Minggu, 09 November 2014

Abu Rafi RA, Maula Rasulullah SAW

           Pada masa jahiliahnya, Abu Rafi adalah budak milik Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW. Ketika Islam mulai didakwahkan di Makkah, Abbas dan istrinya, Ummu Fadhl sebenarnya telah memeluk Islam, tetapi mereka menyembunyikan keislamannya. Abu Rafi ikut dengan kedua tuannya itu memeluk Islam, dan menyembunyikan keislamannya juga. Karena itu, ketika Nabi SAW menghimbau kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, mereka tetap tinggal di Makkah.
            Usai Perang Badar, ketika Ummu Fadhl dan Abu Rafi duduk-duduk di pinggiran Ka’bah, sedang Abbas mengikuti perang Badar dan tertawan oleh pasukan muslim, datanglah Abu Lahab yang memang tetap tinggal di Makkah karena sakit. Ia menyeret kakinya yang tampak lemah, kemudian duduk di pinggiran Ka’bah dan menyandarkan punggungnya di punggung Abu Rafi yang sedang bekerja membuat anak panah.
            Tidak berapa lama, datang beberapa orang pasukan Quraisy yang mengalami kekalahan di Perang Badar, salah satunya adalah Abu Sufyan bin Harits, dan Abu Lahab memanggilnya untuk menceritakan keadaan. Ibnu Harits duduk di sebelah Abu Lahab dan berkata, “Saat kami berhadapan dengan sekelompok orang, seolah-olah kami menyerahkan diri kepadanya. Mereka menyerang dan menawan kami sekehendak hatinya tanpa kami bisa melawannya. Tetapi, demi Allah, aku tidak bisa mencela siapapun. Kami harus berhadapan dengan orang-orang yang berpakaian putih yang menunggangi kuda-kuda yang perkasa, yang berseliweran antara langit dan bumi, dan kuda-kuda itu sama sekali tidak meninggalkan jejak apapun dan tidak menginjak apapun…”
            Mendengar cerita Abu Sufyan bin Harits tersebut Abu Rafi sangat gembira. Beberapa kali ia hadir di majelis pengajaran Nabi SAW di rumah Arqam bin Abil Arqam di bukit Shafa secara sembunyi-sembunyi, dan ia mengetahui siapa yang diceritakan oleh Ibnu Harits tersebut. Begitu gembiranya sampai ia tidak sadar kalau sebenarnya masih menyembunyikan keislamannya, dan berada di lingkungan kaum Quraisy yang baru kalah perang dengan kaum Muslim. Tiba-tiba saja ia berteriak gembira, “Demi Allah, itu adalah para malaikat yang membantu orang-orang muslim!!”
            Abu Lahab yang sedih mendengar cerita Abu Sufyan bin Harits itu, seketika mengangkat tangannya dan memukul wajah Abu Rafi. Ketika ia mencoba melawan, Abu Lahab membanting tubuhnya dan mendudukinya sambil memukulinya tanpa ampun. Seolah-olah ia ingin melampiaskan kekesalan hatinya kepada Nabi SAW kepada Abu Rafi.
            Melihat pemandangan seperti itu Ummu Fadhl menjadi marah. Walaupun Abu Rafi hanya budaknya, tetapi ia adalah saudaranya sesama Islam. Ia bangkit mengambil tiang pembatas Zamzam dan memukulkannya dengan keras ke kepala Abu Lahab, sambil berkata, “Engkau berani menyiksa orang ini selagi tuannya tidak ada!!”
            Kepala Abu Lahab luka menganga cukup parah, dan ia segera meninggalkan Abu Rafi. Akibat luka tersebut, hampir di seluruh tubuhnya muncul borok-borok bernanah, suatu penyakit yang orang-orang Arab sangat jijik melihatnya. Ketika tujuh hari kemudian Abu Lahab meninggal, mereka membiarkannya begitu saja mayatnya dan tidak menguburkannya. Mereka begitu jijik untuk mendekatinya. Tetapi karena takut terjadi akibat yang lebih buruk jika tidak dikuburkan, mereka menggali lubang tak jauh dari situ, kemudian mendorong tubuhnya dengan kayu hingga jatuh ke dalam lubang tersebut. Untuk menguruknya, mereka melemparkan batu-batu dari kejauhan hingga hampir penuh, baru menimbunnya dengan tanah.
            Di kemudian hari, Abu Rafi dihadiahkan Abbas kepada Rasulullah SAW, dan beliau memerdekakannya, karena itu ia dikenal dengan sebutan maula (budak yang dimerdekakan) Rasulullah SAW. Namun demikian Abu Rafi memilih tetap untuk berkhidmad kepada Nabi SAW, menjadi pembantu dan melayani kebutuhan beliau ketika diperlukan, sebagaimana beberapa sahabat lainnya.
            Pernah terjadi suatu pemasalahan dalam rumah tangga Rasulullah SAW sehingga beliau “meninggalkan” istri-istri beliau selama hampir satu bulan. Beliau tidak pulang kepada mereka, tetapi menyendiri di suatu tempat bersama Abu Rafi saja. Masalah tersebut dipicu oleh kecemburuan Hafshah binti Umar yang terlalu berlebihan. Umar mengunjungi beliau yang hanya ditemani Abu Rafi, dan meminta maaf atas sikap putrinya tersebut. Umar sempat menangis melihat keadaan mereka berdua yang sangat menyedihkan itu, tetapi beliau hanya tersenyum dan menghiburnya.
            Suatu ketika setelah shalat ashar, Abu Rafi diajak Rasulullah SAW mengunjungi Bani Asyhal dari suku Aus. Beliau berbincang-bincang dengan para sahabat Anshar di sana hingga mendekati Maghrib. Kemudian beliau kembali ke masjid, tetapi ketika melewati pemakaman Baqi, tiba-tiba Nabi SAW bersabda, “Celaka kamu, celaka kamu!!”
            Abu Rafi menjadi cemas dan langkahnya melambat hingga tertinggal agak jauh dari Nabi SAW. Ia khawatir telah melakukan kesalahan sehingga beliau mengutuknya. Dalam kegalauannya tersebut Nabi SAW menyerunya, “Ada apa denganmu? Ayo jalan terus!!”
            Abu Rafi mendekat dan berkata, “Apa saya melakukan suatu kesalahan, ya Rasulullah?”
            “Memangnya kenapa?” Kata Nabi SAW.
            “Engkau tadi mengatakan kalau saya celaka!!” Kata Abu Rafi dengan agak takut.
            Nabi SAW tersenyum, kemudian bersabda, “Oh, bukan engkau yang aku maksudkan. Tetapi si Fulan bin Fulan yang ada di dalam kubur itu. Aku pernah menugaskan dia memungut zakat pada suatu kabilah, ternyata ia mencuri pakaian bulu dari sana. Dan sekarang ia menerima balasannya dengan siksa kubur!!”

Seorang Lelaki dan Budak-budaknya

            Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW, setelah duduk di hadapan beliau, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki beberapa orang budak yang membohongi saya, mengkhianati dan menentang saya. Karena itu saya mencela dan memukul mereka. Bagaimanakah hubungan saya dengan mereka??”
            Nabi SAW menatap lelaki tersebut dengan tajam, kemudian bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan dihitung (dihisab) apa yang mereka khianati, apa yang mereka tentang pada dirimu, dan apa yang mereka dustakan. Kemudian Allah juga akan menghitung (menghisab) celaanmu dan hukumanmu atas mereka. Jika apa yang engkau lakukan itu sesuai dengan kadar dosa yang mereka lakukan, maka itu cukup, engkau tidak akan mendapatkan apa-apa (yakni pahala) dan tidak pula mendapat dosa. Tetapi bila hukumanmu melebihi kadar dosa mereka, maka aku akan menuntut qishas darimu atas kelebihan itu…!!”
            Lelaki yang duduk terpekur itu langsung memekik dan menangis mendengar penjelasan Nabi SAW tersebut. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya di yaumul hisab kelak, apalagi kalau ternyata Nabi SAW bukannya memberikan syafaat, justru malah menuntutnya karena kedzalimannya dalam menangani budak-budaknya.
            Rasulullah SAW berkata lagi, “Tidak pernahkan kamu membaca firman Allah : Dan Kami letakkan timbangan-timbangan keadilan pada hari kiamat sehingga seseorang tidak akan didzalimi sedikitpun, meskipun itu seberat biji atom (dzarrah), tentu Kami akan mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai penghisab!!”
            Lelaki tersebut makin tenggelam dalam tangisan kesedihannya, dan hanya satu jalan yang mungkin bisa menyelamatkannya. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah mendapatkan alasan apapun untuk berpisah dengan mereka (kecuali hal ini), maka saksikanlah, ya Rasulullah, bahwa mereka semua aku merdekakan…!!”
            Nabi SAW tersenyum dan gembira mendengar keputusan lelaki tersebut, dan mendoakannya dengan kebaikan.

Haritsah bin Nu’man RA

            Haritsah bin Nu’man adalah seorang sahabat Anshar dari Bani Najjar, masih termasuk kerabat Nabi SAW dari garis ibu, Aminah binti Wahb yang juga berasal dari Bani Najjar. Kabilah Bani Najjar ini tinggal di sekitar Masjid Nabawy, bahkan masjid tersebut dibangun di atas tanah milik Bani Najjar yang telah dibeli oleh Nabi SAW. Haritsah sendiri termasuk sahabat yang cukup berada dan memiliki beberapa rumah di sekitar Masjid Nabawy. 
Orang yang paling disayangi Rasulullah SAW adalah putrinya, Fathimah az Zahrah. Tetapi setelah pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, putrinya tersebut tinggal agak jauh dari rumah Rasulullah SAW, yang berada di samping Masjid Nabawy. Akibatnya beliau agak “kerepotan” jika beliau sedang rindu dengan putri kesayangannya tersebut. Suatu ketika Nabi SAW mengunjungi Fathimah dan berkata, “Aku ingin memindahkan engkau ke dekatku!!”
            Tentu saja Fathimah amat gembira dengan rencana Rasulullah SAW, ia berkata, “Berbicaralah dengan Haritsah bin Nu’man agar ia pindah!!”
            Fathimah sangat mengenal kedermawanan Haritsah, karena itu ia menyarankan hal tersebut. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Haritsah telah pindah (beberapa kali demi kepentingan Nabi SAW dan Islam) hingga aku merasa malu kepadanya…!!”
            Rencana tinggal rencana karena Nabi SAW tidak sampai hati untuk menyampaikan hal itu kepada Haritsah. Tetapi pembicaraan Rasulullah SAW dengan putrinya tersebut akhirnya menyebar, dan akhirnya sampai ke telinga Haritsah, maka ia datang kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendengar berita bahwa engkau ingin memindahkan Fathimah ke dekat engkau. Inilah rumah-rumahku, ini adalah rumah-rumah pertama yang kupersembahkan kepada engkau dari (atas nama) Bani Najjar. Sesungguhnya aku dan hartaku adalah milik Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang engkau ambil dariku, jauh lebih aku sukai daripada yang engkau sisakan/tinggalkan (untukku)…!!”
            Nabi SAW memandang Haritsah dengan penuh kasih sayang, dan bersabda, “Engkau benar, semoga Allah memberkahimu!!”
            Kemudian Nabi SAW memindahkan Fathimah dan keluarganya ke rumah Haritsah yang berdekatan dengan tempat tinggal beliau. Haritsah sendiri pindah ke rumahnya yang lain yang agak berjauhan dengan Masjid Nabawy, dan itu menambah kegembiraannya karena bisa membaktikan hartanya untuk kepentingan Nabi SAW.

Hisyam bin Ash RA

Hisyam bin Ash RA adalah adik dari Amr bin Ash, tetapi kalau kakaknya tersebut gencar memusuhi Nabi SAW pada awal Islam didakwahkan di Makkah, ia termasuk dalam kelompok awal sahabat yang memenuhi seruan Nabi SAW untuk memeluk Islam. Kelompok as Sabiqunal Awwalun yang mendapat jaminan keselamatan dari Allah, radhiyallaahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu (Allah ridha kepada mereka dan mereka juga ridha kepada Allah, QS At Taubah 100).    
Hisyam bin Ash ikut serta dalam kelompok muhajirin pertama, yakni yang berhijrah ke Habasyah. Ketika Amr bin Ash menjadi utusan kaum Quraisy kepada Raja Najasyi, misinya untuk mengembalikan Kaum Muhajirin tersebut ke Makkah mengalami kegagalan, tetapi ia berhasil memperdaya adiknya tersebut dan membawanya kembali ke Makkah. Di Makkah, Hisyam dipenjarakan oleh ayahnya, tetapi beberapa waktu kemudian dilepaskan lagi, tetapi dalam pengawasan ketat kaum kerabatnya sehingga ia tidak leluasa menemui Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya.
Ketika Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah, Hisyam berencana berangkat bersama Umar bin Khaththab dan Ayyasy bin Rabiah (sebagian riwayat menyebut Iyyasy). Tetapi ia dihalangi oleh kaum Quraisy dan lagi-lagi dipenjarakan, bahkan kali ini diikuti dengan siksaan demi siksaan yang tak terperikan. Sebagian riwayat menyebutkan, ia dipaksa murtad dan sempat mengikuti kemauan mereka karena beratnya siksaan. Tetapi sepertinya ia ‘tidak tahan” untuk hidup dalam kekafiran, karena itu kembali ia menyatakan keislamannya, dan tentu saja ia kembali mengalami siksaan dan pemenjaraan, namun hatinya terasa lebih tentram dan tidak lagi merasakan beratnya siksaan yang ditimpakan kaum Quraisy.
Akan halnya Ayyasy bin Abi Rabiah, setelah tiba di Madinah bersama Umar dan beberapa sahabat lainnya, Abu Jahal dan saudaranya Harits bin Hisyam menyusulnya dan memberitahukan kalau ibunya bernadzar tidak akan menyisir rambutnya dan tidak akan berteduh dari sinar matahari sebelum melihat anaknya tersebut. Ayyasy sangat sedih dan kasihan kepada ibunya mendengar berita tersebut. Walaupun Umar mengingatkannya bahwa semua itu hanya akal-akalan Abu Jahal, tetapi ia tetap kembali ke Makkah karena kecintaannya kepada ibunya. Tetapi ternyata benar perkiraan Umar, di tengah perjalanan ia diperdaya dan kemudian diikat. Sesampainya di Makkah ia langsung dipenjarakan bersama Hisyam bin Ash, sama sekali tidak dipertemukan dengan ibunya.
Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepada para sahabat yang sedang berkumpul, “Siapakah yang sanggup mempertemukan aku dengan Ayyasy (bin Abi Rabiah) dan Hisyam (bin Amr)??”
Walid bin Walid, yakni saudara Khalid bin Walid yang telah memeluk Islam sejak awal didakwahkan, berkata, “Wahai Rasulullah, sayalah yang akan membawa keduanya ke hadapan engkau!!”
Setelah berpamitan kepada Nabi SAW, Walid segera memacu untanya menuju Makkah. Ia memasuki kota Makkah dengan sembunyi-sembunyi, dan secara kebetulan ia bertemu dengan wanita yang ditugaskan mengantar makanan untuk Hisyam dan Ayyasy. Iapun mengikuti wanita tersebut, hingga mengetahui tempat penahanan keduanya, yakni sebuah rumah tanpa atap, tetapi pintunya dikunci dengan kuat.
Ketika keadaan sepi dan aman, Walid memanjat tembok rumah tersebut untuk memasukinya. Setelah melepaskan ikatan yang membelenggu Hisyam dan Ayyasy, ketiganya keluar dengan memanjat tembok juga, dan meninggalkan Makkah dengan menunggang unta milik Walid yang memang cukup kuat, sehingga mampu membawa tiga orang tersebut hingga sampai di Madinah dengan selamat.
Sebagian riwayat menceritakan, ketika Hisyam terpaksa murtad akibat tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy, ia merasa dunianya runtuh dan tidak ada jalan lagi baginya kepada keislaman. Apalagi kaum Quraisy “memprovokasi” bahwa Nabi SAW dan para sahabat di Madinah telah mengetahui kemurtadannya, dan mereka telah menghalalkan darahnya. Kemudian turun wahyu Allah, QS az Zumar ayat 53-55, yang intinya larangan untuk berputus asa dari rahmat Allah dan anjuran segera bertaubat. Umar bin Khaththab mengirim seseorang dengan sembunyi-sembunyi untuk menemui Hisyam bin Ash, mengabarkan tentang ayat tersebut. Akhirnya Hisyam mengikuti utusan Umar ini ke Madinah, dan ia kembali menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW.
Sejak tinggal di Madinah bersama dengan Nabi SAW, Hisyam hampir tak pernah tertinggal dalam berbagai pertempuran, baik bersama atau tidak dengan Rasulullah SAW. Semangat jihadnya begitu tinggi untuk memperoleh predikat syahid, dan itu tetap berlanjut ketika Nabi SAW telah wafat.
Pada pertempuran untuk menaklukan Ajnadin, suatu kota yang dikuasai oleh imperium Romawi, Hisyam berjuang bersama dengan kakaknya, Amr bin Ash. Serangan pasukan muslim sempat mengalami kebuntuan karena pasukan Romawi membuat pertahanan dengan parit yang diisi dengan bara api. Melihat keadaan ini, Hisyam berteriak untuk membangkitkan semangat, “Wahai kaum muslimin, ayolah maju bersama Hisyam, apakah kalian ingin lari dari Surga??”
Setelah itu Hisyam melompat dengan kudanya untuk menyeberangi parit api tersebut. Tetapi malang, kudanya terjerembab dan jatuh ke parit berapi beserta Hisyam. Amr bin Ash mengamati keadaannya adiknya, dan tampaknya ia telah menemui syahidnya. Tiba-tiba Amr berkata, “Hisyam telah menemui syahidnya, dan jadikanlah tubuhnya untuk menyeberang…!!”
Karena Amr bin Ash adalah komandan pasukan muslim tersebut, kaum muslimin mematuhi perintahnya tersebut. Kuda dan tubuh Hisyam bin Ash dijadikan pijakan sehingga akhirnya mereka semua berhasil menyeberangi parit api tersebut dan memerangi pasukan Romawi sehingga mereka kocar-kacir melarikan diri. Kota Ajnadin pun jatuh ke tangan pasukan muslim. Usai pertempuran, Amr bin Ash mengumpulan potongan-potongan tubuh Hisyam yang berserakan, dan membungkusnya dengan kain kemudian memakamkannya. Sambil matanya berkaca-kaca, ia berkata, “Sungguh, Hisyam lebih hebat daripada diriku..!!”

Seorang Pemuda yang Qana’ah

            Nabi SAW mengirimkan beberapa sahabat ke Yaman untuk menyeru kabilah-kabilah di sana kepada Islam, dan sebagian besar menerima dakwah para sahabat tersebut, salah satunya adalah kabilah Tujib. Beberapa waktu kemudian, kabilah Bani Tujib ini mengirimkan utusan sebanyak tigabelas orang kepada Nabi SAW di Madinah. Tujuannya untuk mengukuhkan keislaman mereka di hadapan beliau, sekaligus menyerahkan shadaqah dari kelebihan harta yang mereka miliki.
            Setibanya di Madinah, mereka disambut gembira oleh Nabi SAW. Setelah beberapa hari tinggal untuk mempelajari Al Qur’an dan beberapa ajaran-ajaran Islam langsung dari Nabi SAW, mereka berpamitan. Seperti biasanya, beliau memberi perbekalan dan hadiah yang lebih baik kepada mereka. Kemudian beliau bersabda, “Apakah kalian semua telah memperoleh perbekalan dan bingkisan yang cukup?”
            Mereka membenarkan, tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, seorang pemuda tinggal di dalam kemah, ia sedang menjaga tunggangan-tunggangan kami. Ia yang paling muda di antara kami yang datang…!!”
            “Panggillah dia kesini,” Kata Nabi SAW.
            Pemuda itu didatangkan, dan Nabi SAW telah mempersiapkan hadiah sebagaimana teman-temannya. Setelah mengucapkan salam, pemuda itu berkata, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang membuatku sibuk tentang utusan negeriku (sehingga aku tidak membutuhkan apapun). Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak ada yang mendorongku keluar rumah menuju engkau, kecuali agar engkau mendoakan aku agar Allah mengampuni dan merahmati aku, dan menjadikan hatiku merasa selalu berkecukupan (Dalam riwayat lain dengan maksud yang sama : ...dan menjadikan kekayaanku ada di dalam hatiku)…!!”
            Nabi SAW menatap pemuda tersebut penuh kekaguman. Tidak biasanya seorang pemuda yang emosinya masih labil dan jiwanya penuh gejolak memiliki sikap seperti itu, yang pantasnya dimiliki oleh orang-orang yang telah matang usianya. Tetapi jelas ada kegembiraan Nabi SAW mendengar permintaan pemuda tersebut, dan segera saja beliau mendoakan seperti permintannya. Dan tentu saja kalau Nabi SAW telah mendoakan, pastilah Allah akan mengabulkannya.
            Peristiwa tersebut terjadi pada tahun sembilan hijriah. Setahun kemudian pada tahun sepuluh hijriah, ketika sedang berlangsungnya Haji Wada, Nabi SAW bertemu lagi dengan mereka beserta orang-orang Bani Tujib lainnya, tetapi beliau tidak menemukan pemuda yang “nyeleneh” (dalam arti kebaikan) tersebut. Ketika beliau menanyakan tentang dirinya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, kami tidak pernah melihat orang seperti dirinya. Tidak ada orang yang begitu qana’ah (merasa cukup) terhadap rezeki Allah seperti dia. Jika semua orang bertaburkan harta dunia di sekelilingnya, ia sama sekali tidak perduli, bahkan tidak sedikitpun meliriknya…!!”
            Lagi-lagi terpancar sinar kekaguman dan ketakjuban di wajah Rasulullah SAW, tampak sekali kalau beliau begitu bahagia mendengar berita tentang pemuda tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Alhamdulillah, sungguh saya berharap agar ia mati seluruhnya…!!”
            Perkataan Nabi SAW yang mengandung “teka-teki”tersebut, memancing pertanyaan salah satu dari mereka, “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu jika mati, maka mati pula semuanya?”
            Nabi SAW bersabda, “Hawa nafsu dan kepedihan-kepedihannya tercerai-berai di berbagai bukit dunia, dan boleh jadi ajalnya hanya diketahui di sebagian bukit itu. Tetapi Allah tidak perduli dimana ia akan binasa/ meninggal (karena ia tetap menjadi orang kecintaan-Nya)…!!”
            Ketika Nabi SAW wafat dan cukup banyak orang yang murtad, pemuda itu tetap teguh dalam keimanan dan qana’ahnya. Bahkan ia aktif mengingatkan kaumnya, menasehati dan memerintahkan mereka untuk tetap teguh hati dalam keislaman walaupun Nabi SAW telah tiada.

Ma’bad bin Abu Ma’bad al Khuzai RA

            Ma’bad bin Abu Ma’bad adalah seorang sahabat dari Bani Khuzai, suatu kabilah yang sejak masa jahiliah telah menjalin perjanjian persahabatan dengan Bani Hasyim, kabilah Nabi SAW sendiri. Ia memutuskan memeluk Islam tidak lama setelah selesainya Perang Uhud.
            Walaupun dalam perang Uhud, kaum muslimin lebih banyak mengalami kerugian dan korban jiwa, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa kaum kafir Quraisy memenangkan pertempuran tersebut. Bahkan Abu Sufyan yang memutuskan terlebih dahulu untuk meninggalkan medan Perang Uhud, setelah kaum muslimin mulai bisa menyatukan kekuatan, langsung di bawah komando Nabi SAW.
            Tetapi, hanya semalam tinggal di Madinah sepulangnya dari Uhud, Nabi SAW langsung menggerakkan pasukan yang sama untuk mengejar pasukan kaum Quraisy. Dalam pemikiran beliau, ada kekhawatiran pasukan Quraisy akan kembali dan menyerang Madinah. Kalau itu terjadi, akan sangat merugikan karena beban psikologis dan kesedihan penduduk Madinah sedang berat-beratnya. Dengan inisiatif menyerang, maka semangat perjuangan akan tetap terjaga. Karena itulah beliau melarang siapapun yang tidak ikut serta dalam perang Uhud sebelumnya, untuk mengikuti pengejaran tersebut, kecuali beberapa sahabat yang bermaksud menggantikan saudara atau kerabat mereka yang telah gugur di Uhud, misalnya Jabir bin Abdullah.
            Ketika pasukan muslim berhenti dan bermarkas di Hamra’ul Asad, sekitar duabelas kilometer di luar kota Madinah, muncul Ma’bad bin Abu Ma’bad al Khuzai. Ia menghadap Nabi SAW untuk memeluk Islam. Setelah mengucapkan syahadat, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami (yakni orang-orang Quraisy) merasa hebat karena telah berhasil menimpakan bencana kepada sahabat-sahabat engkau di Uhud. Namun demikian saya berharap Allah masih memberikan afiat kepada engkau….!!”
            Nabi SAW memerintahkan Ma’bad untuk menyembunyikan keislamannya terlebih dahulu, dan menyusul pasukan Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan, untuk mengetahui apa yang sedang mereka rencanakan. Bahkan kalau mungkin, mengacaukan dan melemahkan mereka.
            Ternyata apa yang dikhawatirkan Nabi SAW tidaklah salah. Ketika singgah di ar Rauha’, sekitar limapuluh kilometer dari Madinah, terjadi pembicaraan dan perdebatan di antara pasukan kaum kafir Quraisy, dan mayoritas memutuskan untuk kembali dan menyerang Madinah. Pendapat Shafwan bin Umayyah yang menolak usulan tersebut diabaikan begitu saja. Tetapi belum sampai pasukannya bergerak ke arah Madinah, muncullah Ma’bad yang memang dikenal baik oleh Abu Sufyan, dan tentunya belum diketahui kalau ia telah memeluk Islam. Abu Sufyan berkata, “Wahai Ma’bad, apa yang terjadi di belakangmu?”
            Mendapat pertanyaan tersebut, Ma’bad langsung melancarkan strategy “Psy-War”-nya, ia berkata, “Muhammad bersama rekan-rekannya pergi mencari kalian dalam jumlah yang tidak pernah kulihat sebanyak itu. Mereka meradang dan marah kepada kalian, orang-orang yang belum bergabung sebelumnya kini telah bergabung bersamanya. Rupanya mereka menyesal tidak ikut perang Uhud, dan kini akan menuntut balas. Yang jelas, jumlah mereka sangat banyak…!!”
            “Celaka kau ini, apa yang engkau katakan itu??’ Kata Abu Sufyan.
            “Demi Allah, menurut pendapatku, lebih baik kalian segera pulang sebelum mereka memergoki buntut pasukan ini..” Kata Ma’bad lagi.
            Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami telah sepakat untuk kembali dan menyerang Madinah hingga kami dapat membinasakan mereka…!!”
            “Janganlah kalian lakukan itu…Itulah nasehatku..!!” Kata Ma’bad.
            Mendengar penjelasan Ma’bad yang begitu meyakinkan, mayoritas pasukan Quraisy jadi turun semangatnya. Walau Abu Sufyan masih berkeras untuk kembali dan menyerang Madinah, tetapi kini mereka berbalik menentangnya dan mendukung pendapat Shafwan bin Umayyah, yakni kembali ke Makkah dan “menikmati” kemenangan dalam Perang Uhud tersebut.
            Ma’bad mengikuti rombongan pasukan Abu Sufyan kembali ke Makkah. Beberapa waktu kemudian ia diam-diam datang ke Madinah dan bergabung bersama Rasulullah SAW dan saudara-saudara seagamanya, meninggalkan saudara dan kerabatnya yang masih dalam kekafiran.


Seorang Wanita Anshar dan Anaknya

            Seorang wanita Anshar hanya tinggal berdua dengan anak lelaki satu-satunya, tidak ada saudara atau kerabat lainnya yang mereka miliki. Kemungkinan besar, suami dan kerabat lainnya dari wanita ini telah gugur sebagai syuhada, sebagaimana sebagian besar sahabat Anshar yang mengorbankan jiwa dan harta mereka di jalan Allah. Membaktikan hidupnya untuk membela Nabi SAW dan kejayaan Islam hingga akhirnya bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia.
            Suatu ketika anak muda Anshar tersebut sakit parah beberapa waktu lamanya. Anas bin Malik dan beberapa sahabat lainnya menjenguknya. Saat itu sakitnya makin parah, bahkan ia dalam keadaan sakaratul maut sehingga para sahabat menungguinya sehingga nyawanya telah benar-benar kembali ke rahmat Allah. Mereka menutupkan kain ke wajah pemuda tersebut.
            Tiba-tiba datanglah ibu dari pemuda tersebut, mendekati tempat tidur anaknya. Salah seorang dari mereka berkata, “Wahai ibu, berpasrahlah engkau kepada keputusan Allah, dan mengharaplah pahala dari-Nya…!!”
            “Apakah anakku sudah mati?” Tanya perempuan itu.
            “Ya…!!” Kata mereka.
            “Benarkah apa yang kalian katakan??” Tanya perempuan itu lagi.
            “Benar..!!” Kata mereka, menegaskan.
            Wanita Anshar itu menghadapkan wajah ke kiblat kemudian mengangkat tangan, dan berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku pasrah kepada-Mu, dan berhijrah kepada Rasul-Mu Muhammad SAW, dengan harapan Engkau akan menolongku dalam setiap kesulitan. Ya Allah, janganlah Engkau timpakan musibah ini pada hari ini…!!”
            Kemudian wanita tersebut membuka kain yang telah ditutupkan para sahabat ke wajah anaknya, memandang dan menyentuhnya dengan penuh kasih sayang.
Tidak lama berselang, sebelum para sahabat meninggalkan rumah itu, tampak wanita Anshar tersebut dan anaknya tengah makan bersama. Mereka akhirnya kembali, kemudian ikut makan bersama ibu dan anaknya tersebut dengan perasaan takjub. 

Hamnah binti Jahsy RA

Hamnah binti Jahsy memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah, sebagaimana saudaranya Zainab dan Abdullah. Ia sebenarnya masih keponakan Rasulullah SAW, dan akhirnya ia menjadi ipar beliau karena Zainab binti Jahsy menjadi salah seorang Ummul Mukminin, dinikahi oleh Nabi SAW atas perintah Allah lewat turunnya wahyu Qur’an, Surat al Ahzab 37. Ia menikah dengan Mush’ab bin Umair pada masa-masa awal keislamannya.
Pada perang Uhud, suami dan suadaranya terjun dalam peperangan tersebut, dan mereka menemui syahidnya. Ketika pasukan muslim kembali ke Madinah, ia berbaur dengan masyarakat Madinah lainnya yang menyambut kedatangan mereka. Tiba-tiba salah seorang sahabat berkata, “Wahai Hamnah, saudaramu Abdullah bin Jahsy menemui syahidnya…!!”
Hamnah hanya berkata, “Innaa lillahi wa inna ilaihi rooji’uun…!!”
Kemudian ia mendoakan ampunan untuk saudaranya tersebut. Tidak berapa lama, seorang sahabat lainnya berkata, “Wahai Hamnah, pamanmu Hamzah bin Abdul Muthalib menemui syahidnya…!!”
Hamnah memang sangat dekat dengan Hamzah, dan ia lebih membahasakan dia dengan “paman” karena kedekatannya tersebut. Mendengar penuturan sahabat tersebut Hamnah berkata, “Innaa lillahi wa inna ilaihi rooji’uun…!!”
Kemudian ia mendoakan ampunan untuk Hamzah bin Abdul Muthalib. Sesaat kemudian seorang sahabat lainnya berkata kepadanya, “Wahai Hamnah, suamimu, Mush’ab bin Umair telah menemui syahidnya…!!”
Mendengar kabar ini, Hamnah menjerit keras kemudian menangis sesenggukkan, tanpa bisa menyembunyikan kesedihan dan kehilangannya. Nabi SAW yang melihat perubahan sikap Hamnah tersebut bersabda, “Sesungguhnya suaminya itu mempunyai tempat yang khusus di hati Hamnah…!!”
Dalam peristiwa Haditsul Ifki, berita bohong tentang perselingkuhan Ummul Mukminin Aisyah dengan sahabat Shafwan bin Mu’aththal yang terjadi setelah pertempuran Bani Musthaliq atau Perang al Muraisi’, kebanyakan kaum muslimin menahan diri untuk tidak berkomentar dan membicarakannya. Tuduhan perselingkuhan tersebut pertama kali diungkapkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh Khazraj yang keislamannya hanya pura-pura saja, sejatimya ia adalah munafik tulen. Berita bohong tersebut makin dibesar-besarkan oleh para pengikutnya. Tetapi ternyata ada juga tiga orang muslim yang ikut terbuai dengan “berita infotainment” tersebut, yakni Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy ini.
Memang, sepertinya Allah SWT “sengaja membiarkan” berita itu berkembang dan mengambang hingga sekitar satu bulan lamanya. Kaum muslimin, bahkan Nabi SAW sendiri dilanda kebingungan dan ketidak-pastian, benarkah Aisyah berselingkuh? Dari “pembahasan dan analisa infotainment” yang digembar-gemborkan Abdullah bin Ubay dan antek-anteknya, berita itu sangat mungkin kebenarannya dan sangat masuk akal. Hanya mereka yang sangat mengenal dan yakin akan kesucian dan ketinggian akhlak Aisyah RA tanpa reserve, seperti Barirah RA misalnya, yang langsung percaya bahwa berita itu kebohongan dan fitnah semata-mata, umumnya dilanda ketidak-pastian.
Setelah sekitar satu bulan berkembang menjadi bola panas, barulah Allah SWT menurunkan wahyu, QS an Nur ayat 11-22 yang menjelaskan tentang peristiwa fitnah tersebut. Nabi SAW “membiarkan” urusan orang-orang munafik yang mem-blow-up berita bohong kepada Allah, tetapi beliau memutuskan untuk mengenakan sanksi hukum dera 80 kali kepada tiga orang sahabat tersebut. Beliau tidak ingin orang-orang yang beliau sayangi sendiri, termasuk Hamnah binti Jahsy, akan “memanen” hasil perbuatan tersebut di akhirat kelak. Nabi SAW lebih senang (tega) melihat kesakitan dan penderitaan umat beliau di alam dunia fana (terbatas) ini, asalkan tidak lagi akan mengalami penderitaan di alam akhirat yang kekal.

Harits bin ash Shimmah RA

Pada perang Uhud, sempat tersiar kabar bahwa Nabi SAW telah terbunuh, hal ini membuat Harits bin Ash Shimmah langsung terduduk lemas. Kecintaannya yang begitu besar kepada Nabi SAW membuat dirinya limbung dan kehilangan fokusnya ketika mendengar beliau telah meninggal. Pandangannya kosong seakan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Berita yang digembar-gemborkan oleh Abdullah bin Qami’ah, salah satu dari tiga tokoh Quraisy yang menyerang dan melukai Nabi SAW hingga beliau terperosok ke dalam suatu lubang, sempat membuat pasukan muslim melemah dan makin porak-poranda, bahkan ada yang telah berlari ke arah Madinah. Tetapi di sisi lain malah mengendorkan serangan kaum kafir Quraisy sehingga Nabi SAW dan beberapa sahabat yang melindungi beliau bisa bergerak menuju sisi bukit yang lebih aman (tidak dalam keadaan terkepung), walaupun tetap dengan melakukan beberapa pertempuran.
Dalam pergerakan tersebut, sahabat Ka’b bin Malik mengenali Nabi SAW, spontan saja ia berseru dengan gembira, “Bergembiralah wahai semua kaum muslim, inilah Rasulullah SAW, beliau masih hidup…!!”
Sebenarnya Nabi SAW telah mengisyaratkan kepada Ka’b untuk diam agar keadaan beliau tidak diketahui oleh pasukan musuh. Tetapi luapan kegembiraan yang begitu menggelora melihat beliau masih hidup, padahal sempat tersiar telah terbunuh, jauh lebih cepat reaksinya. Mendengar seruan Ka’b ini, beberapa sahabat langsung berkumpul di sekitar beliau, termasuk Harits bin ash Shimmah. Ia seolah-olah  mendapat suntikan darah baru dan semangat baru yang lebih bergelora. Bahkan ia memposisikan dirinya sangat dekat dengan Nabi SAW, seolah-olah ingin menjadi tameng hidup bagi beliau.
Seperti dikhawatirkan Nabi SAW, pasukan kaum kafir Quraisy akhirnya mengetahui beliau masih hidup dan kedudukan beliau. Mereka memfokuskan diri untuk menyerang sekitar tigapuluh sahabat yang mati-matian melindungi Nabi SAW, yang terus bergerak mundur ke tempat yang lebih aman. Beberapa sahabat lainnya juga berusaha membuka “jalan darah” untuk bisa bergabung dengan kelompok yang melindungi Nabi SAW ini.
Tiba-tiba seorang musyrikin bernama Utsman bin Abdullah bin Mughirah merangsek dengan kudanya ke arah Nabi SAW sambil berkata, “Aku tidak akan selamat jika Muhammad selamat!!”
Nabi SAW bangkit untuk menyambutnya, tetapi Harits bin Shimmah tak ingin kecolongan, ia segera berdiri di depan Nabi SAW untuk menyambut serangan tersebut. Kuda Utsman terperosok, dan Harits langsung membabat kaki Utsman hingga ia jatuh terduduk. Tetapi rekan Utsman, Abdullah bin Jabir langsung menyerang Harits hingga pundaknya terluka. Abu Dujanah datang menyelamatkan Harits, dengan pedang pemberian Rasulullah SAW, ia berhasil memenggal kepala Ibnu Jabir dengan satu sabetan saja.
Walaupun jumlah pasukan musyrikin yang mengepung itu ratusan atau mungkin sampai seribu orang, ternyata tidak mudah menaklukan sekitar 30 sahabat yang berjuang dengan semangat laksana singa kelaparan tersebut. Mereka akhirnya bisa lolos dari kepungan dan bersembunyi di bukit tersebut. Pasukan musyrikin sendiri tampaknya tidak terlalu semangat melanjutkan penyerangan seperti sebelumnya. Tetapi Harits bin Shimmah tidak mau beranjak dari sisi Nabi SAW walau pundaknya terluka parah. Pedang, tombak dan panahnya juga masih dalam keadaan “terhunus”, siap digunakan sewaktu-waktu diperlukan.
Tiba-tiba seorang tokoh kafir Quraisy, Ubay bin Khalaf, saudara dari Umayyah bin Khalaf yang tewas di Perang Badar menemukan tempat persembunyian tersebut. Sambil mencari berputar dengan kudanya, ia berkata, “Dimana Muhammad? Aku tidak akan selamat jika ia masih selamat..!!”
Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk tidak menyerangnya. Ketika telah dekat, tiba-tiba Nabi SAW mencabut tombak milik Harits dan memukul Ubay bin Khalaf tepat di celah antara baju besi dan topi besinya. Pukulan yang berkali-kali tersebut membuatnya limbung dari punggung kudanya dan akhirnya ia melarikan diri. Tetapi dalam perjalanan pulang ke Makkah, luka kecil yang diderita Ubay bin Khalaf akibat pukulan tersebut semakin parah dan membengkak, dan akhirnya ia mati di Sarif.
Setelah pengalamannya di perang Uhud tersebut, Harits bin Shimmah tidak ingin kehilangan pandangan dari sosok Nabi SAW dalam pertempuran-pertempuran yang diterjuninya bersama beliau. Ketika Nabi SAW mengirimkan tujuhpuluh sahabat huffadz Qur’an untuk mendakwahi kabilah-kabilah di daerah Najd atas saran dan jaminan keamanan Abu Bara Amir bin Malik, Harits bin Shimmah ikut serta dalam rombongan ini. Ia syahid dalam misi tersebut karena kelompok sahabat ini dibantai habis oleh Amir bin Thufail, dalam peristiwa yang dikenal dengan nama Tragedi Bi’r Ma’unah.
 

Seseorang yang Bersedekah Rahasia

            Seseorang yang mempunyai cukup banyak kelebihan harta, tersirat keinginan untuk bersedekah. Ia mendengar bahwa bersedekah dengan sembunyi-sembunyi itu mempunyai banyak keutamaan karena itu ia memilih dengan cara itu. Suatu malam yang gelap ia mendatangi suatu rumah, yang diperkirakannya orang tersebut memang pantas dan berhak memperoleh sedekah. Setelah meletakkan di dalam rumahnya tanpa diketahui penghuninya, ia segera pulang. Keesokan harinya ternyata terjadi kegemparan, penduduk di daerah tersebut, yang ia memberikan shadaqah, membicarakan tentang seorang pencuri yang menerima shadaqah rahasia dari seseorang yang tidak dikenal. 
Orang yang bersedekah ini, walau ia telah ikhlas tetapi merasa shadaqahnya tidak akan diterima karena salah sasaran. Ia tidak menyesalinya, hanya saja ia berkata, “Wahai Allah, hanya bagi-Mu segala puji, sungguh saya akan menyedekahkan lagi sesuatu…!!”
             Pada malam harinya, ia mendatangi suatu rumah lain yang diperkirakan penghuninya adalah orang yang pantas dan berhak untuk menerima shadaqahnya. Setelah meletakkan di dalam rumahnya dengan diam-diam, ia segera pulang. Keesokan harinya ternyata terjadi kegemparan seperti hari sebelumnya. Penduduk di daerah tersebut membicarakan tentang seorang pelacur yang menerima shadaqah rahasia dari seeorang yang tidak dikenal.
Lagi-lagi orang yang bershadaqah ini merasa amalnya tidak diterima karena telah salah sasaran. Tetapi ia tidak menyesalinya, dan hanya berkata, “Wahai Allah, hanya bagiMu segala puji, sungguh saya akan menyedekahkan lagi sesuatu..!!”
            Pada malam harinya, ia mendatangi suatu rumah lain yang diperkirakan penghuninya adalah orang yang pantas dan berhak untuk menerima shadaqahnya. Setelah meletakkan di dalam rumahnya dengan diam-diam, ia segera pulang. Keesokan harinya, ternyata untuk ketiga kalinya terjadi kegemparan yang sama di daerah tersebut. Kali ini mereka membicarakan tentang seorang yang sebenarnya cukup kaya, tetapi memperoleh sedekah rahasia dari seseorang yang tidak dikenal.
            Setelah untuk ketiga kalinya ini shadaqahnya salah sasaran, akhirnya orang itu berkata, seolah-olah amalannya telah sia-sia belaka, “Ya Allah, hanya bagi-Mu segala puji, saya telah bersedekah tetapi kepada pencuri, bersedekah lagi tetapi kepada pelacur, dan bersedekah lagi tetapi kepada orang yang kaya….!!”
            Tiba-tiba terdengar suatu suara yang tidak diketahui darimana asalnya (hatif), yang ditujukan kepadanya, “Adapun shadaqahmu kepada pencuri, semoga ia segera berhenti dari kebiasaannya mencuri. Dan shadaqahmu kepada pelacur, semoga ia segera berhenti dari kebiasaannya berzina. Dan shadaqahmu kepada orang yang kaya, semoga ia bisa mengambil i’tibar dan segera menafkahkan/menyedekahkan kelebihan hartanya yang telah dikaruniakan Allah kepadanya…!!”
            Kisah ini diceritakan sendiri oleh Nabi SAW, tetapi beliau tidak menjelaskan siapa orang tersebut. Bisa jadi salah seorang sahabat yang beliau ingin merahasiakan namanya, tetapi bisa juga seseorang di masa nabi-nabi terdahulu, yang beliau sampaikan untuk memberikan pengajaran kepada para sahabat beliau. Wallahu A’lam.

Quddamah bin Mazh’un al Jumahi RA

Quddamah bin Mazh’un termasuk dalam kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa awal didakwahkan (as Sabiqunal Awwalun).  Walaupun dari golongan terkemuka, ia juga tak lepas dari penyiksaan kaum Quraisy, karena itu ketika Nabi SAW menghimbau para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah, ia segera mengikutinya. Tetapi ketika kemudian Nabi SAW hijrah ke Madinah, ia segera berhijrah juga meninggalkan Habasyah ke Madinah walaupun sebagian besar sahabat tetap tinggal di sana. Termasuk juga sahabat Utsman bin Affan yang mengambil sikap seperti Quddamah ini karena merasa lebih tenang dan nyaman jika tinggal dekat bersama Rasulullah SAW, walaupun mungkin dalam kesulitan hidup.
Quddamah pernah menjadi saudara ipar Umar bin Khaththab karena menikahi saudaranya, Shafiyah binti Khaththab. Ketika Umar menjabat sebagai khalifah, ia ditugaskan untuk menjadi Amir di Bahrain. Bukan karena “KKN” karena Umar sangat keras dalam menentukan kualifikasi orang-orang yang membantunya dalam mengurus pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Umar beranggapan, kesalahan yang dilakukan oleh penguasa daerah (Amir, Gubernur, panglima perang dll.) yang berakibat buruk kepada umat muslim atau non muslim di daerah tersebut, ia akan ikut “ditanya” dan dihisab di akhirat kelak. Karena itu, pilihannya kepada Quddamah berdasar atas kesalehan, kezuhudan dan kemampuan bekas saudara iparnya tersebut. Saat itu ia memang telah menikah lagi Hindun binti Utbah, janda dari Abu Sufyan bin Harb.
Suatu ketika sampai kabar di Madinah, bahwa Quddamah minum khamr. Umar segera mengecek kebenaran berita tersebut. Ia meminta kesaksian Abu Hurairah, yang juga ditugaskan oleh Umar di sana, yang di kemudian hari menjadi Amir sepeninggal Quddamah. Sebagai seorang sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah, Abu Hurairah menjawab dengan hati-hati, “Saya memang pernah melihat Quddamah dalam keadaan mabuk (teler, terhuyung-huyung) dan muntah-muntah. Tetapi saat itu saya tidak melihatnya sedang minum khamr…!!”
Dengan kesaksian Abu Hurairah tersebut, walaupun tidak memastikan melihatnya minum khamr, Umar sebagai Qadhi (hakim) memutuskan bahwa mantan saudara iparnya tersebut bersalah “melanggar hukum” meminum khamr, sesuai ciri-ciri yang terlihat pada dirinya.
Untuk memperkuat “dakwaan” seperti itu, Umar mengirim utusan kepada istri Quddamah, Hindun binti Utbah dan menanyakan masalah ini. Hindun yang telah menjadi wanita shalihah, ia berkata jujur bahwa suaminya tersebut memang “pernah” minum khamr. Padahal bisa saja ia berbohong untuk menyelamatkan suaminya dari sanksi hukum, tetapi budaya jahiliah seperti itu telah jauh ditinggalkannya sejak ia berba’iat memeluk Islam di hadapan Nabi SAW saat Fathul Makkah.
Dengan dua bahan kesaksian itu, Umar memanggil Quddamah ke Madinah dan akan menerapkan hukum cambuk kepada Amir/Gubernur Bahrain tersebut. Setelah tiba di Madinah dan Umar menetapkan dakwaan tersebut, Quddamah berkata, “Tidak hak bagimu untuk menghukum aku, sesungguhnya Allah telah berfirman : Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu (sebelum itu) apabila mereka beriman dan bertakwa, serta mengerjakan amal-amal saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertakwa dan mengerjakan kebajikan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan..!!”
Mungkin dalam logika dan penafsiran Quddamah, ia mengakui pernah minum khamr, tetapi setelah itu ia bertobat dan tetap dalam keimanan dan ketakwaan dan terus menerus berbuat kebajikan untuk menebus kesalahannya tersebut. Mungkin juga ia pernah mendengar atau malah terlibat dalam suatu peristiwa di masa Nabi SAW, dimana seorang pemuda datang kepada Nabi SAW untuk minta diqisash (dihukum) karena berbuat maksiat (sebagian riwayat, ia mencium seorang wanita yang bukan muhrimnya; riwayat lainnya, ia berbuat zina). Saat itu adzan shalat zhuhur telah dikumandangkan, beliau tidak menanggapinya, kemudian shalat zhuhur berjamaah didirikan, dan pemuda tersebut ikut berjamaah. Usai shalat, seperti biasanya diadakan majelis pengajaran hingga waktunya shalat ashar, dan shalat didirikan, sang pemuda juga ikut berjamaah. Usai shalat ashar, pemuda tersebut mendekat kepada Nabi SAW dan mengulang permintaannya sebelum shalat zhuhur sebelumnya. Nabi SAW bersabda, “Bukankah engkau telah mengikuti shalat berjamaah dan kegiatan lainnya bersama kami?”
“Benar, ya Rasulullah..” Kata pemuda tersebut.
“Sesungguhnya semua kebajikan yang engkau lakukan sejak shalat zhuhur hingga sekarang ini telah menghapus dosa dan kesalahan yang engkau lakukan sebelumnya…”
Kemungkinan hal seperti tersebut di atas yang menjadi argumentasi Quddamah untuk membatalkan hukuman yang akan dijatuhkan Umar atas dirinya. Tetapi Umar menolak hujjah tersebut dengan mengutip firman Allah juga, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kalian memperoleh keberuntungan (QS al Maidah 90).”
Quddamah menjadi sedih dengan keputusan Umar tersebut. Keadaannya yang sakit ketika berangkat ke Madinah jadi makin memburuk. Beberapa sahabat meminta keringanan kepada Umar untuk membatalkan hukuman tersebut, tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya, bahkan ia sendiri yang menghukum dera/cambuk Quddamah sebanyak 40 kali (atau 80 kali dalam riwayat lainnya).
Mata Quddamah berkaca-kaca penuh kesedihan mendapat hukuman ini. Ia teringat akan sabda Nabi SAW kepada ahli Badar, di mana ia termasuk di dalamnya, “Semoga Allah memandang kepada para pengikut perang Badar, dan Allah telah berfirman kepada mereka : Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian…!!”
Setelah peristiwa itu, hubungan keduanya jadi merenggang, ada gap yang menganga antara dua orang yang pernah bersaudara ini. Sampai suatu ketika Umar bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadanya, “Damailah dengan Quddamah karena dia adalah saudaramu..!!”
            Karena mimpi tersebut, Umar bergegas menuju rumah Quddamah, bersalaman dan minta maaf atas semua kesalahannya, begitu juga sebaliknya dengan Quddamah, sehingga keduanya berdamai, dan hubungannya kembali harmonis seperti sedia kala.