Kamis, 18 Desember 2014

Pemilik Pohon Kurma di Surga

            Seorang pemilik kebun kurma, ada salah satu pohon kurmanya yang mayangnya (bunga yang akan menghasilkan buah) menjulur ke rumah seorang keluarga yang sangat fakir. Pemilik kebun tersebut seorang muslim tetapi ia bersifat bakhil/pelit. Jika ia ingin mengambil buah kurma dari pohonnya tersebut, ia memetiknya dari rumah tetangganya yang fakir itu, tetapi sama sekali ia tidak memberi sedikitpun kepadanya. Jika ada kurma yang jatuh dan diambil oleh anak-anak si fakir, ia segera mendatangi dan merampasnya. Bahkan kalau kurma itu telah ada di mulut anak-anak itu, ia akan memaksa untuk mengeluarkannya.
            Karena perilaku pemilik kebun yang seperti itu, si fakir mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW, dan beliau berjanji akan menyelesaikannya. Suatu ketika beliau bertemu dengan pemilik kebun tersebut dan bersabda, “Berikanlah kepadaku pohon kurmamu yang mayangnya menjulur ke rumah tetanggamu yang fakir, dan sebagai gantinya bagimu adalah sebuah pohon kurma di surga!!”
            Karena sifatnya yang ‘hubbud dunya’, pemilik kebun itu berkata, “Hanya segitukah penawaran engkau?”
            “Benar!!” Kata Nabi SAW.
            “Saya mempunyai banyak sekali pohon kurma, dan pohon yang engkau minta itu, yang paling baik buahnya!” Katanya, kemudian ia berlalu pergi.
            Nabi SAW hanya memandang kepergiannya dengan sedih tanpa berucap apa-apa. Tetapi ada sahabat lain yang mendengar pembicaraan tersebut dan ia sangat tertarik dengan penawaran Nabi SAW. Lelaki itu mendatangi beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah penawaran engkau itu berlaku juga bagiku, jika pohon itu milikku?”
            Beliau bersabda, “Ya…!!”
            Lelaki itu pamit kepada Rasulullah SAW dan segera pergi menemui pemilik kebun tersebut. Setelah bertemu ia segera menyampaikan maksudnya untuk membeli pohon kurma miliknya, yang mayangnya menjulur ke rumah tetangganya yang fakir itu. Tetapi jiwanya yang materialistis dan oppourtunis, membuat pemilik pohon kurma itu berkata, “Apakah engkau tahu, bahwa Nabi SAW telah menjanjikan sebuah pohon di surga sebagai ganti pohon kurmaku tersebut? Sungguh aku telah mencatat tawarannya, tetapi pohonku itu buahnya sangat mengagumkan. Aku memiliki banyak sekali pohon kurma, tetapi tidak ada yang buahnya selebat itu!!”
            Lelaki dermawan itu memahami “bahasa” negosiasi yang disampaikannya. Ia berkata, “Apakah engkau mau menjualnya??”
            “Tidak, kecuali bila ada yang mau memenuhi keinginanku. Tetapi sepertinya tidak ada yang sanggup memenuhinya!!” Katanya, sangat kentara jiwa oppourtunis dalam ucapannya tersebut.
            “Berapa yang engkau inginkan??”
            “Aku inginkan empatpuluh pohon kurma sebagai penggantinya!!”
            Lelaki dermawan itu terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya. Tetapi tawaran Rasulullah SAW tersebut tampaknya lebih menggiurkan bagi dirinya. Karena itu ia berkata, “Sungguh permintaanmu itu tidak masuk akal, tetapi baiklah, aku akan memenuhi pertukaran tersebut. Dan aku minta beberapa orang saksi jika engkau benar-benar ingin menukarnya!!”
            Pemilik kebun kurma itu tampak sangat gembira dan mengiyakannya. Si dermawan memanggil beberapa orang temannya untuk menjadi saksi tukar-menukar tersebut, setelah itu ia dengan gembira ia segera pergi menemui Rasulullah SAW. Sungguh suatu pertukaran yang sangat tidak seimbang, tetapi sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Hanya saja yang satu hanya memperoleh keuntungan duniawiah, tetapi satunya lagi sudah pasti memperoleh keuntungan akhirat.
            Sampai di hadapan Rasulullah SAW, lelaki dermawan itu berkata, “Wahai Rasulullah, pohon kurma tersebut telah menjadi milik saya. Dan sekarang saya serahkan kepada engkau!!”
            Nabi SAW sangat gembira dengan pemberiannya itu dan beliau mendoakannya dengan kebaikan. Setelah itu bersama beberapa sahabat, beliau mendatangi lelaki fakir itu di rumahnya, dan bersabda, “Ambillah pohon kurma ini untukmu dan keluargamu!!”      

Aktsam bin Shaifi RA

            Aktsam bin Shaifi adalah salah seorang pemuka dari kabilahnya yang tinggal cukup jauh dari kota Madinah. Ketika ia mendengar kabar tentang Kenabian Nabi Muhammad SAW dan beliau telah berhijrah ke Madinah, ia bermaksud mengunjungi beliau tetapi dihalangi oleh para pemuka lainnya.
            Aktsam memang telah mendengar kabar selentingan tentang Islam yang didakwahkan Nabi SAW, dan hatinya cenderung untuk mengikutinya, hanya saja ia ingin memperoleh informasi lebih jelas karena hal itu menyangkut keyakinan hatinya (aqidahnya). Karena ia dihalangi untuk bertemu beliau, dan mereka mengawasinya dengan ketat, diam-diam ia mengirim dua orang yang dipercayainya kepada Nabi SAW untuk memperoleh informasi tentang beliau dan Risalah Islam yang beliau dakwahkan.
            Ketika kedua utusan itu telah sampai di hadapan Nabi SAW, mereka berkata, “Kami adalah utusan dari Aktsam bin Shaifi, dia ingin tahu tentang siapa tuan, apa kedudukan tuan, dan apa yang tuan bawa (dakwahkan)?”
            Nabi SAW bersabda, “Saya adalah Muhammad, putra dari Abdullah bin Abdul Muthalib, hamba Allah dan Rasul-Nya….”
            Kemudian beliau menjelaskan tentang risalah Islam yang beliau dakwahkan secara ringkas, dan beliau mengakhirinya dengan membacakan firman Allah, “Innallaaha ya’muru bin adli wal ikhsaan, wa iitaa-idzil qurbaa wa yanhaa ‘anil fakhsyaa-i wal munkar  wal baghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruun.”
            Firman Allah tersebut adalah QS An-Nahl ayat 90, yang artinya : Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat kebajikan, serta memberi [shadaqah/pemberian] kepada karib kerabat, dan mencegah berbuat keji dan munkar serta kezaliman, Dia [Allah] mengajarkan kepadamu, semoga engkau memperoleh peringatan.
            Kedua utusan itu kembali kepada Aktsam, dan setelah memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang Nabi SAW dan Islam, hatinya mantap untuk memeluk risalah beliau tersebut. Dengan tegar ia menghadapi kaumnya dengan aqidah barunya, tidak takut akan permusuhan dan halangan dari mereka seperti sebelumnya. Ia berkata, “Wahai kaumku, ia (Nabi SAW) menyuruh untuk berbudi tinggi dan melarang untuk berakhlaq rendah, jadilah kalian pelopor untuk berbudi luhur dan janganlah hanya menjadi pengekor!!”
            Walaupun tidak banyak yang mengikutinya, Aktsam tetap teguh dengan pendiriannya, bahkan ia memutuskan untuk berhijrah ke Madinah sebagaimana kebanyakan kaum muslimin yang berada di Makkah. Tetapi dalam perjalanan tersebut ia sakit dan akhirnya meninggal sebelum sempat tiba di Madinah dan bertemu dengan Rasulullah SAW.
            Beberapa sahabat yang mendengar peristiwa yang dialami Aktsam sempat sedih dengan nasibnya, tetapi kemudian turun firman Allah QS An Nisa ayat 100, yang menyatakan bahwa orang-orang seperti Aktsam tersebut tetap memperoleh pahala hijrah secara sempurna, walau belum sempat sampai di Madinah dan bertemu langsung dengan Nabi SAW untuk mengukuhkan ba’iat keislamannya.     

Rafi bin Umair at Tamimi RA

            Rafi bin Umair at Tamimi adalah seorang sahabat yang berasal dari kabilah Bani Tamim. Kisah keislamannya termasuk unik, karena berawal dari sebuah mimpi ketika ia tertidur di padang pasir yang luas.
            Suatu ketika Rafi sedang melakukan perjalanan menembus padang pasir yang luas. Jika siang harinya sangat panas membakar, ia melakukan perjalanan pada malam hari, dan ia beristirahat sambil berteduh di bawah pepohonan atau bayang-bayang batuan besar. Pada suatu malam, ketika ia tiba di suatu lembah yang bernama Ramal ‘Alij, ia merasakan kantuk yang tidak tertahankan, karena itu ia turun dari untanya dan bermaksud tidur sebentar sampai kantuknya hilang. Seperti kebiasaan para musafir jahiliah, sebelum tidur ia berdoa, “Aku berlindung kepada penunggu/penguasa lembah ini dari gangguan jin!!”
            Belum lama tertidur, ia bermimpi melihat seorang laki-laki membawa tombak yang akan ditusukkan ke tulang rusuk untanya. Tentu saja ia kaget dan tiba-tiba terbangun, ia melihat ke kanan-kirinya, dan ia tidak melihat apa-apa, untanya-pun keadaannya baik-baik saja. Karena kantuknya belum hilang, ia meneruskan tidurnya.
Sesaat tertidur, sekali lagi ia bermimpi yang sama seperti sebelumnya, dan ia tersentak bangun. Kali ini ia melihat untanya berontak, dan seorang lelaki yang membawa tombak seperti yang terlihat pada mimpinya sedang berusaha menyerang untanya. Tetapi seorang lelaki tua memeganginya dan berusaha menghalangi niatnya. Keduanya tampak bertengkar dan berdebat keras, sampai tiba-tiba datang tiga ekor banteng (sapi liar) menghampiri mereka. Orang tua itu berkata, “Ambillah salah satu banteng ini sebagai pengganti dari unta milik manusia yang ingin engkau ambil, sesungguhnya ia dalam perlindunganku!!”
            Lelaki yang membawa tombak itu memilih salah satu dari tiga banteng tersebut dan berlalu pergi. Si orang tua berpaling kepada Rafi dan berkata, “Hai manusia, jika engkau beristirahat di suatu lembah, dan engkau merasa ngeri dengan seramnya lembah itu, maka katakanlah : Aku berlindung kepada Tuhannya Muhammad dari seramnya lembah ini!! Janganlah engkau meminta perlindungan kepada jin atau siapapun dari penghuni lembah itu, sesungguhnya hal itu adalah perkara yang bathil!!”
            Rafi berkata, “Siapakah Muhammad itu!!”
            Orang tua berkata, “Dia adalah seorang nabi berbangsa Arab, dia bukan dari timur dan bukan pula dari barat, dan diutus sebagai rasul pada hari senin!!”
            Maksudnya dari timur, adalah Persia dan dari barat adalah Romawi. Dua kerajaan besar itulah yang saat itu menjangkau ke wilayah Arab. Di bagian timur dan selatan, yakni Yaman dan sekitarnya termasuk kekuasaan Kisra Persia, dan di wilayah barat dan utara seperti Syam, Palestina, Mesir dan sekitarnya termasuk kekuasaan Kaisar Romawi.
            “Dimanakah tempat tinggalnya?” Tanya Rafi lagi.
            “Di Kota Yatsrib, yang banyak pohon kurmanya!!” Kata lelaki tua itu.
            Sebelum sempat berkata dan menanyakan sesuatu lagi, lelaki tua itu hilang dari pandangannya. Rafi membatalkan tujuan perjalanannya, dan ia memacu tunggangannya menuju Yatsrib yang saat itu namanya telah berubah menjadi Madinah.
Setibanya di sana, ia menanyakan tentang Nabi SAW dan mereka menunjukkan tempatnya di masjid. Ia segera menuju Masjid Nabi, dan melihat kedatangannya, Nabi SAW langsung menyambutnya dengan gembira. Sebelum sempat ia menceritakan pengalamannya, beliau yang terlebih dahulu menceritakan apa yang dialaminya, dan menyatakan kalau dua orang yang dilihatnya itu adalah dari bangsa jin. Lelaki tua yang melindunginya itu adalah jin yang telah memeluk Islam.
Nabi SAW menceritakan tentang risalah Islam, dan menyeru Rafi untuk mengikutinya, dan tanpa banyak pertimbangan lagi ia memenuhi ajakan beliau tersebut memeluk Islam. Sungguh keislamannya merupakan berkah dari dakwah tidak langsung dari jin penghuni lembah Ramal ‘Alij, di tengah belantara padang pasir yang luas.

Quthbah bin Amir RA

Quthbah bin Amir bin Hadidah adalah seorang sahabat Anshar dari kabilah Bani Salamah, termasuk suku Khazraj. Bersama lima orang teman lainnya yang sama-sama masih muda, yang juga berasal suku Khazraj, mereka ini bisa dikatakan pelopor atau pionir tersebarnya Islam di Kota Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah, dan menjadi pusat pemerintahan dan penyebaran Islam ke seluruh dunia. Mereka telah memeluk Islam ketika belum dilakukannya Ba’iatul Aqabah pertama, bahkan mereka inilah yang menjadi cikal bakal ba’iat tersebut.
Pada tahun ke sebelas dari nubuwwah (Kenabian Nabi Muhammad SAW), Quthbah bersama lima orang temannya melakukan ibadah haji dan umrah (jahiliah) ke Makkah. Menjelang tengah malam, ketika sedang beristirahat dan mengobrol di Aqabah Mina, Nabi SAW yang ditemani Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka, beliau berkata, “Siapakah kalian ini?”
Quthbah dan teman-temannya berkata, “Kami orang-orang dari Khazraj di Yatsrib!!”
“Sekutu dari orang-orang Yahudi?” Kata Nabi SAW.
“Benar!!” Kata mereka.
Nabi SAW bersabda, “Bolehkah aku duduk bersama kalian, dan ikut berbincang-bindang dengan kalian?”
“Baiklah!!” Kata mereka berenam.
Nabi SAW terlibat pembicaraan dengan mereka, dan pada suatu kesempatan, beliau menceritakan tentang risalah Islam, dan tugas kenabian yang beliau laksanakan. Beliau juga membacakan beberapa ayat-ayat al Qur’an, yang tampaknya sangat menarik perhatian mereka.
Mereka ini memang pemuda-pemuda pilihan yang cerdas, sehingga dengan mudah mereka bisa menangkap adanya kebaikan dan kebenaran dari apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Apalagi selama ini, kaum Yahudi yang menjadi sekutu mereka, selalu menceritakan dan membangga-banggakan seorang nabi akhir zaman yang akan mereka ikuti, dan membawa mereka menjadi pemimpin dunia. Kaum Yahudi tersebut juga menceritakan ciri-ciri yang dimiliki oleh nabi yang mereka tunggu-tunggu itu, dan semua itu amat sesuai dan tepat menyata pada diri Rasulullah SAW.
Setelah Nabi SAW selesai menceritakan tentang risalah Islam tersebut, mereka saling memandang dengan mata berbinar, dan berkata, “Demi Allah, kalian tahu bahwa dia (Rasulullah SAW) benar-benar seorang nabi seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi itu. Janganlah mereka mendahului kita memenuhi seruannya!!”
Dan ternyata enam pemuda tersebut mempunyai pemikiran yang sama, dan mereka segera memeluk Islam mengikuti seruan beliau itu. Sepulangnya ke Yatsrib, Quthbah dan teman-temannya mulai menceritakan dan mendakwahkan tentang Islam kepada kaumnya. Berita itu terus menyebar, termasuk kepada suku Aus yang selama ini menjadi musuh bebuyutan suku Khazraj, sehingga tidak ada satu rumahpun di Yatsrib, kecuali telah menyebut-nyebut nama Rasulullah SAW.
Pada musim haji tahun berikutnya, tahun ke duabelas dari nubuwwah, mereka bermaksud menemui Nabi SAW lagi sambil melaksanakan haji dan umrah, tetapi salah seorang dari mereka, yakni Jabir bin Abdullah bin Ri’ab, tidak bisa mengikuti karena sesuatu hal. Namun demikian ada tujuh orang lainnya dari para pemuka kaum/kabilahnya yang ingin bertemu Rasulullah SAW, termasuk dua orang dari suku Aus. Quthbah bersama sebelas orang inilah yang mengikatkan diri dalam janji setia, yang dikenal dengan nama Ba’iatul Aqabah yang pertama. Ketika pulang ke Yatsrib, Nabi SAW mengirimkan guru dan muballigh pertama untuk mereka, Mush’ab bin Umair.
Sudah menjadi kebiasaan dan peraturan tidak tertulis, ketika melaksanakan ibadah haji dan umrah (sejak masa jahiliah), orang-orang Quraisy yang digelari dengan al Hams (kaum Ksatria) selalu keluar dan masuk rumahnya lewat pintu depan atau pintu utama, begitu juga ketika mereka memasuki dan keluar dari Baitullah di Makkah. Sedangkan orang Arab lainnya selain kaum Quraisy, harus lewat pintu belakang atau pintu lainnya, yang bukan pintu depan atau pintu utama.
Sejak keislamannya, Quthbah bin Amir selalu berusaha mencontoh/meneladani akhlak dan perilaku Nabi SAW, walaupun tidak semirip dan mendetail seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar. Dalam suatu musim haji, ia keluar rumahnya dari pintu depan, begitu juga ketika memasuki Baitullah. Melihat tindakannya itu, orang-orang menegur apa yang dilakukannya. Dengan tegas Quthbah berkata, “Saya hanya mengikuti dan mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah…!!”
Tampaknya orang-orang tersebut tidak puas dengan penjelasan Quthbah, mereka mengadukan pelanggarannya itu kepada Nabi SAW, dan beliau menegur sikapnya tersebut.  Memang, untuk suatu aturan atau tatakrama (adab) yang telah berlaku sejak masa jahiliah, yang tidak mengandung unsur kemusyrikan dan tidak jelas-jelas dilarang atau dirubah oleh syariat Islam, biasanya Nabi SAW masih menghargai dan menjalankan aturan tersebut.
Mendapat teguran Nabi SAW itu, Quthbah berkata, “Saya hanya meneladani apa yang tuan lakukan, ya Rasulullah!!”
“Tetapi aku adalah golongan al-Hams (Ksatria)!!” Kata Nabi SAW lagi.
“Ya Rasulullah, saya adalah penganut agama tuan juga!!” Quthbah masih mencoba bertahan dengan pendapatnya.
Para sahabat khawatir dengan sikap Quthbah yang berusaha “membantah” Rasulullah SAW, apalagi setelah perkataannya itu tampak beliau terdiam beberapa lamanya. Tetapi kemudian mereka melihat Nabi SAW tersenyum, dan berkata, “Jibril telah turun membawa wahyu yang membenarkan sikap Quthbah…!!”
            Nabi SAW menjelaskan tentang turunnya wahyu Allah, QS Al Baqarah ayat 189, bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah itu tidaklah penting memasuki rumah dari pintu depannya atau dari belakangnya, karena semua itu bukanlah kebaikan sebagaimana yang diyakini pada masa haji jahiliah. Tetapi yang terpenting adalah ketakwaan, dan itulah kebaikan yang sebenarnya.  

Ma’iz bin Malik RA

Seorang sahabat bernama Ma’iz bin Malik suatu kali tergoda seorang wanita dan melakukan perbuatan terlarang dengan wanita tersebut, padahal saat itu ia telah menikah. Sebenarnya ketika peristiwa maksiat itu terjadi, tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka berdua, dan Allah SWT tentunya. Segera setelah peristiwa itu terjadi, Ma’iz sangat menyesalinya, perasaan dosa terasa selalu meliputinya.
            Suatu ketika ia tidak mampu lagi menguasai kerisauan hatinya, maka ia datang kepada Umar bin Khaththab dan berkata, “Orang yang jauh dari kebaikan ini (yakni dirinya sendiri) telah melakukan perbuatan nista (zina)!!”
            Kemudian Ma’iz menceritakan peristiwa yang dialaminya dan kerisauan hatinya. Di luar dugaan, Umar yang terkenal tegas ini berkata, “Bertaubatlah kepada Allah, dan tutupilah itu, karena sesungguhnya Allah telah menutupinya. Bertaubatlah, sesungguhnya Allah selalu menerima taubat hamba-Nya. Orang-orang biasanya hanya bisa mencela, tetapi itu tidak mengubah apapun (kecuali jika engkau bertaubat)!!”
            Walaupun nasehat Umat itu begitu jelasnya, tetapi belum bisa menyembuhkan kerisauan hatinya. Karena itu ia datang kepada Abu Bakar untuk menceritakan kerisauan hatinya, tetapi ia memperoleh jawaban yang lebih kurang sama dengan jawaban Umar.
            Tentu saja sahabat sekaliber Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sangat tahu hukuman bagi pezina yang telah pernah menikah adalah rajam. Tetapi tentunya jawaban yang diberikan mereka berdua bukanlah bermaksud “menolak” hukum tersebut. Mereka berdua adalah didikan Rasulullah SAW yang tidak hanya mencakup keislaman (syara’ atau masalah hukum) saja, tetapi jauh menjangkau kepada masalah iman dan akhlak (ihsan). Mereka berdua bersama Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah yang terdekat kemuliaan akhlaknya dengan akhlak Nabi SAW. Mereka berdua memberi nasehat seperti itu karena mereka sangat mengenal Allah, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, bahwa Allah sangat gembira menerima (menemukan)  kembali hamba-Nya yang bertobat, melebihi kegembiraan manusia yang sedang sangat gembiranya (Lihat Kisah dalam “Percik Kisah Hikmah Pemupuk Iman” dengan judul “Sungguh Allah Lebih Gembira”).  
            Ma’iz menemui seorang sahabatnya yang bernama Huzal dan menceritakan permasalahan yang dialaminya, termasuk pertemuan dan nasehat yang diberikan oleh Umar dan Abu Bakar. Huzal yang juga salah seorang sahabat itu hanya berfikir logis. Jika ia telah menemui Umar dan Abu Bakar tetapi tidak memperoleh solusi, mengapa tidak diteruskan mencari solusi kepada Rasulullah SAW. Huzal menyarankannya menemui Rasulullah SAW dan Ma’iz menyetujuinya.
            Ma’iz segera mendatangi Rasulullah SAW yang saat itu sedang bersama beberapa sahabat lainnya. Setelah mengucap salam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina!!”
            Nabi SAW memandangnya tajam, kemudian berpaling dari Ma’iz tanpa berkata apa-apa. Ma’iz kembali berdiri di hadapan beliau dan mengulang ucapannya. Tetapi sekali lagi beliau hanya menatapnya kemudian berpaling tanpa berkata apapun. Ketika peristiwa itu telah berulang sampai ke empat kalinya, Nabi SAW bersabda kepada para sahabat lainnya, “Apakah ia telah gila atau sinting? Atau kalian meragukan kesehatan akalnya?”
            “Tidak, ya Rasulullah!!” Kata para sahabat.
            Kemudian Nabi SAW menghadapkan wajah kepada Ma’iz dan berkata, “Benarkah engkau telah menyetubuhinya?”
            Nabi SAW masih menegaskan lagi penjelasannya tentang persetubuhan itu dengan mendetail, bahkan beliau membuat perumpamaan dengan pensil celak yang dimasukkan ke botol celak, seperti timba yang dimasukkan ke dalam sumur.  dan Ma’iz tetap mengakui melakukannya. Beliau masih saja berkata menegaskan, “Tahukah kamu apa zina itu?”
            Ma’iz menjawab, “Tahu, ya Rasulullah, aku menggaulinya seperti halnya kalau aku menggauli istriku!!”
            Setelah penjelasan mendetail beliau sebelumnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu. Beliau memang telah mendapat laporan tentang Ma’iz bin Malik ini dari Abu Bakar dan Umar, dan beliau setuju dengan nasehat yang diberikan mereka berdua. Tampaknya dengan pertanyaan tersebut beliau ingin “mengulur waktu” dan menemukan alasan bagi Ma’iz untuk kembali kepada saran yang diberikan oleh Abu Bakar dan Umar. Tentu saja semua itu dilakukan karena beliau sangat sayang kepada umatnya, khususnya kepada Ma’iz yang sangat  beliau kenal kesalehannya ini. Hanya saja pada saat itu ia sedang tergelincir.
            Sebaliknya pada Ma’iz sendiri, ketergelincirannya yang hanya sekali itu membuat dunianya gelap. Bukannya putus asa dari rahmat Allah, tetapi ia ingin kepastian bahwa dosanya tersebut benar-benar telah diampuni oleh Allah.
            Walau telah cukup alasan untuk menjatuhkan vonis “rajam”, tetapi beliau masih bersabda lagi kepada Ma’iz, “Apa yang sebenarnya engkau inginkan dengan mengaku seperti ini?”
            Ma’iz berkata, “Saya ingin, engkau menyucikan dosa-dosa saya, ya Rasulullah!!”
            Maka beliau bersabda, “Rajam adalah kaffarah (penghapus dosa/kesalahan) dari apa yang telah engkau lakukan itu…!!”
            Beliau kemudian berpaling kepada sahabat lainnya dan bersabda, “Bawalah ia ke lapangan mushalla (lapangan untuk shalat id) dan rajamlah di sana…!!”
            Tampak sekali wajah beliau diliputi kesedihan, dan beliau berpaling agar tidak melihat proses rajam terhadap Ma’iz tersebut. Mereka membawa Ma’iz ke tempat yang ditentukan dan merajamnya di sana. Ketika merasakan kesakitan, Ma’iz sempat melarikan diri, tetapi mereka terus menyusulinya dengan tetap merajam hingga akhirnya tewas.
Jenazah Ma’iz dibawa kepada Rasulullah SAW di dalam masjid, kemudian beliau berdiri di mimbar dan berkhotbah, “Wahai manusia, jauhilah perbuatan zina yang dilarang Allah ini, dan barang siapa yang terjerumus, hendaklah ia menutupinya…!!”
Sambil memandang jenazah Ma’iz, beliau bersabda lagi, “Tutupilah perbuatan jahat kalian dari aku, selama Allah masih menutupinya. Barang siapa yang terjerumus ke dalam kejahatan hendaklah ia menutupinya (dan bertaubatlah) !!”
Salah seorang sahabat menceritakan bahwa Ma’iz sempat melarikan diri karena kesakitan, tetapi mereka mengejarnya dan terus merajamnya hingga tewas. Beliau tampak agak marah dan penuh sesal, kemudian bersabda, “Mengapa tidak kalian biarkan ia lari??”
Nabi SAW memandang kepada Huzal yang menyarankan Ma’iz membuat pengakuan kepada beliau, dan bersabda, “Seandainya engkau menutupi (yakni dosa Ma’iz dan menyarankan bertaubat seperti Umar dan Abu Bakar), tentu itu lebih baik bagimu!! “
Tampak dua orang sahabat saling berbicara cukup pelan, “Lihatlah orang ini, Allah telah menutupi keburukannya, tetapi jiwanya tidak puas sehingga ia dirajam seperti anjing…!!”
Walau ucapannya cukup pelan, tetapi Nabi SAW mendengar (memahami) apa yang mereka katakan. Beliau turun dari mimbar, dan berjalan keluar diikuti para sahabat lainnya. Ketika beliau menemukan bangkai keledai, beliau bersabda, “Wahai Fulan dan Fulan!!”
“Kami disini, ya Rasulullah!!” Kata dua orang sahabat yang tadi ‘membicarakan’ (mengghibah) Ma’iz.
“Kemarilah, dan makanlah bangkai keledai ini!!” Kata Beliau.
Dua orang sahabat itu mendekat kepada Nabi SAW sambil gemetar ketakutan, dan berkata, “Semoga Allah mengampuni kesalahan engkau, ya Rasulullah. Siapakah orang yang mau makan bangkai seperti ini?”
Nabi SAW bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya menyinggung kehormatan saudara kalian tadi (yakni mengghibah Ma’iz yang telah wafat), jauh lebih buruk daripada memakan bangkai seperti ini. Demi Allah, sungguh ia sedang berenang di sungai-sungai di surga!!”
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Sungguh ia sedang bersenang-senang di surga!!”  

Buraidah bin Hushaib al Aslamy RA

            Buraidah bin Hushaib al Aslamy dan kaumnya tinggal di suatu tempat bernama al Ghamim, suatu lembah berjarak satu marhalah dari Makkah. Keislamannya justru berawal dari keinginannya untuk menangkap Nabi SAW dan Abu Bakar yang saat itu hijrah ke Madinah. Kaum kafir Quraisy memang menjanjikan hadiah seratus ekor unta bagi yang bisa menemukan atau menunjukkan keberadaan mereka. Seperti halnya Suraqah bin Malik, Buraidah sangat berharap bisa memperoleh hadiah yang dijanjikan oleh kaum Quraisy tersebut. 
Bersama tujuhpuluh orang dari kaumnya, ia berusaha menemukan dan menelusuri jejak perjalanan rombongan hijrah Nabi SAW, dan ia menemukan mereka sedang beristirahat tidak jauh dari tempat tinggal kabilahnya. Tetapi, seperti halnya yang terjadi Suraqah bin Malik, begitu dekat dan berhadapan dengan Nabi SAW, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mewujudkan rencananya.
Ketika mereka telah tiba, Nabi SAW mempersilahkan mereka duduk dan mengajaknya berbincang-bincang, beliau juga menjelaskan tentang risalah Islam yang sedang beliau dakwahkan. Seketika itu hidayah Allah membuka hati Buraidah, ia bangkit dan melepas serbannya, kemudian mengikatnya di ujung tombaknya layaknya sebuah panji pertempuran, sambil berseru keras kepada orang-orang yang mengikutinya, “Pemimpin yang membawa keamanan dan perdamaian (yakni Rasulullah SAW) telah datang untuk memenuhi dunia dengan keadilan.”
Kemudian ia mengucap persaksian (syahadat) untuk memeluk Islam, disusul dengan tujuhpuluh orang pengikutnya itu. Nabi SAW sangat gembira menyambut keislaman mereka. Buraidah mengajak Nabi SAW dan rombongan hijrahnya untuk singgah di perkampungan mereka. Dan hampir semua dari 82 keluarga yang mendiami lembah itu memeluk Islam sebelum waktu isya, dan Nabi SAW berjamaah shalat isya bersama mereka.        
            Pada tahun 6 Hijriah, Nabi SAW memperoleh informasi bahwa Kabilah Bani Musthaliq menghimpun kekuatan untuk memerangi kaum muslimin, beberapa kabilah Arab lainnya juga bergabung dengan mereka. Karena itu beliau memerintahkan Buraidah bin Hushaib melakukan kegiatan mata-mata untuk memastikan informasi tersebut. ia segera berangkat melaksanakan tugas itu.
Tetapi tidak seperti umumnya mata-mata yang melakukan kegiatannya dengan rahasia dan diam-diam, Buraidah mendatangi Bani Musthaliq dan langsung menemui pemimpinnya, Harits bin Abu Dhirar yang memang telah cukup dikenalnya. Entah strategi dan siasat macam apa yang dilakukannya, sehingga ia memperoleh informasi yang lengkap dan akurat tanpa dicurigai sebagai mata-mata, langsung dari sumber pertama dan utamanya. Bahkan ia mengetahui mata-mata yang dikirimkan Harits bin Abu Dhirar untuk mengamati pergerakan Rasulullah SAW dan kaum muslimin.
Atas informasi dari Buraidah tersebut, Nabi SAW melakukan penangkapan terhadap mata-mata yang dikirim Bani Musthaliq, dan segera mempersiapkan pasukan untuk diberangkatkan ke sana. Harist bin Abu Dhirar sangat terkejut dengan serangan pasukan muslim yang sangat mendadak itu. Mereka masih menunggu kabar yang dibawa oleh mata-mata yang dikirimkannya, tetapi ternyata telah mendapat serangan dengan hebatnya. Beberapa kabilah Arab lainnya yang bergabung dengan Bani Musthaliq itu segera lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Setelah melakukan serangan balasan yang tidak begitu berarti, Harist bin Abu Dhirar terbunuh, dan Bani Musthaliq menyerah kalah.
Dalam riwayat lain disebutkan, pasukan muslim melakukan pengepungan beberapa hari lamanya, dan akhirnya mereka menyerah kalah sebelum terjadinya kontak senjata secara langsung. Putri Harist bin Abu Dhirar, Juwairiyah binti Harist menjadi bagian ghanimah dan tawanan Tsabit bin Qais. Ia kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW dengan mahar, pembayaran kebebasannya dari tawanan Tsabit.
Pasukan terakhir yang dibentuk dan dikirim Rasulullah SAW adalah pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid untuk menyerang pasukan Romawi di daerah Palestina. Beberapa sahabat sempat keberatan atas penunjukkan Usamah sebagai panglima pasukan, karena saat itu usianya masih sangat muda, yakni 19 atau 20 tahun, sementara cukup banyak sahabat senior yang lebih berpengalaman ikut dalam pasukan tersebut, termasuk Umar bin Khaththab. Nabi SAW agak marah dengan “penolakan” Usamah tersebut. Dengan tegas beliau memerintahkan Buraidah bin Hushaib membawa panji peperangan ke rumah Usamah, sebagai penegasan keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Setelah diterimanya, Usamah sebagai komandan pasukan, menetapkan Buraidah sebagai pemegang panji tersebut. Tetapi pengiriman pasukan tersebut tertunda karena wafatnya Rasulullah SAW, dan baru diteruskan setelah Abu Bakar ditetapkan sebagai khalifah, dengan struktur dan formasi pasukan persis yang ditetapkan oleh Nabi SAW.

Wabishah bin Ma'bad RA

Wabishah bin Ma’bad adalah seorang sahabat yang sangat “ambisius” untuk melakukan berbagai amal kebaikan. Semua amalan wajib telah dilakukannya, begitu juga amalan sunnah yang dicontohkan Rasulullah SAW yang diketahuinya, dan yang dilakukan beberapa sahabat utama lainnya. Tetapi ia merasa masih mempunyai banyak waktu luang, dan tidak tahu lagi kebaikan apa yang harus dilakukannya.
Suatu ketika datang menghadap kepada Nabi SAW untuk menanyakan hal itu. Tetapi sebelum sempat menyampaikan maksudnya, beliau bersabda, "Kamu ingin menanyakan tentang kebaikan?"
"Benar, ya Rasulullah," Kata Wabishah.
"Tanyalah kepada hatimu sendiri," Kata Nabi SAW.     
            Sesaat kemudian beliau bersabda lagi menjelaskan, "Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa menjadi tenang dan juga membuat hati menjadi tenang. Sedangkan dosa (kejahatan) itu adalah sesuatu yang membuat kacau terhadap jiwa dan menimbulkan keragu-raguan di dalam hati, walaupun orang-orang memberi nasehat kepadamu…!!"