Rabu, 01 Oktober 2014

Harits bin Dharar al Khuzai RA

Perjanjian Hudaibiyah merupakan perjanjian gencatan senjata antara Nabi SAW, dalam hal ini mewakili kaum muslimin di Madinah dengan kaum musyrikin di Makkah. Salah satu klausul dalam perjanjian tersebut adalah sikap terbuka untuk menerima kabilah yang ingin bergabung dengan mereka, dan kabilah Bani Khuza’ah memilih bergabung/bersekutu dengan Nabi SAW, walau mereka tetap dalam agama jahiliahnya.
Suatu ketika Harits bin Dharar, salah seorang pemuka Bani Khuza’ah menemui Nabi SAW di Madinah untuk suatu keperluan sehubungan dengan persekutuan tersebut. Setelah urusannya selesai, Nabi SAW menyerunya untuk memeluk Islam. Tampaknya hidayah Allah membuka mata hatinya dan ia menerima seruan beliau. Setelah ia berba’iat memeluk Islam, sekali lagi Nabi SAW menyerunya untuk mengeluarkan zakat, karena dia dan kabilahnya memang termasuk kaya dan berkelebihan. Sekali lagi Dhirar berikrar untuk segera menyerahkan zakatnya kepada Nabi SAW.
Setelah mengucap janjinya tersebut, Dhirar berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk pulang ke kaumku, aku akan menyeru mereka untuk memeluk Islam dan menghimbaunya untuk menunaikan zakat. Siapa saja yang bersedia membayar zakatnya, akan aku kumpulkan, dan pada saat yang ditentukan, hendaklah engkau mengirim utusan untuk mengambil zakat yang aku kumpulkan tersebut…!!”
Nabi SAW menyetujui permintaan Harits tersebut dan ia segera kembali ke kaumnya, Bani Khuza’ah. Setelah beberapa waktu lamanya, Harits berhasil mengajak sebagian besar kaumnya untuk memeluk Islam, termasuk juga kesediaan mereka yang mampu dan berkelebihan untuk menunaikan zakat.
Pada waktu yang ditentukan, mereka menunggu utusan Nabi SAW yang ditugaskan untuk mengambil zakat tersebut, tetapi tidak muncul, begitupun ketika ditunggu keesokan harinya. Harits berfikir bahwa Nabi SAW mungkin marah atau meragukan keislamannya. Karena itu ia mengumpulkan orang-orang kaya di kabilahnya yang telah memeluk Islam dan berkata, “Sungguh Rasulullah telah menjanjikan mengirimkan utusan pada waktu yang telah ditentukan untuk mengambil zakat yang berhasil aku kumpulkan ini. Aku yakin Rasulullah tidak akan menyalahi janjinya. Menurut dugaanku, tidak ada yang menghalangi beliau mengirim utusan kecuali karena beliau marah kepadaku. Karena itu, marilah kita berangkat ke Madinah untuk menyerahkan zakat ini langsung kepada Rasulullah ..!!”
Mereka menyetujui usulan Harits, dan segera mempersiapkan perbekalan kemudian berangkat ke Madinah.
Sebenarnya Nabi SAW tidaklah lupa atau mengingkari janji, beliau telah mengirim Walid bin Uqbah untuk datang ke Bani Khuza’ah dan mengambil zakat yang dikumpulkan Harits bin Dharar. Hanya saja di tengah perjalanan, ia dihantui oleh ketakutan dan kekhawatiran kalau Harits dan Bani Khuza’ah akan menolak dan menyakitinya. Tampaknya ia belum punya keteguhan hati dan kesediaan berkorban dalam mengemban tugas Nabi SAW. Karena itu, sebelum tiba di Bani Khuza’ah, ia melangkah pulang ke Madinah. Sayangnya lagi, Walid bin Uqbah tidak punya cukup keberanian untuk jujur kepada Nabi SAW bahwa ia dihantui ketakutan. Ketika sampai di hadapan Nabi SAW, ia berkata, “Sesungguhnya Harits menolak membayar zakatnya, bahkan ia hampir membunuh saya!!”
Mendengar laporan Walid tersebut, Nabi SAW memerintahkan sekelompok sahabat untuk menemui Harist untuk menarik zakatnya, bahkan kalau perlu memeranginya kalau ia melawan. Mereka segera berangkat, tetapi belum sampai keluar kota Madinah, mereka bertemu rombongan Harits, yang ia bertanya, “Hendak kemanalah kalian diutus Rasulullah?”
“Kami diutus untuk menemuimu!!”
“Mengapa?” Tanya Harits.
“Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Walid bin Uqbah kepadamu untuk mengambil zakat kalian, dan katanya engkau menolak menyerahkannya, bahkan engkau akan membunuhnya.”
“Tidak, demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan perkara yang haq, aku tidak pernah melihatnya, dan belum pernah ia datang kepadaku..!!” Kata Harits dengan kaget dan tak percaya.
Harits dan rombongannya disertai para utusan tersebut segera menghadap Rasulullah SAW yang masih berada di masjid. Begitu melihat Harits, Nabi SAW langsung bersabda, “Kamu tidak mau membayar zakat, bahkan kamu bermaksud membunuh utusanku?”
“Tidak, ya Rasulullah,” Kata Harits, “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan perkara yang haq!!”
Tampak situasinya cukup kritis bagi Harits bin Dharar, karena Rasulullah “lebih percaya” kepada laporan yang dibuat oleh Walid bin Uqbah. Sesaat kemudian tampak Nabi SAW terdiam, tanda bahwa beliau sedang menerima wahyu. Setelah itu beliau mengabarkan kalau telah turun wahyu, yakni Surat al Hujurat ayat 6, yang membenarkan Harits.
Harist menjadi gembira, bahkan menjadi semacam kemuliaan dan kebanggan bagi dirinya, seakan-akan Allah sendiri yang turun untuk menyelamatkannya. Ia segera menyerahkan zakat yang telah dikumpulkan dan dibawanya kepada Nabi SAW, dan beliau menerimanya dengan tangan terbuka dan mendoakan keberkahan.
Beberapa waktu kemudian Nabi SAW mengirim Khalid bin Walid menuju Bani Khuza’ah, dan ia tidak mendapati mereka, kecuali selalu dalam kebaikan dan ketaatan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar