalan dengan tali serat kurma, dan menyerahkannya kepada Salman. Ia membawa jubah tersebut ke masjid dan menyerahkannya kepada Ali. Ali menerima jubah tersebut dan menciumnya, sembab matanya karena haru dan tangis. Jubah Rasulullah SAW tersebut beredar dari satu sahabat ke sahabat lainnya yang hadir, mereka menciumnya dan banyak yang menangis karena haru dan rindu kepada Nabi SAW, dan terakhir jatuh ke tangan lelaki Yahudi tersebut.
Lelaki Yahudi ini mencium dan mendekap erat jubah Nabi SAW dan berkata, "Betapa harumnya jubah ini…!!"
Dengan tetap mendekap jubah tersebut, lelaki Yahudi ini mendekat ke makam Rasulullah SAW, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata, "Wahai Tuhanku, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Dzat yang Esa, Tunggal dan tempat bergantung (Ash  Shomad). Dan saya bersaksi bahwa orang yang berada di kubur ini adalah Rasul-Mu dan kekasih-Mu. Saya membenarkan segala apa yang ia ajarkan! Wahai Allah, jika Engkau menerima keislamanku, maka cabutlah nyawaku sekarang juga..!!"
Tak lama kemudian lelaki Yahudi tersebut terkulai jatuh dan meninggal dunia. Ali dan para sahabat lainnya segera memandikan dan mengurus jenazah lelaki Yahudi, yang telah menjadi muslim tersebut, dan memakamkannya di Baqi'.
Lelaki Yahudi ini bukanlah termasuk sahabat Nabi SAW, tetapi kecintaan dan kerinduannya kepada Nabi  SAW tak kalah dengan para sahabat lainnya, walau ia belum pernah bertemu langsung dengan beliau. Pantaslah kalau ia dimakamkan di Baqi' disandingkan dengan para sahabat beliau lainnya.

Khaulah binti Tsa'labah RA

Khaulah binti Tsa'labah adalah istri dari Aus bin Shamit, saudara dari Sahabat Ubadah bin Shamit. Suatu ketika dalam suatu perselisihan pendapat, Aus "menzhihar" Khaulah, yakni ia berkata kepada istrinya, "Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku..!"
Itu adalah ungkapan masyarakat Arab jahiliah yang mengharamkan dirinya untuk mempergauli istrinya, yang artinya menjatuhkan thalaq/cerai. Karena peristiwa tersebut, Khaulah mengadukan sikap suaminya kepada Nabi SAW, ia berkata kepada beliau, "Ya Rasulullah, masa mudaku telah berlalu, perutku telah keriput, aku telah tua bangka dan tidak akan bisa melahirkan anak, tetapi suamiku telah menzhiharku…!!"
Rasulullah SAW tidak bisa berkomentar banyak, kecuali menyatakan bahwa Khaulah telah haram bagi Aus, suaminya tersebut, sesuai dengan kebiasaan masa jahiliah. Memang belum ada aturan khusus tentang zhihar ini dalam Al Qur'an. Tampaknya Khaulah tidak cukup puas dengan penjelasan Rasulullah SAW, tetapi ia juga sadar bahwa tidak mungkin "memaksa" beliau memberi keputusan kalau tidak ada wahyu yang turun. Karena itu dengan gencar ia berdoa, "Ya Allah, aku mengadukan persoalanku kepada-Mu!!"
Ia terus menerus memanjatkan doanya tersebut, sampai akhirnya Rasulullah SAW memanggilnya dan menyatakan telah turun wahyu tentang persoalannya tersebut, yakni Surat al Mujadalah ayat 1 - 6. Intinya adalah zhihar itu perbuatan yang munkar dan dusta yang sangat terlarang, tetapi tidak berarti jatuhnya thalaq atau cerai seperti kebiasaan jahiliah. Hanya saja seorang suami yang terlanjur "menzhihar" istrinya tetap terlarang mempergaulinya sampai ia membayar kafarat, yakni memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin.
Ketika Nabi SAW memerintahkan Khaulah memberitahukan suaminya, Aus bin Shamit, membayar atau melaksanakan kafarat tersebut, ia berkata, "Wahai Rasulullah, ia tidak mempunyai budak untuk dibebaskan, ia juga tidak akan mampu berpuasa seperti itu karena telah tua, ia-pun tidak memiliki harta untuk memberi makan 60 orang miskin…!"
Nabi SAW tersenyum mendengar penjelasan Khaulah, dan bersabda, "Aku akan membantu separuh dari keseluruhan kurma yang harus disedekahkan suamimu..!!"
"Saya juga akan membantu separuhnya lagi, ya Rasulullah..!!" Kata Khaulah pula.
Sekali lagi Nabi SAW tersenyum. Sungguh tipikal seorang istri yang shalihah, walau ia telah "disisihkan" dan disakiti, tetap saja ia membantu kesulitan suaminya demi menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Beliau bersabda lagi, "Baiklah, sedekahkanlah itu atas nama suamimu, kemudian nasehatilah anak pamanmu (suamimu) itu, dengan nasehat yang baik (dengan menyampaikan wahyu yang turun ini)…!!"
Dalam suatu kesempatan di masa khalifah Umar, Khaulah pernah menghentikan Amirul Mukminin yang terkenal adil itu di jalan, dan berkata, "Wahai Umar, dulu akulah orang yang menjagamu di Pasar Ukazh selagi engkau sebagai Umair (Umar kecil) yang menggembala onta dengan tongkatmu. Sekarang engkau telah menjadi Umar yang bergelar Amirul Mukminin, karena itu hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dalam menangani urusan rakyat…."
Khaulah juga menambahkan berbagai macam nasehat kepada Umar sang Khalifah, yang hanya berdiri menunduk mendengarkan dengan cermat semua nasehat itu. Sampai akhirnya seorang lelaki bernama al Jarud yang menyertai Umar berkata memotong ucapannya, "Wahai perempuan, sungguh engkau telah terlalu banyak bicara kepada Amirul Mukminin…!!"
Tetapi Umar justru menyalahkan Al Jarud, katanya, "Biarkanlah dia, tahukah engkau siapa dia? Dia adalah Khaulah, yang pengaduannya didengar Allah dari atas langit yang ke tujuh, karena itu amat patut jika Umar mendengarkan nasehatnya…!!"

Abul Ash bin Rabi' RA

Abul Ash bin Rabi, adalah menantu Nabi SAW, suami dari putri beliau, Zainab. Mereka menikah sebelum beliau diutus untuk menyampaikan risalah Islam, tetapi ia tetap dalam kekafirannya ketika beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul, walaupun istrinya telah memeluk Islam. Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, Zainab tidak bisa ikut serta karena ia dalam penguasaan keluarga dan kerabat suaminya.
Dalam perang Badar, Abul Ash berada di barisan kaum musyrikin Makkah yang menentang Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya, tetapi kemudian ia tertawan dalam peperangan tersebut. Nabi SAW bersedia membebaskan menantunya tersebut, asalkan ia bersedia melepaskan Zainab untuk berhijrah ke Madinah. Abul Ash menyetujui kesepakatan ini. Tetapi secara bersamaan, Zainab telah mengirimkan utusan untuk menebus suaminya tersebut dari tawanan kaum muslim, dengan membawa kalung pemberian ibunya, Khadijah. Ketika Nabi SAW menerima kalung yang dulunya milik istri tercinta ini, mata beliau berkaca-kaca penuh haru, teringat akan masa-masa indah bersama istri yang tidak bisa dilupakannya walau beliau telah memiliki beberapa istri lagi, yang lebih muda dan lebih cantik. Akhirnya kalung itu diserahkan kembali kepada Zainab setelah ia tiba di Madinah.
Beberapa tahun berlalu, ketika Abul Ash sedang pulang dari misi dagangnya di Syam, ia bertemu dengan pasukan muslim dan merampas barang dagangannya, tetapi ia sendiri berhasil meloloskan diri. Malam harinya ia datang ke Madinah menemui istrinya, Zainab dan meminta perlindungan. Esok harinya, usai shalat subuh, Zainab berkata kepada kalangan/jamaah kaum muslimin, "Wahai para jamaah, aku, Zainab binti Muhammad, memberikan jaminan keamanan kepada Abul Ash bin  Rabi'…!"
Mendengar penuturan putrinya tersebut, Rasulullah SAW berkata kepada para jamaah, "Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?"
"Benar, ya Rasulullah!!" Kata mereka.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, aku tidak tahu sedikitpun akan hal itu (perlindungan yang diberikan oleh putri beliau kepada Abul Ash) sampai aku mendengar akan apa yang kalian dengar. Sesungguhnya orang yang paling rendah derajadnya sekalipun (dari kaum muslim) dapat memberikan perlindungan…"
Pagi harinya Nabi SAW menemui Zainab dan bersabda, "Muliakanlah dia, tetapi jangan berikan kesempatan ia menyentuhmu karena engkau tidak halal baginya!!"
Setelah itu Nabi SAW mengembalikan barang dagangan Abul Ash dari Syam, yang tadinya telah dirampas oleh pasukan muslimin, Abul Ash segera kembali ke Makkah dengan membawa harta benda dan perdagangannya, utuh, tanpa berkurang sedikitpun. Sesampainya di sana, ia menyampaikan semua amanat yang dititipkan kepadanya, baik dari perdagangan yang baru dibawanya, atau dari harta lainnya, setelah itu berkata, "Wahai kaum Quraisy, masih adakah seseorang di antara kalian yang hartanya atau titipannya masih ada padaku atau belum diambil?"
Mereka menjawab, "Tidak ada, wahai Abul Ash, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, kami telah mendapati engkau sebagai orang yang amanah (menepati janji) dan dermawan!!"
Mendengar penuturan mereka ini, Abul Ash berkata, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi  Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk memeluk Islam ketika aku ada di sisinya (di Madinah) kecuali aku khawatir kalian mengira aku akan memakan harta kalian. Karena itu, ketika Allah telah membayarkannya kepada kalian, aku telah bebas dan aku memeluk Islam…!!"
Setelah itu Abul Ash kembali memacu tunggangannya ke Madinah, menghadap Nabi SAW dan menyatakan  keislamannya. Beliau amat gembira menyambut menantunya tersebut, dan mengembalikan Zainab kepadanya, karena mereka memang belum diceraikan (dijatuhkan thalaq) sebelumnya.

Utsman bin Abul Ash RA

Utsman bin Abul Ash pernah mengalami sakit yang sangat parah, sehingga ia beranggapan bahwa ia akan  segera meninggal, begitu juga pendapat kerabat dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Beberapa sahabat melaporkan keadaannya ini kepada Nabi SAW, dan beliau datang menjenguknya.
Setelah melihat keadaannya, beliau bersabda kepada Utsman, "Usaplah bagian yang sakit dari tubuhmu dengan tangan kananmu sebanyak tujuh kali, dan ucapkanlah doa : A'uudzu bi 'izzatillahi wa qudratihi min syarri maa ajidu wa ukhadiru..!"
Maksud dari doa yang diajarkan Nabi SAW adalah : Saya berlindung dengan Kemuliaan Allah dan kekuasaan Nya, dari sejelek-jeleknya apa yang saya rasakan dan saya khawatirkan. Utsman menjalankan pengajaran (ijazah) doa Nabi SAW tersebut secara istiqomah, kemudian penyakitnya berangsur berkurang, sampai akhirnya Allah SWT memberikan kesembuhan kepadanya.

Sa'd as Sulami RA

Sa'd as Sulami RA adalah seorang sahabat Nabi SAW dari bani Sulam. Sebenarnya ia termasuk kalangan yang terkemuka dari kaumnya, tetapi kulitnya yang hitam dan wajahnya yang jelek membuat dirinya agak tersisih dari kalangan kaumnya. Suatu ketika ia datang ke majelis Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah kehitaman kulitku dan jeleknya wajahku menghalangiku untuk masuk surga?"
"Tidak, Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya," Kata Nabi SAW, "Asalkan engkau benar-benar yakin kepada Tuhanmu dan beriman kepada apa yang disampaikan Rasul-Nya!!"
Sa’d berkata, "Demi Dzat yang telah memuliakan engkau dengan kenabian, Ya Rasulullah, sungguh saya telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya…"
Beberapa saat berhenti, kemudian Sa'd berkata lagi, "Wahai Rasulullah, sejak delapan bulan sebelum saya duduk di sini saat ini, saya telah meminang orang yang berada di sekitar engkau dan yang jauh dari sini, tetapi mereka semua menolak karena hitamnya kulitku dan jeleknya wajahku. Sesungguhnyalah saya dari keluarga terpandang dari Bani Sulam, tetapi kehitaman kulit bibi-bibiku yang sangat mempengaruhi saya!!"
Nabi SAW sangat memahami kegelisahan sahabatnya ini. Beliau memandang berkeliling seolah mencari  seseorang, kemudian bersabda, "Apakah Amr bin Wahb ada di sini saat ini?"
Amr bin Wahb adalah seorang sahabat dari Bani Tsaqif di Thaif yang belum lama memeluk Islam dan baru pindah ke Madinah. Ia mempunyai seorang putri yang cantik dan cerdas bernama Atiqah binti Amr. Beberapa sahabat menjawab kalau Amr tidak hadir dalam majelis beliau saat itu. Beliau memandang kepada Sa'd dan bersabda, "Apakah kamu tahu rumahnya?"
"Tahu, ya Rasulullah!!" Kata Sa'd.
"Pergilah ke rumahnya!" Kata Nabi SAW, "Ketuklah pintu rumahnya pelan-pelan dan ucapkanlah salam. Apabila engkau telah masuk, katakanlah : Rasulullah SAW telah menikahkan saya dengan putrimu..!!"
Sa'd bergegas memenuhi perintah Nabi SAW berangkat ke rumah Amr bin Wahb. Ketika berdiri di depan pintu rumahnya, mengetok pintu, mengucap salam dan meminta ijin masuk dengan bahasa Arab yang sopan, ia mendengar kegembiraan di dalam rumah Amr. Tetapi begitu pintu terbuka dan melihat wujud penampilannya, segera saja kegembiraan itu lenyap dari wajah-wajah penghuni rumah Amr. Melihat gelagat seperti itu, tanpa menunggu dipersilahkan masuk, Sa'd berkata, "Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menikahkan aku dengan putrimu!!"
Makin tampak kekagetan dan ketidak-senangan Amr bin Wahb dengan kehadiran Sa'd. Amr berkata kasar dan menolaknya, kemudian menyuruhnya segera pergi. Tampaknya Sa'd cukup tegar menerima penolakan kasar ini. Pengalamannya selama delapan bulan membuatnya cukup terbiasa dengan penolakan.
Ia segera berlalu dari rumah Amr dan kembali ke majelis Rasulullah SAW. Belum jauh ia berlalu dari rumah Amr, terdengar langkah mendekat dan suara memanggilnya. Ia berhenti dan berbalik, tampak seorang gadis yang sangat cantik berdiri agak jauh di hadapannya. Sang gadis yang tak lain adalah Atiqah binti Amr, berkata, "Wahai hamba Allah, kembalilah! Jika memang Rasulullah SAW menjodohkan engkau dengan aku, aku rela dengan apa yang ditetapkan dan direlakan Rasulullah!!"
Sa'd sejenak bimbang, walau ia memang ingin menikah, ia tidak pernah bermimpi untuk mendapatkan istri secantik gadis yang kini berdiri di hadapannya, ia cukup tahu keadaan dirinya. Dan tampaknya ia bisa memahami "penolakan" dari Amr, memang tidak pantas ia bersanding dengan putrinya tersebut. Tetapi segera saja ditepisnya kebimbangannya tersebut. Bagaimanapun seorang gadis tidak bisa "memutuskan" sendiri pernikahannya selama masih ada walinya, apalagi wali tersebut ayahnya. Sa'd segera berpaling dari gadis tersebut tanpa berkata apa-apa dan berjalan kembali ke majelis Nabi SAW.
Setibanya di masjid, Sa'd melaporkan apa yang terjadi, kemudian bergabung dengan sahabat lainnya mendengarkan pengajaran Nabi SAW. Tetapi tak lama kemudian, datanglah Amr bin Wahb dengan tergopoh-gopoh menghadap Nabi  SAW. Sebelum ia berucap apa-apa, Nabi SAW mendahuluinya bersabda, "Kamukah orangnya yang menolak apa yang dikehendaki oleh Rasulullah!!"
Amr meminta maaf dengan penuh penyesalan, ia berkata, "Benar, ya Rasulullah, tetapi saya memohon ampunan kepada Allah. Saya kira ia berbohong dengan perkataanya. Kalau memang ia benar, kami bersedia menikahkannya dengan putri kami, karena kami berlindung dari kemurkaan Allah dan kemurkaan Rasul-Nya…!!"
Nabi SAW amat gembira dengan sikap Amr ini, beliau memanggil Sa'd untuk mendekat dan saat itu juga Amr menikahkan dengan putrinya, Atiqah, dengan maskawin 400 dirham.
Sa'd sangat gembira dengan pernikahannya ini.  Nabi SAW bersabda kepadanya, "Pergilah kamu, dan pergauilah istrimu itu…!!"
Sa'd berkata, "Wahai Rasulullah, Demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan benar sebagai Nabi, saya tidak mempunyai apa-apa (untuk membayar maskawin dan bingkisan untuk istrinya) sebelum saya meminta kepada teman-teman saya…!!"
Nabi SAW memerintahkannya untuk meminta kepada tiga orang mukmin, yakni Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan Ali bin Abi Thalib. Masing-masing 200 dirham, maka mereka pasti akan memberinya, bahkan melebihkan pemberiannya. Sa'd melaksanakan perintah Nabi SAW tersebut, dan ia memang memperoleh uang yang cukup bahkan sangat berlebih untuk memberi belanja istrinya dan membayar maharnya.
Keesokan harinya ia pergi ke pasar untuk membeli barang-barang keperluan dan bingkisan untuk istrinya. Tetapi belum sempat ia membeli sesuatu, ia mendengar seruan untuk berjihad, "Wahai kuda-kuda Allah, naiklah !!"
Wajah Sa'd jadi berbinar-benar mendengar seruan tersebut. Hilang sudah rencananya untuk membeli kebutuhan rumah tangga barunya, hilang sudah bayang-bayang keindahan malam pertama dengan istrinya yang jelita, Atiqah binti Amr, hilang sudah semua angan-angan tentang gemerlap dunia barunya sebagai seorang suami. Ia memandang ke langit dan berkata, "Wahai Allah, Tuhannya langit dan bumi, Tuhannya Muhammad SAW, sungguh hari ini saya akan memakai uang yang ada padaku untuk sesuatu yang dicintai Allah, dicintai Rasul-Nya, dan dicintai oleh orang-orang yang beriman!!"
Sa'd membelanjakan uangnya untuk membeli kuda, pedang, tombak, perisai dan segala macam keperluan untuk berjihad di jalan Allah, termasuk perbekalannya. Ia mengikatkan surban di seluruh tubuhnya dan memakai baju besi yang menutup seluruh tubuhnya kecuali dua matanya, sehingga ia tidak mudah dikenali identitasnya.
Ketika tiba di antara sahabat muhajirin, mereka berkata, "Siapakah penunggang kuda yang belum kita kenali ini?"
Sa'd sama sekali tidak menjawab pertanyaan tersebut, Ali bin Abi Thalib berkata, "Biarkanlah dia, barangkali ia datang dari daerah Bahrain atau Syam, dimana ia akan bertanya tentang agamamu, saat ini ia ingin mengorbankan dirinya untuk keselamatanmu…!!"
Sa'd melesatkan kudanya menuju garis depan dan bertempur dengan perkasanya. Tombak dan pedangnya tak pernah berhenti menyabet dan penyerang musuh-musuhnya. Ketika kudanya tampak kelelahan, ia turun untuk berperang dengan berjalan kaki, dan itu tidak mengurangi semangatnya memperoleh syahidnya. Saat itu ia sedang berada di dekat Nabi SAW, dan lengannya tersingkap sehingga tampak kehitaman kulitnya, beliau langsung bersabda, "Apakah engkau Sa'd?"
"Benar, ya Rasulullah..!!"
Nabi SAW menatapnya dengan kagum, begitu juga beberapa sahabat lainnya yang akhirnya mengenali sang mujahid yang begitu bersemangat menggempur musuh ini. Rasanya belum lama mereka melihat Sa'd dalam kegelisahan di majelis Nabi SAW, tetapi yang tampak sekarang adalah sebaliknya, jiwa yang sangat hidup dan semangat menyala-nyala. Nabi SAW bersabda kepadanya, "Engkau sangat beruntung, Sa'd!!"
Sa'd makin bersemangat mendengar pujian Nabi SAW tersebut, makin gencar saja ia menyerang musuh. Beberapa waktu berlalu, tiba-tiba terdengar seruan, "Sa'd telah tewas, Sa'd telah tewas…!!"
Nabi SAW langsung mendatangi tempat Sa'd menemui syahidnya. Beliau mengangkat kepala Sa'd, topi bajanya ditanggalkan dan beliau meletakkan di pangkuan beliau. Sambil membersihkan tanah yang ada di wajah Sa'd dengan ujung pakaian beliau, Nabi SAW bersabda, "Betapa harum baumu, betapa dicintainya engkau oleh Allah dan Rasul-Nya!!"
Tampak beliau menangis, kemudian tertawa dan memalingkan wajah, lalu bersabda, "Ia telah sampai di telaga, demi Tuhannya Ka'bah!!"
Sahabat Abu Lubabah yang penasaran dengan sikap beliau berkata, "Wahai Rasulullah, apakah maksudnya telaga?"
Nabi SAW bersabda, "Telaga yang diberikan Allah (kepada Sa'd), yang luasnya antara Shan'a dan Bashrah, tempatnya dihiasi oleh mutiara dan permata, airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu, siapa yang minum sekali saja, ia tidak akan merasakan haus selama-lamanya..!!"
Abu Lubabah berkata lagi, "Wahai Rasulullah, aku melihat engkau menangis, lalu tertawa, kemudian memalingkan muka engkau!!"
Nabi SAW-pun menjelaskan, "Aku menangis karena rindu kepada Sa'd, aku tertawa karena melihat keadaan Sa'd di sisi Allah dan kemuliaanya di hadapan-Nya. Sedangkan aku memalingkan muka karena aku melihat bidadari-bidadari yang menjadi istrinya saling berebut mendekatinya sehingga terlihat betis-betis mereka, aku merasa malu melihat pemandangan tersebut!"
Kemudian Nabi SAW memerintahkan seorang sahabat mengumpulkan barang-barang milik Sa'd, kuda, pedang, tombak, perisai dan sisa perbekalannya, lalu memerintahkan sang sahabat untuk mengirimkannya ke rumah Amr bin Wahb, untuk diserahkan kepada istrinya, Atiqah binti Amr. Beliau juga menyampaikan pesan untuk Amr bin Wahb, "Allah telah mengawinkan Sa'd as Sulami dengan wanita-wanita yang lebih baik daripada putrimu!!"
Sahabat tersebut segera berangkat menjalankan perintah Nabi SAW tersebut.