Rabu, 01 Oktober 2014

Barirah RA

            Barirah adalah budak milik Utbah (atau Uqbah) bin Abu Lahab, salah satu putra Abu Lahab yang akhirnya memeluk Islam setelah Fathul Makkah (Sebagian riwayat menyebutkan Utaibah bin Abu Lahab yang memeluk Islam, sedang Utbah meninggal diserang singa di Syam, karena didoakan oleh Nabi SAW akibat penghinaannya kepada beliau yang sangat keterlaluan). Barirah berkulit hitam karena berasal dari Habsyi seperti halnya Bilal bin Rabah dan telah memeluk Islam, hanya saja ia tetap diperlakukan dengan baik oleh tuannya. Ia tetap tinggal di Makkah ketika Nabi SAW dan para kaum muslimin hijrah ke Madinah.    
Ketika menjadi budak tersebut, ia dinikahkan tuannya dengan budak lainnya yang bernama Mughits yang juga beragama Islam. Walaupun sebenarnya tidak menyukainya terpaksa ia menerima pernikahan ini, sebagai budak ia memang hanya bisa menerima keputusan tuannya. Akibatnya Barirah menjalani kehidupan rumah tangganya dengan  jiwa tertekan. Sebaliknya, Mughits sangat gembira karena ia memang sangat menyukai Barirah.
Keadaan kejiwaan Barirah ini akhirnya diketahui oleh Ummul Mukminin, Aisyah RA yang tinggal di Madinah. Aisyah mengirim utusan untuk membeli Barirah dan kemudian memerdekakannya. Tetapi Barirah memutuskan untuk tinggal dan menjadi pembantu Aisyah, walau sebenarnya ia telah merdeka, karena itu ia pergi ke Madinah. Atas ijin tuannya, Mughits menyertai kepergian istrinya itu ke Madinah, walau sebenarnya Barirah tidak menginginkannya.
Sesampainya di Madinah, Barirah menghadap Nabi SAW dan menyampaikan permasalahannya. Nabi SAW memberikan pilihan bebas kepada Barirah karena telah menjadi orang merdeka, ia bisa meneruskan pernikahannya dengan Mughits atau meninggalkannya (bercerai). Barirah mengambil pilihan kedua, yakni cerai sesuai dengan keadaan kejiwaannya, dan Nabi SAW memerintahkannya beriddah.
Sebaliknya bagi Mughits, keputusan Barirah tersebut ternyata membuatnya tenggelam dalam kesedihan, walau memang ia tidak mungkin menolak keputusan yang ditetapkan oleh Nabi SAW. Namun demikian ia tidak putus asa untuk meluluhkan hati Barirah. Dalam masa iddah tersebut ia menghiba dan memohon kepada Barirah agar tetap menjadi istrinya. Air matanya selalu mengalir hingga membasahi jenggotnya sehingga menimbulkan iba dan kasihan pada orang-orang di sekelilingnya.
Nabi SAW pernah berkata kepada pamannya, Abbas, "Wahai Abbas, tidakkah engkau heran dengan kecintaan Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits??"  
Suatu ketika Nabi SAW bertemu Barirah dan bersabda kepadanya, "Wahai Barirah, seandainya kamu kembali kepada Mughits…!!"
"Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan hal itu kepada saya?" Tanya Barirah.
Kalau saja itu memang perintah Rasulullah SAW, yang artinya adalah perintah Allah, tentu Barirah dengan senang hati akan memenuhinya walau mungkin bertentangan dengan suara hatinya. Tetapi Nabi SAW bersabda, "Tidak, aku hanya memberikan pertolongan/usulan semata!"
"Maaf, ya Rasulullah!!" Kata Barirah, "Saya sudah tidak menghajatkan (menginginkan) masalah pernikahan  ini lagi…!!"
Setelah itu Barirah membaktikan waktunya untuk melayani dan membantu Aisyah, walau ia bukan budaknya. Ketika Aisyah dilanda fitnah yang dikenal dengan dengan istilah Haditsul Ifki (berita bohong), ia bersaksi dengan tegas bahwa Aisyah dalam kebenaran dan tidak mungkin melakukan perbuatan keji yang dituduhkan dan disebarkan oleh kaum munafik.
Barirah pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan, yang di kemudian hari menjadi salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Saat pertemuan itu ia berkata, "Wahai Abdul Malik, aku melihat anda sebagai orang yang berkepribadian, dan anda layak memegang urusan kaum muslimin ini. Jika anda diangkat untuk memegang urusan kaum muslimin (yakni sebagai khalifah), janganlah anda menumpahkan darah, karena aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya seseorang ditolak/diusir dari pintu surga setelah ia melihat keindahan surga tersebut, hanya karena semangkuk darah seorang muslim yang ditumpahkannya dengan cara tidak benar…!!"
Apa yang dikatakan Barirah tersebut seakan sebuah "ramalan" dan nasehat, karena di kemudian hari Abdul Malik bin Marwan ternyata menjabat sebagai khalifah. Dan terlepas dari bertanggung jawab langsung atau tidak, cukup banyak darah  kaum muslimin yang tertumpah dengan cara tidak benar pada masa pemerintahannya, termasuk beberapa orang sahabat Nabi SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar